SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM 
Kata filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah, yang diturunkan dari bahasa Yunani philosophia. Dari sekian banyak batasan atau definisi tentang arti filsafat, menurut Ahmad Azhar Basyir (1993:17) agaknya dapat diterima secara umum batasan yang mengatakan bahwa filsafat adalah “pemikiran rasional, kritis, sistematis, dan radikal tentang suatu obyek”. Obyek pemikiran kefilsafatan adalah segala yang ada, yaitu Tuhan, manusia dan alam. Jika yang menjadi obyek pemikiran itu adalah Tuhan, maka lahirlah filsafat ketuhanan; jika yang menjadi obyek adalah tentang manusia, maka lahirlah filsafat manusia; begitu juga jika yang menjadi obyek adalah alam, maka lahirlah filsafat kealaman. Pendeknya adalah apabila terjadi suatu pemikiran secara rasional, kritis, sistematis dan radikal terhadap suatu obyek tertentu maka pekerjaan tersebut dapat dikatakan sebagai berpikir filosofis atau bercorak kefilsafatan. Dari batasan filsafat di atas, hal yang paling mendasar adalah adanya pemikiran yang bersifat rasional. Rasionalitas rupanya menjadi prasyarat pokok bagi lahirnya pemikiran yang bercorak kefilsafatan.

Menurut Harun Nasution (1979:46) pemikiran filosofis masuk ke dalam dunia Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai oleh para pemikir Muslim di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan falsafah Yunani datang ke daerah-daerah itu dikarenakan adanya ekspansi Alexander Yang Agung ke Timur di abad ke-4 sebelum masehi. Politik Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia meninggalkan warisan di daerah-daerah yang dikuasainya. Hasilnya adalah munculnya pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur.

Pemikiran filosofis ini mulai nampak jelas kelihatan terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah. Ketertarikan terhadap pemikirn Yunani berawal dari keinginan umat Islam pada masa itu untuk mempelajari ilmu kedokteran atau ilmu pengobatan model Yunani, dari perjumpaan itu kemudian berlanjut kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, termasuk filsafat. Perhatian kepada filsafat meningkat pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (813-833M), putera Harun al-Rasyid. Pada masanya banyak ilmuwan yang dikirim ke Kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk keperluan penerjemahan, al-Makmun mendirikan Bait al-Hikmah di Bagdad. Lembaga ini dipimpin oleh seorng Kristen dari Hirah yang bernama Hunain ibn Ishaq. Ia pernah ke Yunani dan berlajar bahasa Yunani. Selain menguasai bahasa Arab dan Yunani, Hunain juga menguasai bahasa Siriak (Siryani), yang di jaman itu merupakan salah satu bahasa ilmiah. Karya-karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah karangan Aristoteles, Plato, dan buku-buku mengenai Neo-Platonisme.

Di antara para filosof Muslim yang memiliki nama besar antara lain:
1. Al-Kindi (801-866M).
Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi asal-usulnya, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak lama menempati daerah selatan Jazirah Arab. Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq Ash-Shabbah ibn ‘Imran ibn Ismail ibn Al-Asy’ats ibn Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah tahun 185H (801M). Ayahnya, Ishaq Ash-Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun al-Rasyid dari Bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir. Karena ia adalah satu-satunya filosof Muslim yang berasal dari keturunan Arab, Al-Kindi dikenal dengan sebutan Failasuf Al-‘Arab.

Nama Al-Kindi menanjak setelah hidup di istana pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim yang menggantikan Al-Makmun pada tahun 218 H (833M), karena ia dipercaya untuk menjadi guru pribadi putera Al-Mu’tashim, yaitu Ahmad ibn Al-Mu’tashim. Pada masa inilah Al-Kindi berkesempatan menulis karya-karyanya, setelah pada masa Al-Makmun ia menterjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab. Sebagai seorang filosof yang mempelopori mempertemukan agama dan filsafat Yunani, Al-Kindi banyak mendapat tantangan dari para ahli agama. Ia dituduh meremehkan dan membodoh-bodohkan ulama yang tidak mengetahui filsafat Yunani. Banyak fitnah yang dituduhkan kepada Al-Kindi, terutama pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil. Akhirnya Al-Kindi menyingkir dari kemelut politik istana dan meninggal pada tahun 252 H (866M) (Azhar Basyir, 1993:80-81).

Karya ilmiah Al-Kindi kebanyakan berupa makalah. Ibn Nadim, dalam kitabnya Al-Fihrits, menyebutkan karyanya lebih dari 230 buah; sementara George N. Atiyeh menyebut ada 270 buah. Karya-karya Al-Kindi mengenai filsafat menunjukan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Dari karangan-karangannya diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran eklektisme, yaitu suatu faham pemikiran atau kepercayaan yang tidak mempergunakan atau mengikuti metode apapun yang ada, melainkan mengambil apa yang paling baik. Dalam metafisika dan kosmologi ia mengambil pendapat-pendapat Aristoteles; dalam psikologi ia mengambil pendapat Plato; dan dalam bidang etika ia mengambil pendapat Sokrates dan Plato. Meskipun demikian, kepribadian Al-Kindi sebagai seorang Muslim tetap tidak tergoyahkan.

Sebagai seorang pelopor yang dengan sadar berusaha mempertemukan antara agama dan filsafat, Al-Kindi berpendapat bahwa antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan. Filsafat menurutnya adalah semulia-mulia ilmu dan Ilmu Tauhid atau teologi adalah sebagai cabang termulia dari filsafat. Filsafat sejalan dan dapat mengabdi kepada agama. Dengan demikian berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan mengorbankan keyakinan agama, seperti yang sering dituduhkan orang. Al-Kindi menegaskan bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa dari semua kebenaran, yaitu filsafat pertama. Menurutnya kalau ada kebenaran-kebenaran atau hakekat-hakekat maka mesti ada kebenaran atau hakekat pertama (al-Haqq al-Awwal). Hakekat pertama itu adalah Tuhan.

Tentang Metafisika. Sebagaimana disebutkan di atas, Al-Kindi berpendapat bahwa filsafat yang tertinggi adalah Filsafat Pertama yang membicarakan tentang Causa Prima. Menurut Al- Kindi, Tuhan adalah Wujud Yang Haq (Sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelumnya dan tidak akan pernah tiada selama-lamanya, yang sejak awal dan akan senantiasa ada selama-lamanya. Tuhan adalah Wujud Sempurna yang tidak pernah didahului wujud yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantara-Nya. Dalam pandangannya ini Al-Kindi sejalan dengan pemikiran Aristoteles tentang Causa Prima dan Penggerak Pertama, penggerak yang tidak bergerak. Al-Kindi mengajukan pertanyaan yang juga dijawabnya sendiri: “Mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin?”. Jawabannya adalah: “Yang demikian itu tidak mungkin”. Dengan demikian, alam ini baru, ada permulaan dalam waktu; demikian pula alam ini ada akhirnya; oleh karena itu alam harus ada yang menciptakannya. Karena alam itu baru, maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptanya, yang mencipta dari tiada (creatio ex nihilo).

Tentang keberadaan Tuhan ini, Al-Kindi memperkuatnya dengan dalil keanekaan alam wujud dan dalil keteraturan alam wujud. Al-Kindi mengatakan bahwa tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan, demikian pula sebaliknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan. Karena alam wujud ini semuanya mempunyai persamaan keanekaan dan kesatuan, maka sudah pasti hal itu terjadi karena ada Sebab; dan Sebab itu adalah berada di luar wujud itu sendiri, esksistentinya lebih tinggi, lebih mulia dan lebih dulu adanya. Sebab itu tidak lain adalah Tuhan. Ia juga mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya Zat yang tidak terlihat. Dan Zat yang tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan ada-Nya. Argumen yang demikian disebut dengan argumen teleologik.

Tentang Epistemologi. Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia, yaitu: 
(a) pengetahuan inderawi, 
(b) pengetahuan rasional, dan 
(c) pengetahuan isyraqi (iluminatif).

Pertama, pengetahuan inderawi. Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika seseorang mengamati suatu obyek material. Pengetahuan model ini bersifat tidak tetap disebabkan obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat. Pengetahuan inderawi ini tidak memberi gambaran tentang hakekat suatu realitas. Pengetahuan inderawi selalu bersifat parsial.

Kedua, pengetahuan rasional. Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu, melainkan genus dan spesies. Apa yang diamati dari manusia bukanlah tinggi pendeknya, warna kulitnya, lesung pipitnya, dan seterusnya yang bersifat fisik; melainkan mengenai hakekatnya sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berpikir (rational animal atau hayawan al-natiq).

Ketiga, pengetahuan isyraqi (iluminatif). Pengetahuan isyraqi (iluminatif) adalah pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dan jalan ini adalah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Tuhan telah menyucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan wahyu ini merupakan kekhususan bagi para Nabi. Akal meyakini kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya. Menurutnya mungkin ada manusia selain nabi yang dapat memperoleh pengetahuan isyraqi, meskipun derajatnya di bawah para nabi. Hal ini akan terjadi pada orang-orang yang suci jiwanya.

Tentang Etika. Al-Kindi menyatakan bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah “budi pekerti manusia yang terpuji”. Keutamaan ini ada tiga bagian. Pertama yang merupakan asas dalam jiwa, yaitu: hikmah (kebijaksanaan), najdah (keberanian), dan ‘iffah (kesucian). Kebijaksanaan adalah keutamaan daya berpikir, yang bisa berupa kebijaksanan teortis dan praktis. Keberanian adalah keutamaan daya ghadabiyah (gairah), berupa keinginan untuk mencapai sesuatu sehingga tercapai. Kesucian adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri dari yang tidak diperlukan untuk itu. Kedua, adalah keutamaan-keutamaan manusia yang tidak terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan di atas. Dan Ketiga, hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam ‘keadilan’.

2. Al-Farabi (872-950M).
Filosof besar lain dalam Islam adalah Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Uzlagh al-Farabi. Al-Farabi adalah putera dari seorang panglima perang Dinasti Samani (874-999M) yang berkuasa di daerah Transoxania dan Persia. Nama al-Farabi berasal dari nama tempat kelahirannya, yaitu Farab, Transaxonia; dilahirkan pada tahun 872 M, dan berasal dari keturunan Turki.

Sewaktu muda ia pergi ke Bagdad, pusat ilmu pengetahuan dan filsafat, dan ia belajar filsafat, logika, matematika, metafisika, etika, ilmu politik, musik dan lain-lain. Al-Farabi pernah menjadi murid Bisyr ibn Yunus, salah seorang penerjemah yang membantu Hunain ibn Ishaq di Bait al-Hikmah. Dari Bagdad kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saif Al-Daulah dari dinasti Hamdani yang berkuasa di Suria. Di istana inilah ia banyak mengembangkan pemikirannya, karena istana ini merupakan tempat berkumpulnya dan pertemuan para ilmuwan. Di kalangan filosof Muslim al-Farabi dikenal dengan julukan al-Mu’alim al-Tsani (Guru Kedua); sementara Guru Pertama (al-Mu’alim al-Awwal) adalah Aristoteles.

Mengenai hubungan filsafat dan agama, sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangn antara filsafat dengan agama. Tetapi dalam hal ini ia menekankan bahwa filsafat bisa mengganggu keyakinan orang awam. Untuk itu pemikiran yang bercorak filsafat harus dihindarkan dari orang-orang awam.

Tentang Metafisika. Di antara pemikiran filsafat al-Farabi yang berkaitan dengan masalah ketuhanan dan terjadinya alam terlihat dalam pemikirannya tentang ‘filsafat emanasi’. Dalam filsafatnya ini al-Farabi sebagaimana halnya Plotinus menerangkan bahwa ‘segala yang ada atau alam ini memancar dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh’. Antara alam materi dengan Zat Tuhan terdapat pengantara. Tuhan berpikir tentang diriNya, dan dari pemikiran ini memancarlah Akal Pertama. Akal Pertama berpikir tentang Tuhan, dan dari pemikiran ini memancarlah Akal Kedua. Akal Kedua berpikir tentang Tuhan, dan dari pemikiran ini memancarlah Akal Ketiga. Demikian seterusnya sampai memancar Akal Kesepuluh.

Akal Pertama selanjutnya berpikir tentang dirinya, dan dari pemikiran ini timbullah langit pertama. Akal-akal lainnya juga berpikir tentang dirinya masing-masing, dan dari pemikiran itu timbullah planet-planet yang menghuni alam ini. Dengan demikian Tuhan Yang Maha Esa tidak mempunyai hubungan langsung dengan alam materi yang mengandung arti banyak ini. Demikian penjelasan Al-Farabi mengenai bagaimana yang banyak bisa muncul dari Yang Satu (Tuhan).

Tentang Jiwa. Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh. Jiwa itu menurutnya memiliki tiga daya, yaitu: (a) daya gerak (al-muharrakah/motion), yang memuat daya makan, memelihara, dan berkembang; (b) daya mengetahui (al-mudrikah/cognition), yang memuat daya merasa dan berimaginasi; dan (c) daya berpikir (al-natiqah/intellection), yang memuat akal praktis (practical intellect) dan akal teoritis (theoritical intellect).

Tentang Akal. Menurut Al-Farabi akal atau daya berpikir ini mempunyai tiga tingkat, yaitu: (a) al-‘aql al-hayulani (akal materil/akal potensial/material intellect); (b) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktuil/actual intellect); dan (c) al-‘aql al-mustafad ( aquered intellect). Akal pada tingkat terakhir inilah yang dapat menerima pancaran yang dikirimkan dari Tuhan melalui akal-akal tersebut. Akal potensial menangkap bentuk-bentuk dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera; akal aktuil menangkap arti-arti dan konsep-konsep; dan akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan, atau menangkap inspirasi dari akal yang ada di atas dan di luar diri manusia, yaitu Akal Kesepuluh atau al-Aql al-fa’al (active intellect), yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan Akal Aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari Akal Aktif.

Tentang Filsafat Kenabian. Nabi atau Rasul dapat menerima wahyu, karena ia mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh. Akal Kesepuluh ini dapat disamakan dengan malaikat dalam pandangan Islam. Nabi atau Rasul adalah manusia pilihan, dan ia dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh bukan atas usahanya sendiri, melainkan atas pemberian Tuhan. Para rasul diberi daya imajinasi yang begitu kuat oleh Tuhan, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh tanpa latihan. Dengan imajinasi yang kuat, para Nabi dapat melepaskan diri dari pengaruh panca indera dan dari tuntutan jasmani. Sementara itu para filosof dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh adalah melalui akal mustafad dan itu dilakukan melalui latihan-latihan kontemplasi.

Karena baik para Nabi atau Rasul dan para filosof mendapat pengetahuan dari sumber yang sama, yaitu Akal Kesepuluh, maka wahyu yang diterima para Nabi atau Rasul dan pengetahuan filsafat yang diperoleh para filosof tidak bisa bertentangan. Mukjizat terjadi karena hubungan dengan Akal Kesepuluh dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan.

3. Ibn Sina (980-1037 M).
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Husein ibn Abdillah Ibn Sina. Popularitas yang diperoleh Ibn Sina melampaui poluplaritas al-Kindi dan al-Farabi. Ia lahir di Afshana, suatu wilayah dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani. Ibn Sina dikenal di Barat dengan nama atau sebutan Avicenna, dan lebih dikenal dalam bidang pengobatan dari pada sebagai filosof. Dalam bidang ini karyanya yang terkenal adalah al-Qanun fi al-Tibb dan al-Syifa. Untuk bidang ini Ibn Sina mendapat gelar the Prince of the Physicians. 

Sementara di dunia Islam ia dikenal dengan sebutan al-Syaikh al-Rais (Pemimpin Utama dari para Filosof).
Tentang Metafisika. Dalam pemikiran filsafatnya mengenai Tuhan dan kejadian alam, Ibn Sina juga mempunyai ‘faham emanasi’. Dari Tuhan memancar Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memancar Akal Kedua, demikian seterusnya sampai Akal Kesepuluh. Menurut Ibn Sina akal-akal itu adalah malaikat, dan Akal Pertama adalah malaikat tertinggi, kemudian Akal Kesepuluh, yang mengatur bumi, adalah Jibril.

Menurut Ibn Sina, Akal Pertama mempunyai dua sifat, yaitu (a) sifat wajib wujudnya, karena ia sebagai pancaran Tuhan; dan (b) sifat mungkin wujudnya, apabila dilihat dari hakekat dirinya, karena ia sebagai hasil dari sesuatu yang lain. Dengan demikian Akal Pertama mempunyai tiga obyek pemikiran, yaitu: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya, dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan munculah akal-akal; dari pemikiran tentang dirinya yang wajib wujudnya munculah jiwa-jiwa; dan dari pemikiran tentang dirinya yang mungkin wujudnya munculah langit-langit (planet).

Tentang Jiwa. Jiwa manusia yang memancar dari Akal Kesepuluh menurut Ibn Sina dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (a) Jiwa Tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), yang di dalamnya memuat daya makan, daya tumbuh, dan daya berkembang biak; (b) Jiwa Binatang (al-nafs al-hayawaniyah), yang di dalamnya memuat daya gerak dan daya menangkap (meliputi menangkap dari luar dan menangkap dari dalam –indera bersama, representasi, imajinasi, estimasi, dan rekoleksi); dan (c) Jiwa Manusia (al-nafs al-Nathiqah), yang di dalamnya memuat daya praktis dan daya teoritis.

Daya praktis menurut Ibn Sina mempunyai kedudukan penting, karena ia akan mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat dalam badan tidak menghalangi berkembangnya daya teoritis. Sementara daya teoritis mempunyai empat tingkatan, yaitu: (a) Akal Materil (material intellec/al-aql al-hayulani), yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir; (b) intellectus in habitu (al-aql bi al-malakah), yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak; (c) Akal Aktuil (al-aql bi al-fi’l), yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak; dan (d) Akal Mustafad (al-aql al-mustafad), yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu daya upaya, sudah terlatih begitu rupa. Akal inilah yang sanggup menerima ilmu pengetahuan dari Akal Kesepuluh.

Tentang Filsafat Kenabian. Di antara manusia ada yang dianugerahi akal materil (al-aql al-hayulani) yang begitu besar dan kuat, yang oleh Ibn Sina diberi nama al-hads atau intuisi. Orang yang dianugerahi akal yang demikian, dengan tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh. Oleh karena itu, orang tersebut dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci (quwwah qudsiyyah). Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diproleh manusia, dan terdapat hanya pada para nabi.

4. Ibn Miskawaih (932-1030M).
Abu ‘Ali al-Khazim Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih lahir di Raiy (Teheran) dan meninggal di Isfahan pada tahun 1030 M. Pada masa mudanya bekerja sebagai pustakawan dari beberapa menteri, di antaranya Ibn al-Amid, di Raiy. Dalam pemikiran filsafatnya lebih banyak dikenal di bidang filsafat akhlaq. Buku yang terkenal di bidang ini adalah Tahzib al-Akhlaq.

Menurutnya kata akhlaq adalah bentuk jamak (plural) dari kata khuluq. Pengertian khuluq menurutnya adalah ‘peri keadaan yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya’. Dengan kata lain, khuluq adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran sebelumnya atau secara spontan. Sikap mental atau keadaan jiwa ini dapat merupakan fitrah sejak lahir, dan dapat pula merupakan hasil latihan pembiasaan (ikhtiari).

Tentang Jiwa. Dalam kaitannya dengan jiwa, Miskawaih menyebutkan adanya tiga macam kekuatan jiwa, yaitu: (a) bahimiyah atau syahwiyah (kebinatangan atau nafsu syahwat), jiwa atau sikap mental yang senantiasa mengejar kelezatan jasmani; (b) sabu’iyah (binatang buas), jiwa atau sikap mental yang senantiasa bertumpu pada kemarahan dan keberanian; dan (c) nathiqah (berpikir), jiwa atau sikap mental yang selalu berpikir tentang hakekat segala sesuatu. Apabila terjadi keselarasan dalam perimbangan di antara ketiganya, maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada manusia.

Keutamaan-keutamaan yang lahir kemudian sebagai hasil keselarasan tiga jiwa di atas adalah: (a) hikmah, atau kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa cerdas; (b) ‘iffah, atau kesucian adalah keutamaan nafsu syahwat, dan ini dapat tercapai apabila manusia dapat menyalurkan syahwatnya sejalan dengan pertimbangan akal yang sehat, sehingga terbebas dari perbudakan syahwatnya; (c) syaja’ah, atau keberanian adalah keutamaan jiwa ghadabiyah (sabu’iyah), dan ini dapat tercapai apabila manusia dapat menundukkannya kepada jiwa nathiqah, dan menggunakannya sesuai dengan tuntutan akal sehat dalam menghadapi berbagai persoalan; dan (d) ‘adalah, atau keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan ketiga keutamaan di atas di saat terjadi keselarasan antara keutamaan-keutamaan itu dan tunduk kepada kekuataan sehat, sehingga bisa berlaku adil kepada dirinya sendiri juga kepada orang lain.

Tentang Kebahagiaan. Ibnu Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dan al-sa’adah (kebahagiaan). Kebaikan memiliki corak umum dan menjadi tujuan semua orang; kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedang kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum tetapi relatif bergantung kepada orang per-orang.

Kebahagiaan tertinggi menurutnya adalah kebijaksaan yang menghimpun dua aspek, yaitu hikmah yang bersifat teoritis dan hikmah yang praktis. Hikmah yang bersifat teoritis adalah bersumber dari pengetahuan yang benar, sedangkan hikmah yang praktis adalah keutamaan jiwa yang mampu melahirkan budi pekerti yang mulia. Kebahagiaan yang diperoleh melalui kesenangan jasmani adalah kebahagiaan yang palsu yang pada umumnya dicari oleh orang awam.

Orang yang mencapai kebahagiaan tertinggi jiwanya akan tenang, merasa selalu berdampingan dengan malaikat. Jiwanya diterangi Nur Ilahi dan merasakan nikmat di dalamnya. Baginya tidak akan menjadi masalah apakah dunia datang kepadanya atau meninggalkannya; dan tidak merasa sedih bila berpisah dengan orang yang dicintainya. Akan dilakukannya segala sesuatu yang menjadi kehendak Allah; akan dipilihnya hal-hal yang akan mendekatkan dirinya kepada Allah; tidak akan berkhianat kepada dirinya juga kepada Allah.

Tentang Cinta. Menurut Ibn Miskawaih ada dua jenis cinta, yaitu cinta kepada Allah dan cinta kepada manusia, terutama cinta seorang murid kepada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah. Tetapi tipe cinta ini hanya dapat dicapai oleh sedikit orang. Cinta kepada sesama manusia adalah kesamaan antara cinta anak kepada orang tua dan cinta murid kepada gurunya. Menurut Ibn Miskawaih cinta murid kepada gurunya dipandang lebih mulia dan lebih berperanan. Guru adalah bapak ruhani bagi murid-muridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki keutamaan yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap murid laksana kemuliaan ruhani terhadap jasmani.

Tentang Pendidikan Anak. Menurut Ibn Miskawaih kehidupan utama pada anak-anak memerlukan dua syarat, yaitu syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat kejiwaan tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta kepada kebaikan, yang dapat dilakukan dengan mudah pada anak-anak yang berbakat baik, dan dapat dilatih dengan membiasakan diri pada anak-anak yang tidak berbakat untuk cenderung kepada kebaikan. Syarat kedua, syarat sosial, dapat dicapai dengan cara memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan dari pergaulan dari teman-temannya yang berperangai buruk.

Nilai-nilai keutamaan pada anak-anak yang harus menjadi perhatian juga adalah mencakup aspek jasmani dan ruhani. Keutamaan jasmani antara lain berkaitan dengan makanan dan kegiatan-kegiatan fisik. Makanan hendaknya untuk tujuan kesehatan dan bukan kenikmatan. Kegiatan-kegiatan fisik diarahkan ke arah yang bisa mendorong dan selaras dengan kesehatan jiwa. Sedangkan keutamaan ruhani antara lain dengan membiasakan anak bersikap cinta kepada sesama, jujur, berkata-kata yang baik, percaya diri dan seterusnya. Dengan demikian anak-anak akan terbiasa dengan kebaikan-kebaikan dan terhindar dari kebiasaan yang buruk. 

5. AL-RAZI (863-925M).
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi lahir di Raiy, suatu kota dekat Teheran. Dalam karir kehidupannya al-Razi pernah menjabat direktur rumah sakit di Raiy dan di Bagdad. Ia terkenal di Barat dengan sebutan Rhazes dari buku-bukunya mengenai ilmu kedokteran. Karyanya yang terkenal adalah tentang ‘Cacar dan Campak’ dan diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa berulang kali, cetakan yang keempat puluh dicetak pada tahun 1866. Kemudian kitab al-Hawi, merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang tersusun dari lebih 20 jilid.

Tentang Agama dan Akal. Al-Razi merupakan seorang rasionalis sejati yang hanya percaya kepada kekuatan akal, dan tidak percaya kepada wahyu dan perlunya para nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, untuk tahu Tuhan, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Sekalipun tidak percaya kepada wahyu dan tidak perlu para nabi, al-Razi tetap sebagai filosof yang percaya kepada Tuhan.

Dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, ia berpendapat bahwa kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan meninggalkan alam materi, seperti filsafatnya Pythagoras. Untuk kembali kepada Tuhan, roh manusia harus terlebih dahulu disucikan; dan yang dapat mensucikan roh ialah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan sesuatu yang tidak baik. Al-Razi pun mengatakan agar manusia tidak terlalu zahid dan juga tidak terjebak dengan kesenangan materi.

Tentang Filsafat Lima Kekal. Menurut Al-Razi ada lima hal yang kekal dalam kehidupan ini, yaitu: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut, dan Zaman Absolut. Lima hal ini kemudian dikenal sebagai doktrin Lima Yang Kekal. Mengenai kelima hal ini ia menjelaskan:
  1. Materi, merupakan apa yang ditangkap dengan pancaindera tentang benda itu;
  2. Ruang, karena materi mengambil tempat;
  3. Zaman, karena materi berubah-ubah keadaannya; 
  4. Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Dan di antara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur;
  5. Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Dua dari Lima Kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan roh. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yaitu ruang dan waktu.
Materi itu kekal, karena itu creatio ex nihilo (penciptaan dari tiada) adalah sesuatu yang tidak mungkin. Kalau materi itu kekal, ruang mesti kekal. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan itu menunjuk pada adanya waktu, maka waktu mesti juga kekal. Sungguhpun materi pertama itu kekal, tetapi alam tidak kekal. Alam diciptakan Tuhan, bukan dalam arti creatio ex nihilo, tetapi dalam arti disusun dari bahan (materi) yang telah ada.

6. Ibn Rusyd (1126-1198M)
Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd. Ibn Rusyd berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia (Spanyol). Ia sendiri pernah menjadi hakim di Seville. Selain sebagai hakim, ia pun pernah menjadi dokter istana di Cordova. Sebagai ahli hukum dan filosof, pikiran Ibn Rusyd banyak berpengaruh di kalangan istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-1199M). Karyanya yang terkenal di bidang fiqh Islam adalah Bidayah al-Mujtahid; sedang dalam bidang kedokteran adalah Kitab al-Kulliat. Tulisan-tulisan lainnya adalah menyangkut bidang filsafat.

Tentang Filsafat dan Agama. Ibn Rusyd memiliki pendapat bahwa antara Islam dan filsafat tidak bertentangan. Bahkan ia menambahkan bahwa setiap orang Islam diwajibkan atau sekurang-kurangnya dianjurkan mempelajari filsafat. Tugas filsafat tidak lain adalah berpikir tentang wujud untuk mengetahui Pencipta semua yang ada ini. Tanda-tanda bagi orang yang berpikir adalah apabila manusia berpikir tentang wujud dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Karena banyak ayat al-Qur’an yang menyatakan demikian, maka sesungguhnya al-Qur’an menyuruh manusia untuk berfilsafat.

Lebih lanjut Ibn Rusyd mengatakan bahwa setiap Muslim mesti percaya pada tiga dasar keagamaan, yaitu: (a) adanya Tuhan, (b) adanya Rasul, dan (c) adanya pembangkitan. Apabila seseorang tidak percaya kepada salah satu di antara ketiga unsur dasar tersebut maka ia dapat digolongkan sebagai orang kafir.

Tentang Pembelaan Terhadap Filosof. Seperti dinyatakan oleh Al-Gazali, bahwa para filosof itu telah menjadi kafir karena tiga pendapatnya, yaitu: (a) alam itu bersifat kekal; (b) Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini; dan (c) pembangkitan jasmani tidak ada.

Mengenai pendapat Al-Gazali ini Ibn Rusyd menyatakan:
Pertama, tentang kekekalan alam. Kaum teolog berpendapat bahwa alam ini diciptakan olah Tuhan dari tiada (creatio ex nihilo). Pendapat ini menurut Ibn Rusyd tidak berdasar. Menurutnya alam ini dijadikan bukanlah dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada. Beberapa ayat al-Qur’an menujuk pada keadaan itu misalnya surat Hud:7, surat Hamim:11, dan Al-Anbia:30. Dari ayat-syat ini dapat disimpulkan bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu disebutkan air dan uap. Berpegang pada ayat itu dapat disimpulkan bahwa alam itu kekal. Betul alam itu diwujudkan, tetapi diwujudkan terus menerus.

Kedua, tentang Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Menurutnya al-Gazali telah salah dalam memahami pemikiran filosof, karena para filosof tidak mengatakan seperti itu. Apa yang dikatakan kaum filosof adalah ‘bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam, tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu’. Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil efek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab mengenai perincian itu. Pengetahuan manusia adalah baru, sedang pengetahuan Tuhan adalah qadim.

Ketiga, tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Menurut Ibn Rusyd, Al-Gazali menyatakan hal-hal yang saling bertentangan. Dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah, Al-Gazali menyatakan bahwa tidak ada orang Islam yang menyatakan bahwa pembangkitan hanya akan terjadi dalam bentuk rohani. Dalam buku itu dinyatakan bahwa pembangkitan bagi kaum sufi hanya terjadi dalam bentuk rohani, tentu termasuk dirinya. Oleh karena itu, menurut Ibn Rusyd, tidak ada ijma tentang persoalan ini. Dengan demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangakitan jasmani itu tidak ada, tidak dapat dikafirkan. Tetapi menurutnya bagi kaum awam penggambaran pembangkitan jasmani sangat diperlukan untuk menguatkan keislaman mereka (Harun Nasution, 1973:11-54).

SIFAT-SIFAT DAN KEADILAN ALLAH DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMADIYAH

SIFAT-SIFAT DAN KEADILAN ALLAH DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMADIYAH
Dalam sejarah perkembangan pemikiran teologi Islam, dikenal adanya dua corak pemikiran, yaitu rasional dan tradisional. Masing-masing corak pemikiran memiliki pendukung, landasan berpikir dan dampak dalam kehidupan umat Islam hingga saat ini. Harun Nasution memandang aliran-aliran teologi terbagi ke dalam empat macam, dua kelompok lebih dekat kepada corak rasional dan dua yang lain lebih dekat kepada corak tradisional (Muhaimin, 2000:20-21). Aliran Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand dikenal lebih dekat kepada corak teologi rasional, sedangkan Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara lebih dekat kepada corak teologi Islam tradisional.

Ciri yang paling menonjol dari corak teologi Islam rasional adalah memberikan kedudukan yang tinggi pada akal manusia. Hal ini memberikan dampak dalam kehidupan, yaitu dinamis dalam bersikap dan berpikir. Adapun corak teologi Islam tradisional memberikan kedudukan yang tinggi kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Allah dan menempatkan akal manusia pada kedudukan yang lebih rendah (lihat Zar, 2001:20-22). Dampaknya dalam kehidupan adalah kurang dinamis kalau tidak dibilang statis dalam bersikap dan berpikir.

Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang didirikan oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8 dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta, adalah manifestasi dari identifikasi sebagai gerakan tajdid. Bagi Muhammadiyah, tajdid ini diartikan sebagai usaha untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni (Mughni, 1990:273), sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an dan hadits. Muhammadiyah sendiri, dalam pernyataannya tidak pernah menegaskan tentang teologi Islam yang dipergunakannya, apalagi teologi Muhammadiyah itu sama dengan Maturidiah. 

Untuk itu, dalam tulisan ini akan dielaborasi tentang corak teologi Muhammadiyah dengan menganalisis dalam hal pandangan Muhammadiyah tentang sifat-sifat dan keadilan Allah.

Sifat-Sifat Allah
Permasalahan yang muncul dalam hal sifat-sifat Allah yaitu apakah Allah memiliki sifat atau tidak. Keyakinan umat Islam, sebelum timbulnya permasalahan ini adalah bahwa Allah memiliki sifat-sifat azali tanpa mempermasalahkan tentang keberadaan sifat-sifat itu. Namun, setelah Abu Muhriz Jahm ibn Shafwan (w. 128 H/745 M), tokoh paham jabariyyah, membawa pemikiran yang menafikan sifat-sifat bagi Allah, umat Islam pun terbagi kepada dua golongan; pertama, shifatiyyah yaitu golongan yang mengakui keberadaan sifat-sifat bagi Allah dan kedua, mu’aththilah yaitu golongan yang menafikan keberadaan sifat-sifat bagi-Nya (al-I’bar, 1977:50). 

Mu’tazilah berpandangan bahwa Allah tidak memiliki sifat yang berdiri sendiri. Paham ini didasarkan pada tauhid, yakni mensucikan Allah dari syirik.

Aliran ini menafikan sifat-sifat-Nya yang berdiri sendiri, sebab dengan adanya sifat bagi Allah, maka hilanglah keesaan-Nya. Dalam hal ini tidak bisa diartikan bahwa Mu’tazilah tidak mengakui Allah yang Qadir, 'Alim, dan sebagainya. Tetapi, mereka menolak eksistensi sifat-sifat Allah sebagai sesuatu yang kekal (Qadim) di samping dzat-Nya yang kekal (Syahrastani, 1979:45). Aliran ini mengemukakan dua pengertian yang muncul dari adanya sifat bagi Allah, yaitu sifat tersebut kekal (qadim) dan sifat itu diciptakan (muhdats). Pcngertian pertama, rnengakibatkan ada banyak yang kekal (ta'addud al-qudama') yang membawa kepada paham syirik. Pengertian kedua, jika sifat diciptakan, maka harus ada yang menciptakan. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang menciptakan sifat-sifat bagi Allah. Jawaban untuk permasalahan ini dapat ditemukan dua macam: pertama, dzat Allah yang kekal yang menciptakan sifat-sifat bagi diri-Nya; kedua, adanya kekuasaan lain yang menciptakan sifat-sifat bagi diri-Nya. Dalam hal ini, ‘Abd al-Jabbar menegaskan ketidakmungkinan terjadinya dua hal tersebut (al-Jabbar, 1965:195-196).

Diskursus tentang sifat-sifat Allah berkembang sampai pada persoalan sifat jasmani yang dimiliki-Nya sebagaimana yang digambarkan oleh nash, yang menyatakan Allah memiliki tangan, wajah, kursi, bertahta dan sebagainya. Ayatayat yang demikian termasuk ke dalam ayat-ayat yang samar-samar maknanya (mutasyabihah), yang dapat membawa kepada paham tasybih atau antropomorfisme (Ibn Muhammad, 1961:2). Kaum Mu’tazilah menggunakan takwil (al-Jalian, tth.:49-50) terhadap nash yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat jasmani, sehingga tidak tergambar ada tasybih pada nash tersebut.

Kata al-yad (tangan) yang terdapat dalam surah al-Dzariyat/51: 47, ditakwil dengan kata al-quwwah atau al-qudrah yang menunjuk kepada arti kekuasaan atau kekuatan (al-Jabbar, tth.:403). 

Aliran Asy’ariah bcrpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat. Adanya sifat-sifat tersebut menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari dapat diamati melalui kejadian alam semesta dan penciptaan manusia itu sendiri. Perbuatan Allah di alam ini adalah bukti dari adanya sifat-sifat-Nya. Semua sifat Allah bersifat kekal (qadim). Ia berada pada dzat Allah dan menjadi sifat dzat-Nya. Al-Ghazali memperjelas adanya sifat bagi Allah dengan menyatakan bahwa semua sifat Allah bersifat kekal dan tidak mungkin pada dzat yang kekal berada sifat yang tidak kekal (al-Ghazali, tth.:403).

Berangkat dari hal di atas, dapat dipahami bahwa Asy’ariah dalam memahami sifat-sifat Allah tidak sesuai dengan mu’aththilah. Artinya, sifat- sifat Allah diakui keberadaannya. Sebab, hal ini merupakan kelanjutan dari paham kekuasaan dan kehendak mutlak Allah dimana teologi tradisional terpasung pada arti tekstual yang pada gilirannya mereka tidak menerima takwil kecuali menyerahkan hakikat ayat-ayat mutasyabihah hanya kepada Allah semata tanpa mempertanyakan lebih dalam lagi bagaimana hakikatnya (al-Asy’ari, 1410H:11). Pandangan ini hampir sama dengan pemikiran kaum Salaf (Hilmi, 1983:59).

Golongan Salaf menerima adanya sifat-sifat bagi Allah apa adanya sebagaimana dinyatakan oleh nash tanpa tasybih dan tanpa melakukan takwil. 

Pandangan Muhammadiyah tenlang sifat-sifat Allah dijelaskan dalam buku sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013: 13-14):
Dialah Tuhan yang sebenarnya, yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah yang pasti adanya (5). Dialh yang pertama tanpa permulaan, dan akhir tanpa penghabisan (6). Tiada sesuatu yang menyamai-Nya (7). Yang Esa tentang ketuhanan-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya (8). Yang hidup dan pasti ada dan mengadakan segala yang ada (9). Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat (10). Dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu ( 1 1 ) . Perihal-Nya apabila Ia mcnghendaki sesuatu la sabdakan; Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu (12). Dan Dia Maha Mengetahui segala yang mereka kerjakan ( 1 3 ) . Yang bersabda dan memiliki segala sifat kesempurnaan. Yang suci dari sifat mustahil dan segala sifat kekurangan ( 1 4 ) .Dialah yang menjadikan segala sesuatu menurut kemauan dan kehendak-Nya. Segala sesuatu ada di tangan-Nya dan kepada-Nya akan kembali (15).

Berangkat dari pernyataan Muhammadiyah di atas menggambarkan sifat-sifat Allah yang diakuinya sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013: 13-14):

1.al-wujud (ada), 2. al-qidam (awal tanpa permulaan), 3. al-baqa’, (akhir tanpa ujung), 4. mukhalafah li al-hawadits (tiada sesuatupun yang menyamainya), 5. al-wahdaniyah (esa), 6. al-hayah (hidup), 7. qiyamuhu bi nafsih (berdiri sendiri), 8. al-sam’ (mendengar), 9. al-bashar (melihat), 10. al-qudrah (berkuasa), 11. al-iradah (berkehendak), 12. al-'ilm (mengetahui), dan 13. al-kalam (berfirman).

Pernyataan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih di atas menunjukkan sifat Allah yang ketiga belas tidak ada penjelasan lebih lanjut. Namun, dari bahan pelajaran yang diberikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ditetapkan berdasarkan Rapat Kerja Pendidikan Muhammadiyah Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, disusun berdasarkan buku Himpunan Putusan Tarjih tampak dalam buku ini, sifat-sifat bagi Allah diuraikan sccara terinci dimulai dari sifat pertama, wujud, sampai dengan sifat ketigabelas, al-kalam (Majid at.al., 1984:74-101). Perumusan sifat yang demikian jelas menggambarkan paham Asy’ariah yang mengelaborasi tentang sifat- sifat Allah.

Meski Muhammadiyah mengambil paham Asy’ariah, tetapi kelihatannya ia tidak membahas mengenai hubungan sifat dan dzat Allah. Dari itu tidak diketahui bagaimana pendapat mereka dalam hal ini, apakah sifat Allah bersifat kekal sama halnya dengan dzat, atau ia merupakan 'ain dzat. Pembicaraan yang demikian kelihatannya memang dihindari oleh Muhammadiyah, karena masalah tersebut menurut mereka termasuk dalam lingkup pembahasan yang tidak terjangkau oleh akal, seperti yang disebutkan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:14):
Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai akal dalam hal kepercayaan (16). Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka janganlah engkau bicarakan hal itu (17). “Tak ada kesangsian tentang adanya. Adakah orang ragu tentang Allah yang menciptakan langit dan bumi? (Surah Ibrahim /14:10).

Berdasarkan pernyataan yang demikian, tampaknya Muhammadiyah cenderung kepada metode Salaf dalam memahami sifat-sifat Allah. Dan pada gilirannya, Muhammadiyah hanya mengimani apa yang ditunjukkan oleh nash. Bahkan, pandangan Muhammadiyah tentang ayat-ayat yang maknanya tersamar (mutasyabihah), yang menunjuk adanya sifat-sifat jasmani pada Allah, sejalan dengan pandangan Muhammadiyah terhadap sifat-sifat-Nya, yaitu menerima sifat-sifat tersebut sebagaimana adanya tanpa menyamakan Allah dengan makhluk.

Pandangan yang demikian, didasarkan kepada surat al-Syura/42:11, sama dengan ayat yang dijadikan dusar oleh kaum Salaf. Muhammadiyah menegaskan tentang keyakinan yang benar, yaitu yang tidak terdapat sesuatu yang mengurangi kesucian dan ketinggian Allah. Oleh karena itu, jika terdapat kata-kata yang pada lahirnya menunjuk kepada hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan, maka pengertiannya harus diserahkan kepada Allah. Sebab, dalam hal ini, hanya Allah sendiri yang mengetahui maksud yang sebenarnya.

Lebih lanjut, dalam buku Himpunan Putusan Tarjih diungkapkan sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:17-18):

Adapun syarat yang benar tentang kepercayaan, dalam hal ini ialahjangan ada sesuatu yang mengurangi keagungan dan keluhuran Tuhan, dengan mempersamakan-Nya dengan makhluk. Sehingga andaikata terdapat kalimat-kalimat yang kesan pertama mengarah kepada arti yang demikian, meskipun berdasarkan berita yang mutawatir (meyakinkan), maka wajiblah orang mengabaikan makna yang tersurat dan menyerahkan tafsir arti yang sebenarnya kepada Allah.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak menerima takwil sebagaimana dilakukan oleh Mu’tazilah. Muhammadiyah memahami sifat-sifat Allah sebagai yang dinyatakan oleh nash, tidak disamakan dengan makhluk dan tidak mencari pengertian lain dari yang ditunjuk oleh nash. Muhammadiyah mengembalikan pengertiannya kepada Allah. Oleh karena itu, sikap Muhammadiyah dalam persoalan ini sama dengan kaum Salaf, yaitu menerima adanya sifat bagi Allah, tidak menyamakan dengan makhluk dan tidak melakukan takwil. Walaupun demikian, dalam Himpunan Putusan Tarjih juga diperoleh pernyataan yang seakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah menerima takwil, sebagaimana tertuang pada buku tersebut sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:18):

“Atau dengan mentakwilkan berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima”.

Makna takwil dalam kalimat di atas tidak diterangkan, apakah takwil dalam arti tafsir, atau takwil al-kitab bi al-kitab sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, atau dalam pengertian istilah mutakallimin yang umum dalam memahami masalah-masalah akidah (Rusydi, tth.:19). Di samping berlawanan pula dengan metode Salaf yang mereka ikuti dalam memahami sifat Allah. Dengan demikian, takwil di sini adalah dalam pengertian tafsir, dengan alasan-alasan (qarinah) yang ditunjukkan oleh nash. Dan bukan penakwilan dengan akal secara bebas.

Penakwilan yang demikian ditemukan dalam pendapat para tokoh Muhammadiyah yang terkadang memahami ayat secara tekstual dan terkadang menakwilkan dalam arti tafsir. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, misalnya, memahami kata al-yad dalam surat al-Fatfi/48:10 dengan menafsirkannya sesuai dengan konteks kalimat. Ia mengatakan bahwa Allah hadir bersama-sama dengan orang yang membuat bai’at, mendengar perkataan mereka, melihat tempat mereka dan mengetahui rahasia batin mereka, maka seakan-akan Allahlah yang mengulurkan tangan-Nya dalam rangka menerima bai’at yang mereka berikan (Ash-Shiddieqy, 1973:118).

Adapun tokoh Muhammadiyah yang lain, seperti H.A. Malik Ahmad menjelaskan tentang metode Muhammadiyah dalam memahami akidah. Ia menegaskan bahwa apa yang dibawa al-Qur’an dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW telah lengkap untuk diyakini serta diimani dan tidak memerlukan pembicaraan yang lebih lanjut (Lubis, 1993:75-76).

Dalam salah satu tulisannya ia mengatakan pula, bahwa dzat Allah Maha Sempurna lagi Maha Mulia, tidak layak untuk dikutik-kutik dengan pembicaraan yang mendalam. Bagi umat Islam, mcnurut pendapatnya adalah mengimani pokok-pokok akidah, dan hakikat yang lebih mendalam hanya Allah yang mengetahuinya (Ahmad, 1983:95-96). Pembahasan yang mencari keterkaitan antara dzat dan sifat Allah merupakan pembicaraan yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran di luar Islam; dan sama halnya dengan Ibn Taimiyah dan Imam Malik, ia pun berpandangan bahwa pembicaraan tersebut termasuk bid’ah (Ahmad, 1983:95-96).

Dalam hal ini, K.H. Mas Mansyur mengungkapkan sikap seorang Muslim dalam memahami sifat-sifat Allah, sebenarnya “tidak tahu”, namun tunduk kepada syari’at Islam (Lubis, 1993:26). Maksud ungkapan “tidak tahu” adalah pernyataan bahwa masalah tersebut tidak perlu diketahui dan dikaji secara mendasar. Oleh karena itu, jika seseorang ditanya tentang hakikat sifat dan dzat Allah, maka jawabannya adalah “tidak tahu”. Tetapi, bukan menutup diri dari menjelaskan sesuatu yang diketahui. Sedangkan yang dimaksudkannya dengan tunduk kepada syariat Islam yakni menyakini apa yang dibawa dan diberitakan oleh nash (Lubis, 1993:26).

Selanjutnya, H.A. Malik Ahmad pun agaknya menempuh cara yang demikian. Ia membagi sifat-sifat Allah kepada sifat-sifat zat dan sifat ma’ani, sifat ma’nawiyyah dan sifat salbiyyah (lihat Ahmad, 1983:80-95), sebagaimana katagorisasi yang dilakukan oleh Asy’ariah tentang sifat Allah. Karena itu, H.A Malik Ahmad, tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh aliran Asy’ariah. Bahkan Hamka, juga menerima adanya sifat-sifat yang dimiliki Allah. Keberadaan silat-sifat tersebut menurutnya, juga dapat diyakini melalui alam ciptaan-Nya (Hamka, 1984:41). Sama halnya dengan tokoh Muhammadiyah di atas, ia pun memandang tidak  mempermasalahkan sifat-sifat Allah dengan pembicaraan yang panjang lebar. Sikapnya dalam hal ini, seperti yang dikatakannya, adalah tunduk dan menyerah dan menerima dengan baik dengan tidak usah mencari tafsir tentang sifat-sifat Allah itu (Hamka, 1984:41). Akan tetapi dalam hal ini ia pun kelihatanya mengambil rumusan sifat-sifat Allah yang dibawa oleh Asy’ariah dengan menyatakan sifat-sifat wujud, qidam, baqa’, dan sebagainya.

Keadilan Allah
Pembahasan tentang keadilan Allah sangat erat keterkaitannya dengan perbuatan manusia, kehendak dan kekuasaan Allah, dan bahkan dengan janji-janji-Nya terhadap manusia. Keadilan merupakan salah satu sifat-sifat Allah. Karena terdapat perbedaan paham dalam aliran-aliran teologi Islam mengenai hal tersebut, maka berbeda pula paham mereka tentang keadilan Allah. Seperti Mu’tazilah yang memandang keadilan dari sudut kepentingan manusia, maka keadilan mereka artikan dengan memberikan kepada seseorang akan haknya (al-Jabbar, 1965:132). 

Bagi Mu’tazilah, keadilan juga mengandung arti bahwa Allah wajib berbuat baik dan tidak dapat berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia. Oleh karena itu, Allah tidak dapat meminta pertanggung-jawaban kepada manusia atas perbuatan yang tidak dilakukannya dan tidak dikehendakinya atau membebani manusia dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan kesanggupannya (Madkour, 1995:190). 

Namun, juga mengandung arti bahwa Allah berkewajiban berbuat yang terbaik bagi manusia, seperti tidak memberi beban yang terlalu berat pada manusia dan tidak memberi hukuman pada manusia atas kesalahan yang tidak dilakukannya.  

Dalam pandangan Maturidiah Samarkand nampak lebih dekat dengan paham Mu’tazilah. Baginya, karena perbuatan manusia bukan perbuatan Allah, melainkan perbuatan manusia sendiri, maka jika manusia dihukum itu adalah atas perbuatan yang dilakukannya sendiri berdasarkan kebebasan yang telah diberikan Allah kepadanya dan di sinilah keadilan-Nya.

Sebagaimana paham Mu’tazilah, Maturidiah Samarkand juga memandang keadilan Allah dari sudut kepentingan manusia, namun tinjauan terhadap kepentingan manusianya lebih kecil dari yang diberikan Mu’tazilah (Nasution, 1986:124). Hal itu disebabkan karena yang mereka berikan pada akal dan batasan yang mereka berikan pada kekuasaan mutlak Allah lebih kecil dari yang diberikan oleh Mu’tazilah.

Adapun aliran Asy’ariah memandang keadilan Allah dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Keadilan mereka artikan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya (al-Syahrastani, 1979:101). Dengan menempatkan Allah pada posisi pencipta mengandung arti bahwa Allah mempunyai kekuasaan mutlak dan bebas berbuat sekehendak hati-Nya terhadap milik-Nya. Inilah yang dinamakan dengan keadilan Allah. Sebaliknya, ketidak-adilan Allah menurut mereka berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya (al-Syahrastani, 1979:101).

Artinya, la berkuasa mutlak meskipun jika diumpamakan terhadap sesuatu yang tidak menjadi milik-Nya. Oleh karena itu, Allah tidaklah berbuat salah jika la memasukkan seluruh manusia ke dalam surga. Demikian juga tidaklah zalim jika la memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka (al-Syahrastani, 1979:102), meskipun hal itu tidak adil dalam pandangan manusia karena Allah berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.

Konsep keadilan Allah menurut Asy’ariah tersebut nampak bertentangan dengan konsep keadilan-Nya dari Mu’tazilah. Aliran Asy’ariah memandang keadilan Allah dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Namun, Mu’tazilah melihatnya dari sudut kepentingan manusia. 

Adapun pandangan aliran Maturidiah Bukhara, tentang keadilan Allah, agaknya mengambil posisi yang lebih dekat dengan paham Asy’ariah. Bagi Al-Bazdawi (Dahlan, 1987:117), keadaan Allah bersifat bijaksana tidaklah mengandung arti bahwa di balik perbuatan-perbuatan-Nya terdapat hikmah-hikmah. Artinya, alam ini diciptakan Allah bukanlah untuk kepentingan manusia (Nasution, 1986:124).

Keadilan, bagi Asy’ariah, adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya (al-Syahrastani, 1979:58). Karena itu, Allah dapat berbuat sekehendak-Nya.


Untuk itu, kaum Asy’ariah merubah definisi yang biasa dipakai untuk keadilan, sehingga keadilan dalam hal ini sesuai dengan teori mereka tentang al-kasb (Abu Zahrah, 1996:216) serta tentang kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya (Nasution, 1986:127).

Selanjutnya, untuk memahami pembahasan tentang pandangan Muhammadiyah tentang keadilan Tuhan, di sini akan dibatasi pada pandangannya tentang iman pada hari akhir. Hal ini pun dituangkan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih dengan ungkapan sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:20):

Kita wajib percaya tentang adanya Hari Akhir dan segala yang terjadi di dalamnya tentang kerusakan alam ini, serta percaya akan hal-hal yang diberitakan oleh Rasulullah SAW dengan riwayat mutawatir tentang kebangkitan dari kubur (54), pengumpulan di makhsyar 
(55), pemeriksaan (56) dan pembalasan (57).

Kutipan di atas menggambarkan, bahwa kalangan Muhammadiyah mempercayai adanya kebangkitan di akhirat yang merupakan masa di mana manusia memperoleh hasil dari segala yang dilakukan ketika mereka di dunia. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan tersebut dengan mempercayai akan hal-hal yang diberitakan oleh Rasulullah SAW dengan riwayat yang bisa diandalkan keakuratannya (mutawatir) yang berkaitan dengan peristiwa kubur, makhsyar, pemeriksaan dan pada gilirannya dengan pembalasan.

Adapun proses manusia dari alam dunia menuju alam akhirat, Muhammadiyah membagi menjadi tiga kelompok, yaitu orang-orang kafir (alkafirun) dan orang-orang musyrik (al-musyrikun), orang-orang mukmin (almukminun al-'ashun) yang berbuat dosa, dan orang-orang mukmin yang benar-benar (al-mukminun al-shadiqun) dengan sasaran akhir dua tempat yaitu neraka (al-nar) dan surga (al-jannah). Hal ini bisa dilihat dalam buku Himpunan Putusan Tarjih sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:20-21):

Maka Allah memberi keputusan tentang perbuatan orang, lalu ada yang masuk neraka selama-lamanya tidak keluar dari padanya, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang musyrik (58), dan ada yang masuk kemudian keluar dari neraka, yaitu orang-orang mukmin yang berbuat dosa (59). 

Dan ada yang masuk surga dan kekal, yaitu orang-orang mukmin yang benar-benar (60).

Berangkat dari kutipan di atas, tampak paham Muhammadiyah tentang keadilan Allah dalam memberi keputusan terhadap perbuatan manusia berdasarkan kepatuhan manusia dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhkan diri dari larangan-Nya. Oleh karena itu, orang-orang kafir dan orang-orang musyrik akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Kemudian orang-orang mukmin yang berbuat dosa akan masuk kemudian keluar dari neraka.

Sedang orang-orang mukmin yang benar-benar akan masuk surga dan kekal di dalamnya. Dalam hal ini, tampak menunjukkan adanya kecenderungan
 
Oleh karena itu, dalam hal ini Muhammadiyah nampak cenderung pada paham yang dianut oleh al-Asy’ari, yakni corak teologi Islam tradisional.

DAFTAR PUSTAKA
  • Abd. al-Jabbar. 1965. Syarh al-Ushul al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbah
  • Abu Zahrah,Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman dan Ahmad Qarib, Jakarta Selatan: Logos Publishing House
  • Ahmad, H.A. Malik. 1983. Akidah: Pembahasan-pembahasan tentang Allah dan Taqdir, Jakarta: Al-Hidayah
  • Asy’ari al-, Abu Hasan. 1410 H. Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah
  • Dahlan, Abdul Aziz. 1987. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta
  • Ghazali al-, Abu Hamid, Tth. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi
  • Hamka. 1996. Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang
  • Hilmi, Musthafa. 1983. al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah al-Gharbiyah, Kairo: Dar al-Da’wah
  • ‘Ibar al-, Abd al-Thif Muhammad, 1977. Al-Ushul al-Fikriyyah Ahl al-Sunnah Kairo: Dar al- Nahdhah
  • Ibn Muhammad, al-Qhasim al-Husain. 1961. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi
  • Jalian al-, Muhammad al-Sayyid. Tth. Al-lmam ibn Taimiyyah wa Wadariyyat al-Ta'wil, Kairo: al-'Ukkaz
  • Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan. Jakarta: Bulan Bintang
  • Madkour, Ibrahim. 1995. Alirann dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakhir. Jakarta: Bumi Aksara
  • Majid, H.Najah. 1984. Bidang Studi aI-Islam: Sub Bidang Studi Aqaid, Semarang:Aneka llmu
  • Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Ul-Press, 1986
  • Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan 
  • PP Muhammadiyah Majlis Tarjih. 2013. Kitab Himpunan Putusan Tarjih. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
  • ……., Tth. 1971. Qa’idah Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Pimpinan Pusat-Majlis Tarjih
  • Shiddieqy ash-, Hasbi. 1973. Tafsir An-Nur Jakarta: Bulan Bintang
  • Syahrastani al-, Muhammad Ibn ‘Abd Karim. 1979. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr
SUMBER / CATATAN KAKI ARTIKEL DIATAS
1 Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah Palembang

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF
Kehidupan spiritual sejatinya merupakan fase dimana manusia berotasi pada eksistensi dirinya, dimana fokus utama terletak pada dimensi spiritualnya dan nafs, ruh, qalb adalah sasaran dari kontemplasi tersebut,1 yang lebih dikenal dengan asketisme.2 Jika diruntun lebih jauh lagi, bahwa kehidupan asketis tidak dapat dipisahkan dari literatur dalam tradisi Islam, dimana dapat dijumpai sejumlah dalil-dalil dalam al-Qur’an maupun Hadits3 yang menegaskan potensi manusia terutama dimensi spiritual yang mampu meninggalkan belenggu jasmani (nasitiyah) untuk menanjak naik melalui potensi lahitiyahnya. Inilah yang menjadikan perbincangan seputar teori dan konsep yang lahir berikutnya menjadi unik dan beragam.4

Sebagai salah satu dimensi keagamaan yang muncul di tengah agama dan peradaban lainnya, sufisme dalam Islam juga tidak luput dari keterpengaruhan tersebut. Mulai konsep-konsep ketuhanan Neo-Platonisme Yunani sampai tradisi gnostik dan asketik yang berkembang di agama-agama Yahudi, Nasrani, Zoroaster, Hindu dan sebagainya, kemudian dengan dominasi warna Islamlah Sufisme berkembang.5 Sufisme Awal

Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjutan dari gaya keberagaman para zahid dan ‘abid, kesalehan yang mengelompok di serambi mesjid Madinah.6 Fase awal ini juga disebut sebagai fase asketisme yang merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung sampai akhir abad II Hijriah, dan memasuki abad ke III sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh (antara lain) pergantian sebutan zahid menjadi sufi. 

Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah meningkat pada persoalan bagaimana jiwa yang bersih itu, apa itu moralitas dan bagaimana pembinaannya serta perbincangan masalah kerohanian lainnya. Tindak lanjut dari diskusi ini, bermunculanlah berbagai konsepsi tentang jenjang perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi (al-maqamat) serta cir-ciri yang dimiliki oleh seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu (al-ahwal).7 Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang perbincangan tentang pada derajat fana dan ittihad. Bersamaan dengan itu, tampillah para penulis tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (w.234 H), al-Harraj (w. 277H) dan al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H), dan penulis lainnya. Secara konseptual-tekstual lahirnya sufisme barulah pada periode ini, sedangkan sebelumnya hanya berupa pengetahuan perorangan dan atau semacam langgam keberagamaan. Sejak kurun waktu itu sufisme berkembang terus ke arah penyempurnaan dan spesifikasi terminology seperti konsep intuisi, dzauq dan al-kasyf.

Kepesatan perkembangan sufisme, nampaknya memperoleh dorongan setidaknya dari tiga faktor penting, yaitu: pertama adalah karena gaya kehidupan yang glamour-profanistik dan corak kehidupan materialis-konsumeris yang diperagakan oleh sebagian besar penguasa negeri yang segera menular di kalangan masyarakat luas. Dari aspek ini, dorongan yang paling kuat adalah sebagai reaksi terhadap gaya murni ethis, melalui pendalaman kehidupan rohaniah-spiritual. Tokoh popular yang dapat mewakili kelompok ini dapat ditunjuk Hasan al-Bashri (w. 110H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejahteraan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd, al-khauf dan al-raja’. Selain tokoh ini, juga Rabiah al-Adawiyah (w.185H) dengan ajaran populernya al-mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w.200H) dengan konsepsi al-syauq sebagai ajarannya, juga adalah pelopor angkatan ini.8

Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal terhadap radikalisme kaum Khawarij dan polaritas politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulatan kekuasaan pada masa itu, menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dalam suasana kedamaian rohaniah dan keakraban cinta sesame, terpaksa memilih sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai dengan menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dengan pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah dimana konseptornya adalah Surri al-Saqathi (w. 253H). 

Apabila dilihat dari aspek sosiologi, nampaknya kelompok ini bisa dikategorikan sebagai gerakan sempalan, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis terhadap penguasa. Dilihat dari sisi motivasi ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian atau mencari kompensasi untuk memenangkan pertempuran ukhrawi di medan duniawi. Ketika di dunia yang sarat dengan tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta kasih, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari keserakahan dan kekejaman yakni dunia spiritual yang penuh dengan kecintaan dan kebijakan.

Ketiga, nampaknya adalah karena faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh) dan perumusan ilmu kalam (teologi) yang dialektis-rasional, sehingga kurang bermotivasi ethical yang menyebabkan kehilangan nilai spiritualnya menjadi semacam wahana tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin mengeringkan dan menyesakkan ruh al-din yang berakibat terputusnya komunikasi langsung dan suasana keakraban personal antara hamba dan Khaliqnya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu, dihadapkan pada dominannya posisi moral dalam agama, menggugah para zuhud untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu pergeseran asketisme kesalehan kepada sufisme. 

Doktrin al-zuhud misalnya yang tadinya sebagai dorongan untuk meninggalkan ibadah semata-mata karena takut pada siksa neraka, bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah, agar selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakkal yang tadinya berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan kepada pengingkaran kehidupan duniawi-profanistik di satu pihak dan konsep sentral tentang hubungan manusia dengan Tuhan, yang kemudian popular dengan doktrin al-hubb. Doktrin ini adalah semacam pra-ma’rifat yakni mengenal Allah secara langsung melalui pengalaman bathin. Menurut sebagian sufi (tasawuf sunni) ma’rifatullah adalah tujuan akhir dan merupakan tingkat kebahagiaan yang paripurna yang bisa dicapai manusia di dunia ini. Untuk bisa mencapai kualitas ilmu seperti itu, harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat-tingkat dan hanya dimiliki orang-orang tertentu saja.

Dalam kurun waktu yang sama, tampil Dzu al-Nan al-Mishri (w.245H) dengan konsepsi metodologi spiritual menuju Allah, yakni al-maqamat yang secara parallel berjalan bersama al-hal yang bersifat psiko-gnostik. Sejak diterimanya secara luas konsepsi al-maqamat dan al-ahwal, perkembangan tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan perbedaannya dengan kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun ajarannya. Selain dari pada itu, sejak periode ini kelihatannya untuk menjadi seorang sufi semakin berat dan sulit, hampir sama halnya dengan kelahiran kembali seorang manusia, bahkan jauh lebih berat dari kelahiran pertama. 

Karena kalau kelahiran pertama menyongsong kehidupan duniawi yang mengasyikkan, tetapi pada kelahiran kedua ini, justru melepas dan membuang kehidupan material yang menyenangkan, untuk kembali kea lam rohaniyah, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut. Sementara itu pada abad ketiga ini juga Abu Yazid al-Busthami (w.260H) melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana, yakni beralih dan meleburnya sifat kemanusiaan (nasut) seseorang ke dalam sifat ilahiyah sehingga terjadi penyatuan manusia dengan Tuhan dalam al-fana. Sejak munculnya doktrin al-fana dan al-ittihad, terjadi pulalah pergeseran tujuan akhir dari sufisme. Kalau mulanya sufisme bertujuan ethis, yakni agar selalu dengan Allah sehingga dapat berkomunikasi langsung dengan Allah, maka selanjutnya tujuan itu menaik lagi pada tingkat penyatuan diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigm, bahwa manusia yang secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu melakukan satu transformasi dan transendensi melalui peluncuran (mi’raj) spiritual ke alam ketuhanan. 

Berbarengan dengan itu, timbul pula sikap pro-kontra terhadap konsep al-ittihad dan menjadi salah satu sumber terjadinya konflik dalam dunia pemikiran Islam, baik intern sufisme maupun dengan fuqaha dan para teolog. Dua kelompok ini secara bersama menuduh penganut sufisme al-ittihad sebagai gerakan sempalan yang telah merusak prinsip-prinsip Islam. Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur luar Islam yang berakulturasi dan bahkan sinkretis dengan sufisme. Masalah lain yang penting dicatat adalah bahwa pada kurun waktu ini juga timbul ketegangan antara kaum ortodoks Islam dan penganut sufisme awal (kesalehan asketis) di satu pihak dengan sufisme yang berpaham ittihad di pihak lain. Sufisme Orthodoks

Sebenarnya apabila ditinjau secara cermat dan menyeluruh ketegangan yang terjadi seperti yang disebutkan di atas, bukan semata mata karena masalah sufisme atau karena perbedaan sufisme atau karena perbedaan pemahaman agama, tetapi juga karena telah ditunggangi kepentingan politik, yakni kaum Sunni versus kaum Syi’i. Sebab, sejak abad ketiga hijriah sudah mulai popular sebutan sufisme ortodoks, yang dirintis oleh Harits al-Muhasibi seperti telah disebutkan terdahulu sebagai tandingan bagi sufisme popular yang didukung sepenuhnya oleh kaum Syi’ah. Tujuan sufisme ortodoks adalah ihya atsar al-salaf reaktualisasi paham salafiyah dengan mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan sufi terdahulu yakni para sahabat dan generasi sesudahnya dengan tetap mempraktekkan kehidupan yang bersifat lahiriah. Dengan kata lain, bahwa gagasan al-Muhasibi itu adalah untuk merentang jembatan di atas jurang yang memisahkan Islam ortodoks dan mengawal kesucian sufisme agar tetap berada dalam wilayah Islam yang murni.9

Usaha al-Muhasibi tersebut dilanjutkan oleh para pengikutnya dengan merumuskan prinsip-prinsip sufisme ortodoks, sejak itu (abad ke III) tertengarailah sebutan Sufisme ortodoks dan nampaknya gerakan pertama dalam pembaharuan sufisme. Dalam pandangan sufisme ortodoks penyimpangan berat yang dilakukan oleh sufisme Syi’i adalah dalam aspek tauhid atau teologi. Oleh karena itu, tema sentral dari pembaharuan sufisme ini adalah rekonsiliasi antara teologi sufisme dengan teologi ortodoks yakni teologi Ahlusunnah wal jama’ah. 

Salah satu rumusan teologinya ialah Islam adalah pengetahuan yang bersifat apriori dan simplisiter iman adalah pengetahuan tentang Tuhan, tentang ketuhanannya yang bertempat di qalbu (hati), ma’rifat adalah pengetahuan sejati tentang Tuhan yang berpusat dalam fuad (pusat hati), dan pengakuan tentang ke-Esaan Tuhan dengan sifat-sifatnya adalah pengetahuan tentang kesatuannya (unitasnya) yang mutlak dan tempatnya adalah sirrr (inti qalbu). Usaha rekonsiliasi yang dirintis oleh al-Muhasibi dilanjutkan oleh al-Kharraj dan al-Junaid dengan tawaran konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dengan kelompok ortodoks (kaum salafiyah). Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani dan bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syari’at Islam. Jasa mereka yang paling berharga adalah lahirnya doktrin al-baqa (subsistensi) sebagai imbangan dan legalitas al-fana. Hasil keseluruhan dari upaya pemaduan itu, terminology sufisme membuahkan pasangan-pasangan kategori dengan target merekonsiliasi kesadaran mistis dengan syariat yang legal sebagai suatu lembaga.

Gerakan sufisme ortodoks mencapai puncaknya pada abad lima hijriah melalui tokoh monumental al-Ghazali (w.503H). gerakan ini terutama bertujuan untuk membendung invasi berkembangnya teologi sufisme yang menurut pandangan kaum ortodoks dapat merusak sendi-sendi ketauhidan, maka al-Ghazali merumuskan suatu konsepsi yang diharapkan dapat menampung aspirasi kedua belah pihak. Kalau pada kesalehan asketis (zahid) yang awal dengan penekanannya pada motif esoteric sebagai reaksi terhadap pemahaman eksternal hukum dari kelompok rasional-intelektual, al-Ghazali menampilkan doktrin al-ma’rifat. Dia maksud dengan istilah ini adalah, pengetahuan yang diperoleh melalui penjelajahan batin atau eksperimen batin, yang secara tegas dipertentang-kan dengan pengetahuan intelektual seperti teologi dialektis. Konsepsi ini bukan menentang teologi tetapi ia menentang perumusan teologi yang dilakukan secara rasional-dialektik.10 Sufisme –Theosufi

Paparan terdahulu menunjukkan, bahwa sufisme sebagai ilmu teoritis maupun praktis telah sampai pada tingkat kematangan (fase keempat), yang ditandai dengan terpilahnya sufisme kepada dua aliran besar yaitu sufisme Sunni dan sufisme Syi’i yang disebut juga sufisme falsafi atau sufisme-theosufi.11 Sebab ternyata pada akhirnya intisari pengalaman kesufian yang menurut al-Ghazali tidak mungkin diungkapkan menerobos juga lewat konsepsi Ibn Arabi (w.638H). corak ma’rifat yang dikembangkan tokoh popular dari Murcia ini, tidak sejalan dengan konsepsi ma;rifat sebelumnya. Ia bukan saja mengungkapkan kasatuan manusia dengan Tuhan seperti halnya dengan Abu Yazid al-Bistami tetapi ia menyodorkan satu bentuk olahan esoterik yang mirip dengan filsafat. Ia berusaha mencerahkan hubungan antara fenomena alam yang pluralistic dengan Tuhan sebagai prinsip keesaan yang melandasinya. Berangkat dari pendapat sufisme bahwa yang mutlak hanya Allah, ia lalu mengatakan bahwa alam ini adalah (mazhar) dari asma dan sifat Allah, yang sebenarnya adalah zat-Nya. Yang Mutlak itu merupakan diri dalam citra keterbatasan yang empiris yang kemudian popular dengan doktrin wahdah al-wujud.12

Paham baru ini kembali menimbulkan ketegangan dan pertentangan yang lebih tajam dan meliputi segenap pemikiran Islam, karena paham ini dikategori-kan sebagai pantheisme (paham serba Tuhan) yang tidak bisa disesuaikan dengan akidah Islam. Karena konsepsinya yang dinilai sementara sufi sangat ekstrim menuduhnya sudah keluar dari Islam (kafir). Apabila dilihat dari perkembangan sufisme, maka fase ini sudah memasuki fase keempat yang ditandai masuknya unsur-unsur filsafat ke dalam sufisme, baik yang bersifat metodologis maupun yang mengambil postulat-postulat filsafat Yunani terutama neo-Platonisme. 

Agaknya persoalan ini pulalah yang melatarbelakangi terutama gerakan Ibn Taymiyah dan Ibn Qayyim pada abad kedelapan Hijriyah untuk melanjutkan usaha yang pernah dilakukan al-Ghazali. Ibn Taymiyah juga mengakui validitas metode eksperimen batin sufisme (ma’rifat), tetapi kualitas keabsahan itu baru relevan dengan syari’at.13 Rumusan ini secara tegas menolak doktrin monism (wahdah al-wujud) Ibn ‘Arabi dan sekaligus juga menolak berbagai praktek ritual sufisme. Demikianlah telah terlihat bahwa masa kejayaan sufisme cukup lama dan tersebar di seantero dunia Islam. Namun memasuki abad kedelapan Hijriyah nampaknya sufisme telah memasuki masa kemandegan. Karena sejak masa itu tidak ada lagi konseo-konsep sufisme yang baru dan orisinil. Yang berjalan terus hanyalah sekedar ulasan-ulasan terhadap karya lama. Praktek pengamalan sufisme berjalan semarak tetapi lebih didominasi tarekat sebagai lembaga sufisme dan lebih menampakkan aspek ritusnya, bukan pada aspek substansinya. Neo-Sufisme

Apa yang ingin dicoba ungkapkan dari sufisme terdahulu adalah bahwa sufisme secara tegas menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar pada pendekatan esoterik, pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan esoterik ini adalah timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih mengutamakan makna batiniyahnya saja atau ketentuan yang tersirat saja dan sangat kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya. Oleh karena itu adalah wajar apabila kemudian dalam penampilannya, kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan terkesan mengarah ke privatisasi agama. Di sisi lain, terdapat kelompok muslim yang mengutamakan aspek-aspek formal-lahiriyah ajaran agama melalui pendekatan eksoteris-rasional. Mereka lebih menitik-beratkan perhatian pada segi-segi syariah, sehingga kelompok ini disebut kaum lahiri. Seperti disebut terdahulu, bahwa dalam sejarah pemikiran Islam pernah terjadi polemik panjang yang menimbulkan ketegangan antara dua kubu yang berbeda orientasi penghayatan keagamaan.14

Dalam segi penamaan, neo-sufisme adalah istilah yang baru berkembang pada abad dua puluh, yang dipopulerkan oleh Fazlur Rahman. Namun, sejatinya gagasan neo-sufisme dalam sejarahnya telah ada sejak abad ke delapan Hijiriyah, yaitu suatu corak tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah, dan adalah Ibn Taymiyyah (w.728H), sebagai pencetus gagasan yang selanjutnya diteruskan oleh muridnya Ibn Qayyim.15 Kebangkitan kembali sufisme di dunia Islam dengan sebutan neo-sufisme, nampaknya tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan agama sebagai penolakan kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi yang notabene merupakan produk modernism. Modernism dinilai telah gagal memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya upaya kembali ke agama dianggap sebagai solusi paling tepat sebagai jalan pemaknaan terhadap kehidupan secara universal.

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Qur’an al-Karim
  • Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Kelantan Malaysia: Pustaka Aman Press, 1977 .
  • Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al- Mazhab Ahl al-Tasawwuf, Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, Beirut Libanon, 1993.
  • A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan, Jakarta: Mizan, 1991.
  • Carl W. Ernst, Shambhala Guide to Sufim, terj: Arif Anwar, Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003.
  • Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1997.
  • Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, London: I.B. Tauris & Co Ltd , 1989
  • Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
  • Isa Abduh Ahmad Isma’il Yahya, Dr, HakIkat al-Insan, Dar al-Ma’arif, tp, tt
  • Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Sumber / Catatan Kaki Artikel Di Atas :
1 Isa Abduh Ahmad Isma’il Yahya, Dr, Hakikat al-Insan, Dar al-Ma’arif, tp, tt, hal. 85. 
2 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal. 93-94. 
3 Lihat al-Qur’an : QS: Al-Baqarah: 86; QS: Al-Baqarah; 115; QS; QS: Al-Maidah: 54; QS: Ali Imran: 30; Qaf: 16. 
4 Carl W. Ernst, Shambhala Guide to Sufism, terj: Arif Anwar, Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003, hal. 153.
5 Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan Malaysia: Pustaka Aman Press, 1977), hal. 67-78. 
6 Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al- Mazhab Ahl al-Tasawwuf, (Beirut Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah,, 1993), hal. 15. 
7 A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan, Mizan, Jakarta, 1991, hal. 81-90.
8 Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, (London: I.B. Tauris & Co Ltd., 1989,) , hal. 33.
9 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 301.
10 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik…, hal.304. 
11 Fazlur Rahman, Islam, penterjemah: Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 204
12 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik…, hal.304. 
13 Fazlur Rahman, Islam…, hal. 210. 
14 Fazlur Rahman, Islam.., hal. 213.
15 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik…, hal.309.

Paradigma dan Corak Pemikiran Teologi Islam Klasik dan Modern


Paradigma dan Corak Pemikiran Teologi Islam Klasik dan Modern
Fenomena keberagamaan dalam agama Islam nampak semakin hari semakin semarak, tetapi fenomena semarak pada permukaan tersebut bukanlah suatu jaminan bahwa umat Islam pada zaman terakhir ini juga mengalami kekuatan secara utuh, secara kwantitas mungkin Islam mengalami jumlah kwantitas meningkat tetapi secara kualitas belum tentu hal yang sama terjadi, bahkan boleh saja kemudian mengalami degradasi pengikisan terhadap paham-paham substasni ajaran keagamaan yang ada. Dengan fenomena perkembangan yang ada tersebut, maka sungguh memprihatinkan jika pada pase perkem,bangan saat ini, kelompok lain lebih banyak dan cara pandangan lain telah menggiring umat islam masuk pada wilayah teologi suram yang tidak lagi mengetahui arah jalan menuju pusaran Islam sebenarnya. Hal ini juga terbukti dengan merajalelanya maksiat dan problematika keagamaan dasar diinjak dan dilanggar oleh para pengikutnya.

Aqidah adalah hal yang amat penting, jika aqidah tidak lagi menjadi sesuatu yang ideal yang dapat mengendalikan diri seseorang, maka manusia berada dalam kegalauan yang panjang tidak dapat menemukan jati diri yang sesungguhnya. Sehingga benarlah uangkapan hadist yang menyebutkan bahwa manusia bagaikan buih di dasar lautan yang di mainkan oleh ombak kesana kemari.

Cara pandang masyarakat dari berbagai kalangan dan kelasmelihat Islam dengan berbagai bentuk dan kepentingannya masing-masing, maka tidak heran kalau wajah islam tersebut menjadi warnawarnisesuai dengan selera situasi dan kondisi yang ada, tetapi terkadang sebahagian orang juga pemeluk agama melompati batas tirani indikator-indikator prinsip dalam beragama sehingga terjerumus secara tidak langsung pada kecenderungan subjektif terhadap pandangan yang beragam tentang berbagai hal di dunia, antara lain, pandangan terhadap materialisme sebagai pemicu keterasingan manusia dari penciptanya. Dengan demikian, maka manusia harus memiliki prinsif, ukuran dalam mempermainkan semua indikator yang bakal menggiringnya pada kesesatan panjang.

Kritik terhadap “teologi Islam” tidak lagi merupakan sesuatu yang dapat disembunyikan, karena penerapan pengamalan secara nyata ternuka dihadapan publik, sehingga hampir semua kelompok pembaharu dalam Islam angkat bicara tentang kesalahan

Perkembangan teologi Islam dari waktu ke waktu senantiasa mengalami pasang surut, sesuai dengan tingkat perkembangan para ilmuan menganalisa ajaran-ajaran teologi dalam Islam, karena beberapa ilmuan terdahulu menelaah teologi dengan cara pandang statis dan fatalisme, sehingga menyebabkan berkembangnya cara pandang yang stagnan dan passif, sedangkan perkembangan sosial kemasyarakatan, mengalami kompetisi yang tiada hentinya dari waktu kewaktu, sehingga sangat dibutuhkan cara pandang teologi aktual dan mampu menjawab berbagai tantangan kontemporer Kemajuan Barat dalam ilmu pengetahuan dan tehnologi, menimbulkan kegelisahan para pemikir Islam kontemporer, keprihatinan, Arkoun, Fazlur Rahman, Muhammad Iqbal, Hassan Hanafi, Abid al-Jabiri dan lain-lainnya dipicu oleh persoalan mengapa ilmu-ilmu agama Islam termasuk Ilmu Kalam(teologi) masih berjalan di tempat, baik dari konstruk epistimologi, Metodologi maupun muatan Isinya, padahal kehidupan manusia telah begitu fantastisnya telah berubah, di samping problem yang dihadapipemikiran kontemporer pun juga telah berbeda dari era klasik Islam.


Pengertian Teologi Islam Modern
Dalam pemikiran Islam mencakup tiga pembahasan besar yang senantiasa menjadi pokok bahasannya, antara lain adalah Filsafat Islam, Teologi Islam(ilmu Kalam) dan Tasauf. Ketiga pembahasan ini akan dibahas secara mendasar.

Sebelum menjadi sebuah keilmuan yang definitif , ilmu kalam mengalami serangkaian sejarah panjang, ilmu kalam dapat dipahami dan dikonstruksi dengan melacak akar geneologisnya didalam pemikiran-pemikiran yang dicetuskan oleh pemikir yang terlibat didalamnya dan mempertajamnya dengan membandingkan dan melihat hasil-hasil pemikiran para sejarawan.

Term kalam, pada awalnya, memang belum menjadi terminologi khusus sebagaimana yang kita pahami sekarang. Seiring dengan perkembangan sejarah, term kalam kemudian mengalami pengkhususan makna, misalnya dapat kita lihat pada penggunaan term sebagai istilah tehnis yang mengacu pada persoalan-persoalan yang kemudian menjadi objek utama dalam pembahasan kalam. Adanya term Mutakallimin yang digunakan ibnu Sa’ad (w. 845 m) untuk merujuk orang-orang Murjiah yang berdiskusi tentang status orang-orang yang berdosa.

Puncak perkembangan term kalam terjadi setelah ia diadopsi sebagai nama bagi sebuah disiplin keilmuan yang ditandai dengan muncul dan berkembangnya pemikiran-pemikiran Mu’tazilah dikalangan Islam, lebih gamblang lagi dijelaskan bahwa term kalammenjadi nama bagi sebuah keilmuan yang definitif pada masa khalifah al-Makmum (813 – 833 M)

Setidaknya ada tiga titik pandang argumentasi mengapa keilmuan ini dinamakan ilmu kalam:
  1. Taftazzani dalam Dirasat fi al-falsafah al-Islamiyah menjelaskan bahwa keilmuan ini disebut dengan ilmu kalam karena persoalan pertama yang ia bahas, dalam sejarahnya, adalah berkenaan dengan kalam Allah, apakah kalam Allah bersifat hadis atau qadim.1
  2. Harun Nasution dalam teolgi Islam memandang dari dua perspektif(a). Perspektif Objektif, yaitu karena yang dibahas dalam ilmu ini adalah sabda Tuhan(al-qur’an), sebuah persoalan yang telah menimbulkan pertentangan keras dikalangan umat Islam pada abad ke sembilan dan kesepuluh Masehi(b).perspektif subjektif, yaitu karena para ahli kalam dalam sejarahnya sering menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendiriannya berkenaan dengan problem keagamaan yang dihadapi2
  3. Karena pemikir Islam ketika membahas persoalan-persoalan keyakinan keyakinan dalam Islam menggunakan metode dialektika (al-jadali) yang oleh orang arab disebut dengan kalam.
Dalam kehidupan intelektual, tidak jarang kita senantiasa menyamakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid. Hal ini tidaklah berlebihan jika ditinjau dari aspek objek materialnya, namun dari sisi metodologis, sebenarnya penyamaan ilmu kalam dengan ilmu tauhid kurang tepat, walaupun pada masa-masa selanjutnya perkara ini tampak kurang diperhatikan dan dipersoalkan secara serius. Al-Gazali(w.1111 M)pernah menjelaskan hal tersebut dalam risalah alladuniyah. 

Menurutnya ilmu kalam tidak identik dengan ilmu tauhid, ilmu kalam adalah bagian kecil saja dari ilmu tauhid. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa ilmu Tauhid pada hakikatnya merupakan ilmu pengetahuan sekaligus pengamalan dan penghayatan, sementara ilmu kalam lebih merupakan metodologi rasional dalam membela aqidah dari rongrongan kaum bid’ah, sehingga cakupan ilmu tauhid lebih luas dibandngkan dengan ilmu kalamilmu kalam muncul lebih karena adanya kebutuhan untuk membela aqidah yang benar dari serangan dan ronrongan bid’ah. Perbedaan di antara keduanya tidak terletak pada objek materialnya, namun lebih pada aspek metodologi dan penghayatannya.

Term teologi sebenarnya bukanlah khasanah baru dalam pemikiran Islam, hal ini dapat dilacak pada masa awal Islam dimana pada saat itu sedang terjadi transformasi intelektual melalui penerjemahan terhadap karya-karya Yunani, adikarya-adikarya seperti Theologia Aristotle, ataupun Elementatio Theologia telah dikenal dikalangan pemikir Islam 4 ini adalah fakta historis yang memperkuat pernyataan bahwa term teologi bukanlah hal baru dalam hasanah pemikiran Islam, realitas bahwa arus utama pemikiran global pada saat itu digerakkan oleh orang Islam, disamping kuatnya dominasi Arabisme tampaknya menjadi faktor yang membuat term tersebut diterjemahkan kedalam hasanah pemikiran Islam dengan istilah Kalam.

Penggunaan term teologi sebagai subsitute atau pengganti dari term kalam, tidak lain hanya merupakan proses sejarah yang berulang(re-historical prosess) 5 ini adalah hal yang wajar akibat adanya interaksi dialektis seiring dengan perkembangan pemikiran dalam konteks ruang dan waktu tertentu.

Memberikan jembatan batasan antara klasik dan modern dalam dunia teologi sungguh membutuhkan analisa komprehenshif karena masing-masing tokoh dan ilmuan tidak pernah ingin mengatakan bahwa dirinya ada pada wilayah klasik yang terkesan identik dengan ketertinggalan dan keterasingan. Mungkin ia modern pada zamannya tetapi ketika terjadi pendapat dan pandangan yang baru maka pemikiran tersebut menjadi klasik dan kembali kepusaran.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia bahwa kata kontemporer adalah pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa kini; dewasa ini. Teologi kontemporer ini merupakan upaya menjawab konteks sosial yang ada dan bentuknya praktis, bisa pada teologi pembebasan, lingkungan, humanistik dan lain-lainnya. Intinya teologi kontemporer tidak bersifat teoritis, hanya menyajikan langkah praktis perwujudan dari nash dalam menghadapi persoalan yang ada atau dihadapinya.

Menurut Ahmad Hassan, modernisme adalah aliran aliran pemikiran keagamaan yang menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian Islam harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di zaman modern.6

Chehabi mengartikan sebagai aliran pemikiran yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama sehingga tidak bertentangan dengan semangat zaman yang dominan terutama apa yang ada dan dijumpai dalam masyarakat lain yang lebih maju. Mukti Ali sebenarnya sepakat dengan pengertian diatas hanya dia lebih sepakat dengan definisi modernisme dengan usaha furifikasi agama dan kebebasan berfikir. Menurutnya modernisme adalah paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-qur’an dan Sunnah, sepanjang tidak bertentangan dengan teks al-qur’an dan hadits shahih.7

Menurut Fazlur Rahman, Modernisme adalah usaha untuk melakukan harmonisasi antara agama dan pengaruh modernisme dan westernisasi yang berlangsung di dunia Islam. Usaha itu dilakukan dengan menafsirkan dasar-dasar doktrin supaya sesuai dengan semangat zaman.8

Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian Tajdid Yaitu pembaharuan atau modernisme yakni upaya mengembalikan pemahaman agama kepada kondisi semula sebagaimana masa nabi, ini bukan berarti hukum agama harus persis sama seperti yang terjadi pada waktu itu, melainkan melahirkan keputusan hukum untuk masa sekarang sejalan dengan maksud syar’i dengan membersihkan dari unsur-unsur bid’ah, khurafat, atau pikiran pikiran asing.9

Memperhatikan pernyataan di atas, berarti teologi kontemporer orientasinya pada transformasi sosial masyarakat, melakukan langkah praktis karena perintah nash. Sedangkan aliran teologi klasik sebagaimana sering kita diskusikan, hanya berkutat pada persoalan hakikat yang berdasarkan atas penafsiran terhadap wahyu Allah dan

Sunnah berhubungan dengan ketuhanan, keimanan, takdir, dosa, kafir, imamah, khalifah dan perbuatan-perbuatan manusia.

Aliran teologi kontemporer ini bisa saja orang memandang sebagai Islam kiri, Islam liberal, Islam progresif khazanah. Kadang-kadang aliran ini bisa saja dinilai positif dan negatif. Positif jika dapatbergerak dalam bidang ekonomi, sosial dan politik serta benar-benar fokus dan maju dibidang kajiannya dan bisa negatif bila dilihat sebagai sebuah gerakan mandiri yang tampak menantang dunia.

Paradigma Pemikiran Teologi Islam Modern
Jika membahas era yang modern, maka ukurannya adalah ada sesuatu yang membutuhkan perubahan secara mendasar, ketika mencari hal mendasar batasan antara teologi klasik dengan modern, maka yang dibutuhkan bukanlah objek bahasannya tetapi kerangka pikir dan analisa terhadap problematika yang paling mendasar sehingga dapat memberikan kontruk pemikiran berubah dan baru tanpa meninggalkan secara totalitas objek bahasan masa lalu melainkan cara pandang solusif dan manfaat serta rahmat bagi kepentingan semua elemen yang ada dimuka bumi.

Ruang lingkup ilmu kalam yang bersifat transenden spekulatif dalam realitas historisnya banyak membicarakan tentang zat, sifat Tuhan, kenabian, eskatologi, dosa besar, syurga dan neraka, azali dan non azalinya al-qur’an, hal demikian mendapat kritikan karena ilmu kalam hanya mengubek-ubek persoalan ketuhanan dengan berbagai tetek bengeknya, ilmu kalam condong melangit dan kurang membumi, kehilangan elan vitalnya alias mandul. Dengan demikian ilmu kalam dianggap membeku, tidak melihat kebutuhan teologi masyarakat abad modern yang haus akan siraman dan bimbingan pemikiran yang sederhana dan faktual.

Ada beberapa ciri yang menandai modernisme Islam yang telah dikenal luas dalam kajian-kajian terdahulu. Hamilton Gibb menitik beratkan kepada ciri “apologetik”. Ciri ini ditandai dengan sikap pembelaan terhadap Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan missionaris kristen. Apologia, menurut Gibb dilakukan sebagai upaya untuk menunjukkan keunggulan Islam daripada peradaban barat, tetapi ia menambahkan satu ciri lagi yakni “Romantisme”. Hal itu terlihat dari cara mereka mengagungagungkan zaman awal dan zaman kegemilangan peradaban Islam dimasa lampau dalih apologetik lain yang seringkali dikemukakan oleh kaum modernis, masih kata smith, adalah bahwa kemunduran Islam bukanlah disebabkan kesalahan doktrin agama itu, melainkan kesalahan penganut-penganutnya. Puncak kesalahan itu karena umat Islam adalah telah melupakan agamanya. Dengan demikian ciri-ciri yang dikemukakan oleh orintalis tersebut dikritik oleh Edward Said, Marshall G.S Hodgson dan Robert N Bellah.

Sikap Arkoun yang tidak memberikan batasan terhadap modernitas itu cukup bijaksana, sebab jika ia mendefinisikannya sebagaimana pada umumnya dipahami sekarang sebagai apa yang ada pada masa kini, maka tidak dapat ditentukan secara pasti kapan dan dimana modernitas itu mendapatkan momentumnya. 10

Arnold Toynbee, mengatakan bahwa modernisme telah mulai menjelang akhir abad 15 Masehi, ketika orang Barat “berterimakasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya mengatasi kungkungan kristen abad pertengahan. Menurut Arkoun istilah modernitas berasal dari bahasa latin modernus pertama kali dipakai didunia kristen pada masa antara 490 dan 500 yang menunjukkan perpindahan dari masa Romawi lama ke periode Masehi. Modernitas pada masa klasik Eropa sendiri telah berjalan sejak abad ke-16 hingga tahun 1950 an. 11

Sementara itu Fazlur Rahman, Deliar Noer, dan Mukti Ali lebih menonjolkan karakteristik modernisme pada “keharusan Ijtihad”, khususnya ijtihad pada masalah-masalah muamalah (kemasyarakatan), dan penolakan mereka terhadap sikap Jumud(kebekuan berpikir) dan Taklid(mengikuti sesuatu tanpa pengertian). Kaum modernis senantiasa menggalakkan ijtihad dan membedakan doktrin kedalam dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah, dalam bidang ibadah, semua peraturannya telah dirinci dengan syariah, sehingga tidak adalagi kreatisfitas dalam hal ini,. Dalam bidang Muamalah syariah hanya memberikan prinsip-prinsip umum, disamping menetapkan hudud(batas-batas) yang tidak bisa dilampaui, dalam muamalah ini kaum modernis berpendapat bahwa “kreatifitas harus didorong”.
Mereka berdalih bahwa tanpa ijtihad Islam akan kehilangan relevansinya dengan zaman.12

Pada aliran-aliran teologi klasik dalam Islam sebenarnya telah memiliki kebebasan pilihan untuk menentukan beberapa kecenderungan aliran untuk kebebasan yang mengarah kepada berpikir modern, antara lain paham Qadariyah dan Mu’tazilah, potensi dasar inilah yang memang menenmpatkan potensi akal/rasio lebih dominan daripada wahyu, sehingga sangat memungkinkan untuk menjadikan wajah Islam dengan karakteristik berpikir modern sesuai dengan pengalaman Barat.

Hal lain yang menjadi isu-isu paradigma pembaharuan pandangannya terhadap Masyarakat Muslim, dalam konteks kemoderenan terkait dengan penjajahan, penindasan, keterbelakangan, kemiskinan, stagnasi pemikiran maupun hegemoni peradaban barat yang sekuler, sedang dalam diskursus kontemporer, semakin mengedepankan kesejarahan, sosial, dan kemanusiaan.13

Berbagai paradigma umum diatas, bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan permanen tetapi bagi para penganut pemikir modern kontemporer secara khusus memiliki paradigma karakter dan pola gerakan berdasarkan latar belakang dan situasi sosial yang masing-masing tokoh berbeda satu dengan yang lainnya sehingga paradigma pemikiran tersebut menjadi icon masing-masing.

Ziaul Haque, dia berpendapat bahwa revolusi yang digerakkan oleh nabi bertujuan untuk melawan diskriminasi, dominasi, dan memanipulasi kesadaran. Mereka berada di gardu depan dalam memerangi kelompok-kelompok dan kelas-kelas penguasa yang korup dan lalim14

Begitu juga dengan pemikir-pemikir teologi yang lain seperti Asghar Ali Engineer dengan Islam dan pembebasan teologi (Islam and liberation Theologi) dan Hasan Hanafi dengan Islam Kiri (Al-Yasar al-Islami), begitu juga dengan Murtadha Muthahhari dengan konsep Keadilan yang mencoba mencari jalan tengah dalam teologi yakni dengan prinsif Imam-imam maksum(la jabra wala tahfid bal amrun baenal amrain). Begitu juga dengan para pembaharu lain yang lebih toleran terhadap pemikiran barat karena ada unsur positifnya.

Perbedaan Corak Teologi Klasik dan Modern
Merupakan suatu hukum keharusan jika sesuatu yang lama dan klasik itu menjadi tidak populis dan mulai ditinggalkan oleh masyarakat, umpamanya alat-alat tehnologi yang sudah tidak efektif lagi, maka merupakan keharusan untuk ditinggalkan, tetapi jika membicarakan tentang wilayah teologi klasik dan modern, maka kita membicarakan suatu prinsip dasar, karena bukan hanya wilayah fisik tetapi wilayah transendental seperti ibadah dan pemahaman terhadap eskatologi perlu penerjemahan kembali kepada letak yang sebenarnya. Oleh karena itu dalam melihat perbedaan antar corak teologi klasik dan corak teologi modern perlu kehati-hatian.

Dalam bentang sejarah panjang telah lahir beberapa dasar teologi dari peristiwa pentahkiman antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan, hal pertama yang menjadi perdebatan dari kekisruhan peristiwa arbitrase tersebut adalah perasan pendukung tertentu yang menganggap mereka telah dicurangi karena tidak komitmennya kelompok Muawiyah dengan rencana kesepakatan awal. 

Sehingga hal tersebut berujung dengan rencana perdamain yang semakin meruncing dan membuat satu tingkatan kecurangan warisan yang harus diterima oleh pengikut dan penganut berikut. Kecurangan pastilah ada klaim siapa yang bersalah, siapa yang melakukan dosa besar diantara persoalan tersebut. Dari peristiwa ini, maka muncullah pandangan lain, bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir, dan mestilah ada reaksi berikut jika ada yang mengatakan berdosa besar, maka ada cara kelompok lain yang ingin mencari jalan penyelamatan dimata publik, sehingga ada yang mengatakan bahwa persoalan arbitrase diserahkan kepada Allah, nanti kemudian diakhirat, biarlah persoalan ini ditunda/ditangguhkan, ini pendapat Murjiah.

Pendapat-pendapat yang timbul ketika itulah sebagai dasar pijakan pikiran teologi klasik, seperti, Khawarij 15 , Murjiah 16 , Jabariyah, qadariyah, dan berikut berkembang dengan berbagai bentuknya tetapi masih memperdebatkan prinsip-prinsip dasar dalam Islam seperti Asy’ariyah, Mu’tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyah Bazdawi, masing-masing memiliki dua kecenderungan, ada yang lebih cenderung berpikir kepada sandaran wahyu dan ada yang lebih cenderung menyandarkan pemikirannya tersebut menyandarkannya kepada akal. Hal inilah kemudian berkembang dari waktu kewaktu dan senantiasa mengalami pergeseran demi pergeseran. 17 sebagaimana pemikiran Asy’ariyah yang mencoba mencari jalan tengah antara pemikiran rasional Mu’tazilah dan pemikiran Jabariyah, sehingga memiliki perkembangan dealektika pemikiran pada generasi berikutnya dengan yang lain seperti pemikiran al-Baqillani, al-Juwaini dan Al-Gazali. Dan wajah teologi yang beragam dengan dinamika pikiran dan latar belakang yang berbeda-beda tersebut semakin memperkaya para teolog klasik dan tidak heran jika warisan teologi klasik ini tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan pemikir teolog modern, bahklan dia merupakan jembatan dialog yang memperkokoh dasar kekayaan paradigmatik karena telah kaya akan wilayah spiritual, sehingga timur dikenal dengan new age(umur baru spiritual) bagi dunia barat, sementara paradigma barat yang berdasar pada filsafat materialisme kalrmax, memiliki kerapuhan dan kekeringan spiritual teologi.

Oleh karena itulah warisan teologi klasik ini melahirkan potensi dua wajah Islam, antagonisme dua wajah menemukan rujukan historis yakni permasalahan khilafah antara Ali bin Abi Thalib pada satu sisi, dan Muawiyah pada sisi yang lain. Yakni dengan munculnya khawarij dalam kelompok kecil sahabat, secara singkat khawarij adalah satu sisi dari dua wajah Islam yang menampilkan wajah Islam yang literal, garang, marah, in toleran dan eklusif.

Wajah Islam kedua yang merupakan wajah yang mengakui perbedaan, keragaman kontekstual dan senantiasa menginginkan kelembutan dan perdamaian adalah sikap Ali yang toleran terhadap kelompok Muawiyah yang ingin melakukan perundingan meskipun akhirnya melakukan tipu muslihatnya dan merugikan pihak Ali18

Teologi klasik jika diartikan sebagai jalan pemikiran masa lalu dengan dibatasi waktu, maka semua produk klasik termasuk karakter dan cikal bakal berpikir moderat tersebut akan terkuburkan, tetapi jika klasik dimaksudkan sebagai karakteristik berfikir yang tertinggal dan tekstual dan literal, maka kita masih dapat mengambil sosio historis potensi kemodernan yang ada pada teologi masa lalu, seperti ungkapan pengamatan schwart. Bahwa Ali adalah karakteristik Islam moderat, toleran dan kontektual dalam melakukan ijtihad untuk melakukan perdamaian dengan kelompok Muawiyah.

Mengupas corak pemikiran modern dalam Islam tidak mesti berhenti membincangkan problematika klasik karena dia sebagai dasar kelanjutan paradigma Islam, namun yang lebih banyak dibahas adalah substansi ijtihad dan metodologi struktural yang dikembangkan para teolog zaman modern. Mungkin sudah menjadi keharusan jika kondisi telah mendesak dan memaksa bahwa manusia harus mengikuti trend dan model/bentuk metodologi dipakai masyarakat modern.

Dalam kerangka pemikiran modernisme adalah bagaimana Islam di hadirkan dapat menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, predikat ini menjadi cambuk bagi pemikir Islam bahwa umat Islam harus dirubah, dikonstruk dan dipaksa untuk menerima cara berpikir yang Islami bukan formalisme Islami, hal ini dimaksudkan untuk mencapai ideal umat yang terbaik dimuka bumi ini. Untuk mencapai target dan tujuan tersebut, maka modernitas bukanlah satu-satunya proyek tawaran bagi kehidupan umat dengan kesejahtraan

duniawi(materialis) sehingga modernitas mendapat kritik sebagai gagalnya pembangunan perspektif manusia. 19 Yang menyebabkan krisis kemanusiaan. Hal ini juga yang terjadi dibangsa ini dengan banyak mental manusia perusak baik dalam perilaku keseharian maupun birokrat, sehingga sangat dibutuhkan konsep teologi solutif yang modern dan islami.

Menurut Penulis corak kemoderan dalam teologi Islam modern, tidak terikat dengan waktu, tetapi tidak dapat dilepaskan dengan waktu dan perkembangan sesuai dengan hukum sunnatullah, bentuk lain kemoderenan tersebut adalah jika penganut umat Islam lebih melihat Islam dengan pendekatan substansif bukan formalis sebagaimana ungkapan Bahtiar Effendi.

“Generasi Pemikir dan aktifis muslim baru yang sejak awal 1970-an lebih memperhatikan isi(subtance), daripada bentuk (form) dengan model ini mereka berharap agar soal ke-islaman dan ke-Indonesiaan memberikan legitimasi kultural dan struktural bagi konstruk negara bangsa dapat disentetiskan dan diintegrasikan dengan baik”20

Dan ciri dari corak kemoderenan yang lain adalah bagaimana mengfungsikan nilai-nilai Islam untuk mengatasi persoalan keumatan yang konkrit seperti kebodohan, kemiskinan, pengangguran, dan keterbelakangan sosial. 21 Dan hal yang yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana ilmu pengetahuan itu secara inklusif dapat dikembangkan untuk kesejahtraan dan ketentraman umat, baik untuk kepentingan kebutuhan hidupnya maupun untuk akhiratnya kelak.

Sebagaimana ungkapan Sayyed Husein Nasser.
“Mengadopsi teknologi barat secara buta, dunia Islam hanya akan bergabung dengan dunia modern dalam peningkatan kerusakan lingkungan alam secara tajam. Dunia Islam mempunyai tanggung jawab khusus sebagai pengemban wahyu al-qur’an untuk bertindak sebagai pelindung ciptaan Allah dan tidak melanggar fungsi khilafah.”

Dengan demikian, maka kontruk pemikiran yang konprehenshif dalam melihat Islam sangat dibutuhkan untuk senantiasa tidak kembali kepusaran. Para perintir/ pendahulu kita sebagai peletak zaman modern dalam Islam telah jauh memberikan sikap kearah pemikiran pengembangan Islam kedepan sebagai jawaban kegelisan umat Islam.

Daftar Pustaka
  • A‘la, Abd., Dari NeoModernisme ke-Islam Liberal, Jakarta: Paramadina, 2003
  • Ali, Mukti, Beberapa persoalan agama dewasa ini, Jakarta, Rajawali 
  • Al-Gazali, Risalah Al-Laduniyah, dalam Majmuah Rasail. Beirut: Dar al-Fikr, 1996
  • Effendi, Bahtiar Teologi baru Politik Islam, Yogyakarta: Galang Press, 2001
  • Fakhri, Madjid, The History of Islamic Philosophy, New York : Columbia University Press, 1983
  • Hassan, Ahmad, The Doctrin of Ijma in Islam, Islamabad:Islamic Reserch Institute, 1976,
  • Ihza Mahendra, Yusril Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik Islam, Jakarta:Paramadina, 1999
  • In ‘ Am Esa, Muhammad, Rethingking Kalam, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006
  • Jamrah, Suryan A., Sejarah timbulnya persoalan kalam dan lahirnya berbagai aliran di dunia Islam, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996
  • Johan, Meuleman, “beberapa catatan kritis tentang karya Muhammad Arkoun” dalam tradisi, kemoderenan dan Metamodernisme, Yogyakarta:Lkis, 1996
  • Muhaemin, Murjiah, ajaran pokok, sekte-sekte dan ajarannya, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996
  • Nasution, Harun,Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah analisa, perbandingan. Jakarta:UI Press, 1986
  • Nurdin, M. Amin,Khawarij, Sejarah, Sub Sekte Dan Ajarannya, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996
  • Putra, Suadi,Muhammad Arkoun Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998
  • Qadir, Zuly,Islam Liberal, Yogyakarta:Lkis, 2010
  • Qardhawi, Yusuf,Dasar-dasar pemikiran Hukum Islam, (taqlid dan ijtihad), tt.
  • Rahman, Fazlur,Islam, Chicago:The University of chicago press, 1982 
  • Schwatz, Steven Sulaiman,Dua Wajah Islam(moderatisme Vs
  • Fundamentalisme dalam wacana global)terjemah dari THE
  • TWO FACES OF ISLAM, Jakarta: Blantika;the wahid Institute, 2007
  • Taftazzani, Al-Wafa al-Ganaimi, Abu Dirasah Fi al-falsafah al-Islamiyyah, Kairo, Maktabah al-Qahirah al-Hadisah, 1957 Wolfson, Harry Austin,The Philosophy of Kalam, 1-2
SUMBER / CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
  • Abu Al-Wafa al-Ganaimi Taftazzani, Dirasah Fi al-falsafah al-Islamiyyah, Kairo, Maktabah al-Qahirah al-Hadisah, 1957, h. 4
  • Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, sejarah analisa, perbandingan. Jakarta:UI Press, 1986, h. ix
  • Al-Gazali, Risalah Al-Laduniyah, dalam Majmuah Rasail. Beirut: Dar al-Fikr, 1996, h. 227
  • Madjid Fakhri, The History of Islamic Philosophy, New York:Columbia University Press, 1983, h. 19-31
  • Istilah kalam pada awalnya merupakan pengganti dari logos dalam pemikiran filsafat Yunani. Dan untuk selanjutnya merupakan substitusi dari term teologi. Kalau zaman modern ada kecenderungan untuk menukarkan term kalam dengan teologi, maka itu bisa dikatakan sebagai pengulangan sejarah, Lihat Harry Austin Wolfson, The Philosophy of Kalam, 1-2
  • Ahmad Hassan, The Doctrin of Ijma in Islam, Islamabad:Islamic Reserch Institute, 1976, h. 226-227
  • A. Mukti Ali, Beberapa persoalan agama dewasa ini, Jakarta, Rajawali 
  • Fazlur Rahman, Islam, Chicago:The University of chicago press, 1982, h. 215 - 216
  • Dr. Yusuf Qardhawi, Dasar-dasar pemikiran Hukum Islam, (taqlid dan ijtihad), tt. h. 96
  • 10 Suadi Putra, Muhammad Arkoun Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina, 1998, h. 42
  • 11 Suadi Putra, Muhammad Arkoun Islam dan Modernitas, h. 43
  • 12 Prof. Dr.Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam politik Islam, Jakarta:Paramadina, 1999, h. 14-15
  • 13 Muhammad In ‘ Am Esa, Rethingking Kalam, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006, h. 68
  • 14 Muhammad In ‘ Am Esa, Rethingking Kalam, h. 85
  • 15 Khawarij adalah aliran yang pertama kali muncul dalam Islam, awalnya adalah pendukung Ali, tetapi kecewa dengan keputusan arbitrase yang menganggap Ali lemah dalam menetapkan hukum tidak berdasarkan apa yang diturunkan Allah sehingga berbalik kembali memusuhi Ali, dan mereka memiliki semboyan Lahukma illa llah(tidak ada hukum kecuali hukum Allah) Lihat dalam Dr. H.M. Amin Nurdin, Khawarij, Sejarah, Sub Sekte Dan Ajarannya, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996, h. 11-12
  • 16 Murjiah lahir sama sekali bertentangan dengan paham khawarij, orang mukmin yang berbuat dosa besar tetap mukmin, tidak menjadi kafir, orang yang berdosa besar diserahkan kepada Tuhan kelak dihari perhitungan, lihat dalam tulisan Dr. H. Muhaemin, MA, Murjiah, ajaran pokok, sekte-sekte dan ajarannya, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996, h. 19
  • 17 Dr. Suryan A. Jamrah, MA, Sejarah timbulnya persoalan kalam dan lahirnya berbagai aliran di dunia Islam, Jakarta: PT. Pustaka Antara, Jilid.I, 1996, h. 1
  • 18 Steven Sulaiman Schwatz, Dua Wajah Islam(moderatisme Vs Fundamentalisme dalam wacana global)terjemah dari THE TWO FACES OF ISLAM, Jakarta: Blantika;the wahid Institute, 2007, h. x - xi
  • 19 Dr. Zuly Qadir, Islam Liberal, Yogyakarta:Lkis, 2010, h. 191
  • 20 Bahtiar Effendi, Teologi baru Politik Islam, Yogyakarta: Galang Press, 2001, h. 10
  • 21 Bahtiar Effendi(pengantar), Teologi baru Politik Islam......h. xi