Ihwal Metode Penelitian Sosiolinguistik

Ihwal Metode Penelitian Sosiolinguistik 
Istilah metode penelitian dan beberapa istilah yang berhampiran dengannya merupakan istilah-istilah kunci dalam literatur metodologi penelitian ilmu bahasa dan sosial. Dalam sebagian literatur ilmu bahasa, pengertian metode seringkali dibedakan dengan teknik (Sudaryanto, 1993: 9; Subroto, 1992: 32). Metode dipahami sebagai cara penelitian yang lebih abstrak, sedangkan teknik dipandang sebagai cara penelitian yang lebih kongkret atau bersifat operasional. Di samping metode dan teknik, istilah metodologi dipakai sebagai acuan terhadap ilmu tentang metode. Berbeda halnya dalam literatur ilmu sosial (seperti sosiologi dan antropologi) (lih. Koentjaraningrat (ed.), 1994), pengertian metode dan teknik nyaris tidak dibedakan. Istilah metode dan teknik diacu untuk satu pengertian yang sama, yaitu cara melakukan penelitian. Bahkan, metodologi dengan metode juga hampir sulit dibedakan; di satu literatur dipakai metodologi penelitian, di literatur lain dipakai metode penelitian.

Dari sejumlah literatur tersebut, baik ilmu bahasa maupun ilmu sosial, ditarik satu pemahaman bahwa pengertian metode mengacu pada cara penelitian. Dalam kata lain, metode dapat pula dirumuskan sebagai langkah-langkah yang diambil peneliti untuk memecahkan masalah penelitian. Oleh karena itu, sesungguhnya, metode penelitian ini dimulai dari penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. 

Dalam ilmu sosial, langkah-langkah penelitian yang penting berkisar pada metode penyediaan data. Sebaliknya, dalam ilmu bahasa terutama literatur linguistik struktural, yang lebih diutamakan adalah metode analisis bahasa. Hal ini agaknya dapat dikaitkan dengan asumsi bahwa data bahasa lebih mudah diperoleh karena bahasa tersedia pada penuturnya atau ada dalam teks. Walaupun demikian, pendapat semacam ini tidak selalu benar karena data bahasa berbeda-beda sifat pengadaan atau penyediaannya, seperti penyediaan data dalam ilmu sosial. Oleh karena itu, di samping pentingnya analisis data, ilmu bahasa juga memandang penting metode penyediaan data, bahkan penyajian hasil analisis. Metode penyajian hasil analisis juga dipandang penting karena ada soal yang agak berbeda terhadap penyajian data bahasa dengan bahasa (metabahasa). Dalam ilmu bahasa, metode penyajian hasil analisis dilakukan dengan visualisasi verbal (rumusan kata-kata biasa) dan visualisasi nonverbal seperti penyajian sistem tanda.

Berangkat dari pertimbangan istilah-istilah di atas, setiap peneliti perlu memperhatikan esensi objek kajian dalam sebuah penelitian. Objek kajian (object of study) adalah sesuatu atau apa yang ingin diteliti. Hymes (dalam Garvin, 1970 : 252) mengatakan jika sebuah bahasa dijadikan objek kajian, bahasa itu hanyalah gerbang masuk dan pendahuluan ke arah penelitian yang sebenarnya. Fokus kajian bahasa itu adalah isi bahasa. Apa yang menjadi isi bahasa dalam konteks masyarakat misalnya adalah basa-basi, makian, sapaan, latahan, sanjungan, dan sebagainya. Objek kajian dalam sosiolinguistik ini nyaris tidak terbatas karena begitu banyak jumlahnya. Seorang peneliti diharapkan jeli melihat objek kajian yang menarik untuk kepentingan manusia (humanities) pemakainya daripada hanya untuk ilmu itu sendiri. 

Kadang-kadang objek kajian dipahami sama dengan topik atau tema dalam kajian sosiolinguistik, tetapi sering pula berbeda. Dalam perspektif sosiolinguistik, topik cenderung lebih luas dan berkorelasi dengan faktor-faktor sosial budaya, misalnya sapaan hormat (honorifik) dalam masyarakat Jawa. Pengertian masyarakat Jawa bisa dikaitkan dengan penutur yang berbeda status sosial, umur, atau jenis kelaminnya. Namun demikian, topik yang sudah cukup panjang ini bisa pula disebut objek kajian. Selain objek kajian dan tema (topik), judul sebuah penelitian juga menarik untuk dicermati. 

Judul bisa diacu dari objek kajian, atau tema penelitian. Hanya saja ada preferensi sekelompok ilmuwan yang menganggap bahwa judul yang berasal dari topik atau objek kajian tidak merangsang selera untuk ingin tahu objek tersebut lebih jauh. Berdasarkan pengamatan yang berkembang belakangan ini, ada kecenderungan judul yang menarik adalah judul yang berasal dari hasil analisis, misalnya”Diskriminasi Sosial Masyarakat X dalam Sistem Sapaan” adalah judul yang berasal dari hasil analisis tema sapaan hormat (honorifik). Ada pendapat yang mengatakan sebuah judul yang menarik adalah judul yang merangsang orang untuk berpikir (thought provoking), atau tidak dapat diramalkan (unpredictable) sebelumnya.

Selain berkaitan dengan istilah pokok dalam sebuah penelitian, perihal paradigma dan asumsi sosiolinguistik perlu dicamkan dalam benak peneliti agar esensi kajian bahasa dan masyarakat sosial ini tidak melenceng jauh dari relnya atau sekurang-kurangnya tidak menjadi bias. Pertama, kaum sosiolinguis berpendapat bahwa paradigma masyarakat homogen tidak pernah ada karena setiap masyarakat bahkan setiap individu berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, dalam kajian sosiolinguistik dianut satu paradigma yang menyatakan bahwa masyarakat selalu heterogen. Dengan heterogenitas inilah pilihan kode bahasa itu menjadi bermacam-macam. Ada bentuk yang ringkas, ada yang lengkap, ada yang formal, ada pula yang informal, ada bentuk yang santun ada pula yang kasar, atau gradasi lain di antaranya. Di samping itu, ada dua asumsi pokok yang perlu dipahami sebelum melakukan penelitian sosiolinguistik, yaitu asumsi bahwa (1) penjelasan tentang bahasa tidak memadai tanpa melibatkan unsur-unsur di luar bahasa, dan (2) bahasa selalu mempunyai variasi. Karena bahasa harus dihubungkan dengan nonbahasa, maka ancangan penelitian sosiolinguistik mestinya kontekstual. Demikian pula, karena konsep masyarakat dipahami heterogen maka bahasa pasti memiliki variasi. Secara deskriptif, varian bahasa yang satu diperlakukan sama dengan varian yang lain. Pemahaman ini perlu dipertegas karena berdasarkan paradigma masyarakat yang homogen, adanya variasi karena bersumber dari bentuk pemakaian bahasa yang seharusnya, bahkan ada pendapat yang menyatakan secara ekstrem bahwa variasi bahasa terjadi karena kesalahan pemakaian bahasa. Pendapat ini sama saja ingin mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada variasi bahasa.

Beberapa Dimensi Penelitian Sosiolinguistik
Dimensi adalah kisi-kisi yang dapat membangun kerangka berpikir dalam sebuah penelitian. Ada beberapa dimensi yang penting untuk diketahui sebelum langkah-langkah penelitian dilakukan sehubungan dengan penggunaan metode yang seharusnya dipilih sesuai tujuan penelitian atau tujuan analisis. Sekurang-kurangnya ada 3 dimensi, yaitu dimensi pemerian (to describe the object), dimensi penjelasan (to explain the object), dan dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts). 

Dimensi deskriptif cederung melihat bahasa secara sinkronis, yaitu bahasa ada pada waktu diamati. Pada prinsipnya hasil pengamatan bahasa dalam dimensi ini digambarkan secara objektif berdasarkan apa yang dilihat (what you see) bukan seperti apa yang diharapkan (not what you expect to). Hasil penelitian deskriptif sering pula disebut etnografi (komunikasi atau berbicara). Dalam kaitan ini, peneliti akan melihat sifat-sifat objek yang diamati, yaitu sifat umum bahasa (kesemestaan/universalitas), dan sifat khusus bahasa (kekhususan/ partikularitas). Dalam mengamati fenomena bahasa dalam masyarakat hampir dapat dipastikan, sang peneliti dapat menguraikan ihwal keumuman (kesemestaan) objek bahasa ini, misalnya sifat-sifat bahasa umumnya memiliki penanda solidaritas, penanda kesantunan, penanda kekuasaan, dan penanda fungsi. (Perihal kesemestaan sosiolinguistik lihat Janet Holmes, 1992). Sebaliknya, kekhususan pemakaian bahasa di masyarakat juga memiliki ciri-ciri yang khas, misalnya antara satu objek dengan objek lain, atau satu objek yang sama dalam masyarakat bahasa (speech community) yang berbeda. 

Dimensi eksplanatif melihat bahasa tidak an sich pada apa yang dilihat, tetapi lebih dari itu. Dalam dimensi ini, peneliti berusaha menjelaskan mengapa objek yang diamati demikian faktanya. Peneliti harus menjelaskan sebab-akibat (lantaran-tujuan) mengapa objek itu tampak demikian. Untuk menjelaskan objek kajian ini, peneliti bisa menarik bahasa ke luar dari titik waktu yang ia lihat, artinya bisa secara diakronis dan bisa pula secara sinkronis. Asumsinya yang perlu diingat adalah bahwa penjelasan bahasa karena bahasa itu adalah proposisi yang tidak memadai, tetapi lebih dari itu, yaitu bahwa bahasa disebabkan atau menyebabkan unsur-unsur luar bahasa. Secara kongkret, penjelasan hubungan kausalitas ini dipandang lebih memuaskan dari sekadar dimensi deskriptif. Misalnya, untuk objek kajian apologi (permaafan), peneliti memberi penjelasan mengapa seseorang dituntut minta maaf atau memberi maaf. Penjelasan ini bisa menyangkut alasan kesalahan, ketersinggungan atau penyelaan, atau sekadar kesopanan.. 

Dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts) tampak mirip dengan kedua dimensi di atas. Namun demikian, dimensi ini agaknya bisa diperinci ke dalam tiga aspek, yaitu aspek temporal, aspek lokatif dan aspek material. Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek temporal menyangkut waktu kosmis dan waktu biologis. Pertama, ketika sebuah objek diamati, objek itu bisa dilihat dari realitas waktu kosmis yang bergulir dari waktu lampau, kekinian, dan masa datang. Untuk kasus permaafan, orang bisa meminta maaf karena peristiwa yang telah terjadi (mis. Maaf kemarin saya lupa...), atau karena peristiwa kekinian (maaf numpang tanya), dan karena peristiwa yang akan terjadi (misalnya maaf besok nggak bisa datang, dsb.). Dari aspek kosmis semacam ini, peneliti bisa mengkategorisasikan jenis apologi ke dalam 3 jenis, misalnya apologi normatif, apologi permisif, dan apologi antisipatif. Kedua, objek bisa pula diamati berdasarkan waktu biologis, yaitu berdasarkan perkembangan waktu yang dijalani manusia, dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan lansia. Ketika orang mengamati pemakaian kelompok penutur balita, bahasa akan dijelaskan berdasarkan konteks waktu biologis ini, dst. 

Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek lokatif berkaitan dengan pemakaian ruang komunikasi (spasial). Ada pemakaian bahasa yang dipengaruhi oleh aspek lokatif ini, misalnya objek pemakaian bahasa pada kampanye dengan percakapan keluarga akan menempati ruang yang berbeda, yang satu pada ruang publik yang yang lain pada ruang domestik. Demikian pula, jika orang mengamati fenomena pemakaian bahasa pada demonstrasi dengan talk-show akan berbeda ruang komunikasinya, yang pertama biasanya pada ruang luar gedung (outdoor) dan yang terakhir biasanya pada ruang dalam gedung (indoor). 

Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek material menyangkut satuan pengisi ruang dan waktu di atas, yaitu bagaimana bahasa menjadi interaksional dalam wacana atau teks. Pengisinya adalah bahasa (dalam wujud teks) itu sendiri dan penuturnya (sebagai pengguna teks). Aspek pengisi ruang dan waktu komunikasi ini sangat signifikan menentukan pilihan kode tuturan, orang yang berbeda akan memilih kode yang berbeda atau sama, demikian pula bahasa yang berbeda akan berdampak sama atau berbeda pada makna, maksud, dan fungsinya. Karena begitu banyak aspek-aspek yang dapat membantu analisis pemilihan varian bahasa, Dell Hymes (1972) mengajukan instrumen analisis yang apik dan mudah diingat dalam bentuk singkatan SPEAKING (masing-masing setting-scene, participants, ends, act sequence, key, instruments, norms, dan genre).

Kartu Truf buat Peneliti 
Sebuah penelitian yang berhasil dapat dikaitkan dengan kemampuan si peneliti merumuskan masalah, mengukur keterjangkauan (aksesibilitas penelitian), dan memprediksi keuntungan yang diperoleh pascapenelitian. Apabila peneliti telah berhasil memecahkan ketiga hal ini dapat dikatakan bahwa peneliti telah memegang kartu truf. 

Pertama, soal perumusan masalah bukan tanpa masalah. Setelah objek kajian ditentukan, peneliti harus cermat melihat masalah apa yang perlu diangkat. Perumusan masalah ini penting karena tanpa masalah tidak akan ada pemecahan masalah. Artinya tidak ada masalah tidak ada penelitian. Kehandalan seorang peneliti merumuskan masalah dapat ditentukan dari pemahaman dasarnya terhadap konsep makro dalam sosiolinguistik, yaitu bermula dari pemahaman tentang masyarakat bahasa yang terpilih, pemerian etnografi komunikasi hingga etnografi berbicara, pengamatan terhadap situasi tutur, peristiwa tutur dan kemudian tindak tutur yang dipakai. Secara mikro, satuan bahasa berupa tindak tutur itu dilihat sebagai satuan lainnya, yaitu satuan bentuk, makna, informasi, maksud dan fungsi. Dasar-dasar unsur kebahasaan ini kemudian dicermati apakah ada masalah yang dikaitkan dengan objek kajian. Sebagai ilustrasi, seorang peneliti yang memilih objek penelitian ’makian’ dalam masyarakat Indonesia, misalnya, akan berpikir pada pilihan-pilihan bentuk makian yang dikaitkan dengan heterogenitas masyarakat penuturnya. Pilihan makian oleh laki-laki diasumsikan berbeda dengan pilihan makian oleh perempuan. Demikian pula, pilihan makian yang berdasarkan situasi atau peristiwa tutur tertentu akan berbeda dengan situasi atau peristiwa tutur lainnya. Kemudian, peneliti bisa pula berpendapat bahwa pilihan makian akan berhubungan dengan referen yang diacunya berdasarkan perspektif bentuk atau makna tuturan, bahkan informasi, maksud dan juga fungsi. Semua persoalan ini oleh peneliti dapat diangkat sebagai masalah penelitian yang perlu dicarikan pemecahannya. Perumusan masalah penelitian lazimnya diajukan dalam pertanyaan misalnya (a) apakah laki-laki dengan perempuan memakai bentuk makian yang sama atau berbeda dalam komunikasi?, (b) apakah tingkat kekasaran makian dapat ditentukan oleh faktor situasi dan peristiwa tutur?, dan seterusnya.

Kedua, setiap peneliti pasti memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini berkaitan dengan waktu, dana, kemampuan aksesibilitas terhadap sumber data. Logikanya semakin panjang waktu yang dialokasikan tentunya akan semakin banyak masalah yang dapat dipecahkan. Sebaliknya, semakin pendek waktu semakin sedikit masalah yang akan terpecahkan. Demikian halnya dengan dana, semakin lama waktu dan semakin rumit masalah penelitian, tentunya semakin besar biaya yang diperlukan baik untuk hidup maupun untuk menyediakan berbagai bahan penelitian. Selain waktu dan dana, keterbatasan aksesibilitas seseorang juga tidak dapat dipungkiri karena semakin mudah akses seseorang mendapatkan data semakin cepat penelitian dapat diselesaikan. Logika ini secara sederhana dapat dicontohkan ketika seorang peneliti yang berbahasa Indonesia akan lebih mudah baginya meneliti bahasa itu daripada meneliti bahasa lain seperti bahasa Jepang, bahasa Inggris atau bahasa Yoruba di Afrika. Namun demikian, bagi penutur bahasa Jepang akan mudah meneliti bahasanya sendiri daripada bahasa Indonesia. Tidak hanya menyangkut bahasa saja, seorang peneliti yang hidup di lingkungan tertentu akan lebih mudah meneliti lingkungannya sendiri daripada lingkungan yang tidak pernah ia ketahui. Oleh karena itu, pandangan terhadap keterbatasan ini sangat relatif sifatnya. Si A bisa lebih cepat melakukan penelitian X, si B belum tentu dapat melakukannya, dan sebaliknya.

Terakhir, ada baiknya seorang peneliti mempertimbangkan apa keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pascapenelitian. Pada dasarnya, kajian sosiolinguistik ingin memperoleh pemahaman terhadap objek bahasa yang dikaitkan dengan aspek nonbahasa, di samping mengkonfirmasi proposisi bahwa bahasa memiliki variasi-variasi. Namun demikian, sejumlah keuntungan lain dapat dikemukakan sesuai dengan objek kajian yang dipecahkan. Sekadar contoh, peneliti dapat menggambarkan realitas bahasa yang kompleks dalam masyarakat, dapat menunjukkan hubungan kausalitas antarvariabel, atau dapat mencarikan generalisasi atau kekhasan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara praktis, agaknya penelitian sejenis dapat menemukan sumber terjadinya kedamaian atau konflik yang disebabkan oleh pemakaian bahasa, dapat menjelaskan tren-tren sosial seperti media, politik, militer, transportasi, hiburan dan sebagainya yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bahasa tertentu. Bahkan, peneliti dapat menyumbangkan hasil penelitiannya terhadap upaya untuk mengembangkan atau mengujikan teori dan metode sosiolinguistik itu sendiri. 

Metode Penyediaan Data Sosiolinguistik
Sebagaimana dikemukakan di awal, objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis data, dan langkah penyajian hasil analisis. Ada prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial (baca sosial budaya masyarakat). Memang, ada persoalan penamaan dalam metode penelitian sosiolinguistik, walaupun para penelitinya merasa bahwa penamaan bukan masalah yang urgen untuk membuat keputusan meneruskan atau menghentikan penelitian sosiolinguistik itu karena tanpa penamaan terhadap jenis-jenis metode itu pun, mereka telah dapat mengamati dan menjelaskan isu-isu dalam kajian sosiolinguistik. 

Pertama-tama, seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti sebagaimana adanya, oleh karena itu bahan atau data linguistik yang diperoleh harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat (contrived). Pengertian data bahasa yang alamiah ini nyata adanya (real), sekalipun ia dapat dibangkitkan oleh si peneliti tetapi data itu harus dapat diujikan kepada penutur asli lainnya. Walaupun data dapat dibangkitkan peneliti, data bahasa yang diperoleh perlu diselaraskan dengan pemakaian bahasa oarng lain dalam masyarakat bahasa yang sama agar datanya sahih. 

Kedua, seorang peneliti harus mampu menyediakan data sesuai dengan objek dan masalah penelitiannya. Kalau peneliti ingin mengamati pemakaian bentuk ringkas dari /begitu saja kok repot/ tentunya ia tidak akan menunggu kapan informan memakai tuturan tersebut, tetapi peneliti akan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan. Di sisi lain, ketika peneliti ingin meneliti pemakaian campur kode misalnya, ia akan mengamati pemakaian bahasa seseorang atau lebih dalam sejumlah percakapan. Si peneliti dalam hal ini tidak dapat mengajukan pertanyaan kata apa yang Anda campurkan jika Anda mengucapkan tuturan seperti ini atau seperti itu. Ilustrasi semacam ini memberi gambaran ringkas bagaimana menyediakan data sesuai dengan objeknya.

Pada prinsipnya melihat sifat dapat seperti diilustrasikan di atas, ada dua macam metode penyediaan data yang paling dikenal. Kedua metode penyediaan data ini dikenal tidak hanya dalam literatur ilmu bahasa tetapi juga dalam ilmu sosial, yaitu metode observasi dan metode wawancara (lih. Chaika, 1982: 23-25; Kartomiharjo, 1988: 17-19); Spolsky, 2003: 9-12). Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993). 

Metode observasi adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya. Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti pemakaian peribahasa, maka ia harus mengumpulkan peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya, para pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang melatarinya, termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya. Kemungkinan cara pengamatan berdasarkan metode observasi ini bisa murni secara tekstual bisa pula secara kontekstual. Dikatakan murni secara tekstual artinya bahwa si peneliti hanya mengamati teks tanpa melihat kehadiran penuturnya. Misalnya, peneliti mengamati pemakaian peribahasa dalam lagu, cerpen, novel, komik, dan media lainnya. Namun karena teks tersebut menggunakan bahasa yang dipahami si peneliti maka maka peneliti seyogyanya mampu menghadirkan kembali konteks sosial budaya yang bersifat bawaan dari bahasa itu. Sebaliknya dikatakan secara kontekstual berarti bahwa peneliti mengamati teks lengkap dengan konteks ketika bahasa itu dipakai. 

Pemakaian metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut penelitian kepustakaan (library research), sedangkan metode observasi dengan bahan teks dengan konteks yang lebih luas disebut penelitian lapangan (field research). Dari pemilihan bahan ini jelas disebutkan bahwa bahan menentukan jenis penelitian. Secara umum dipahami bahwa penelitian lapangan dipandang lebih meyakinkan daripada penelitian kepustakaan. Pandangan ini cukup beralasan karena penelitian kepustakaan yang bersumber dari teks hasil karya manusia atau hasil salinan diasumsikan tidak seobjektif penelitian lapangan yang bersumber langsung pada interaksi penutur bahasa pada konteks pemakaiannya. Karena sifat bahan penelitian ini pula dikenal bahwa penelitian kepustakaan sebagai penelitian sekunder, sedangkan penelitian lapangan sebagai penelitian primer.

Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta. Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur metodologi penelitian sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial lainnya ( Nasution, 2004: 106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap. 

Ada perbedaan yang menyolok antara metode observasi partisipasi dengan nonpartisipasi. Dengan cara partisipasi, peneliti mengamati objek sekaligus terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Sebaliknya, dengan cara nonpartisipasi, peneliti memang mengamati objek tetapi tidak terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Dalam konteks terakhir ini, peneliti betul-betul hanya mengamati. Sebagai contoh, ketika seorang peneliti ingin menyelidiki bentuk teriakan suporter bola voli maka dia bisa melakukannya tanpa terlibat langsung sebagai pemain voli. Ia bisa saja berdiri atau duduk manis sebagai penonton dan mengamati teriakan-teriakan yang muncul dari para pendukung olahraga tersebut. Sebaliknya jika si peneliti ingin menyelidiki bentuk teriakan para pemain bola voli tersebut sebaiknya ia terlibat langsung menjadi pemain, artinya ia menggunakan metode observasi partisipasi karena dengan menjadi pemain kemungkinan ia menerima atau melontarkan teriakan. Keuntungan lainnya ia dapat merasakan emosi antarpemain tanpa teman-temannya mengetahui bahwa ia sedang meneliti. Agar semua situasi dan peristiwa tutur yang teramati ini bisa diingat maka peneliti perlu memikirkan bagaimana semua teks dan konteks itu bisa didokumentasikan. Ia bisa saja memilih teknik rekaman dengan memakai alat perekam atau memilih teknik catat dengan memakai catatan tentu saja teknik terakhir ini dikerjakan setelah pertandingan usai. 

Selain metode observasi, metode kedua yang paling dikenal adalah metode wawancara (interview method). Penamaan metode wawancara ini jauh lebih umum daripada metode konsultatif seperti dijumpai dalam ensiklopedi bahasa dan linguistik karya Asher (1994: 3256), atau metode cakap seperti yang dikemukakan dalam buku metode penelitian linguistik karya Sudaryanto (1993). Penggunaan istilah wawancara dipandang lebih luas dan lentur daripada sekadar konsultasi atau cakap. 

Pada prinsipnya, metode wawancara adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara langsung. Dikatakan secara langsung karena hanya tim peneliti saja yang dapat melakukan wawancara, baik ketua peneliti atau para asistennya. Hal ini perlu digarisbawahi karena apabila wawancara dilakukan orang lain maka informasi yang diperoleh kurang memadai bahkan akan banyak kehilangan konteks. Kemudian, informan di sini dipahami sebagai orang yang memberi informasi kepada peneliti. Informasi yang diberikan itu disebut data oleh peneliti. 

Dari beberapa jenis metode wawancara yang terdapat dalam literatur ilmu sosial, satu jenis metode wawancara yang sering diacu dalam penelitian sosiolinguistik adalah metode wawancara yang direncanakan secara terstruktur atau tidak terstruktur. Berdasarkan cara ini pula, metode wawancara dibagi atas dua klasifikasi, yaitu metode wawancara terstruktur (structured interview) dan metode wawancara tidak terstruktur (unstructured interview). Metode wawancara jenis pertama menyangkut pada persiapan peneliti untuk menyusun daftar pertanyaan kepada informan. Biasanya peneliti membuat sejumlah pertanyaan berdasarkan rumusan masalah yang akan dipecahkan. Dengan data yang tersedia peneliti akan menganalisis pemecahan masalah tersebut. Metode wawancara jenis kedua, peneliti justru mempersiapkan pertanyaan pokok saja. Ketika wawancara berlangsung, informan akan memberi jawaban pertama dan dengan jawaban pertama itu peneliti akan memperjelas jawaban itu dengan mengajukan pertanyaan yang sifatnya lebih mendalam, begitu seterusnya secara beruntun. Apabila dipandang sudah jelas, peneliti akan beralih pada pertanyaan dengan pokok bahasan yang lain. Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti bisa menggunakan teknik elisitasi (Spolsky, 2003: 9), yaitu satu strategi untuk memancing atau mengarahkan informan dalam memberi informasi yang sebenarnya. Sistem wawancara tidak terstruktur ini seringkali disamakan pengertiannya dengan metode wawancara mendalam (indept interwiewing method). 

Kadang-kadang metode wawancara terstruktur disamakan dengan metode angket atau metode kuesioner karena menggunakan daftar pertanyaan. Sebenarnya keduanya sangat berbeda. Berdasarkan perkembangan kajian metodologi, antara metode wawancara dan metode angket ini sudah seharusnya dipisahkan dan dipandang sebagai metode sendiri-sendiri. Lazimnya metode angket ini dipergunakan untuk mendapatkan poling suara atau mendapatkan penjelasan dari responden. Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa metode angket adalah metode penyediaan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden dengan atau tanpa bertatap muka secara langsung. Peneliti bahkan bisa saja tidak mengenali para respondennya. Responden dibedakan dengan informan berkaitan dengan jenis metodenya. Pemberi informasi secara tertulis semacam ini disebut responden, tetapi pemberi informasi secara lisan dan bertatap muka secara langsung dengan penelitinya disebut informan. 

Penelitian yang menggunakan angket pada hakikatnya adalah penelitian dengan jumlah sampel yang relatif besar. Berbeda dengan metode wawancara, metode angket lebih lama waktu pelaksanaannya. Kadang-kadang angket yang diberikan dengan cara dikirim via pos tidak sampai ke tangan peneliti. Oleh karena itu, ada spekulasi. Untuk mengatasinya peneliti harus mempersiapkan sejumlah besar orang yang akan diberikan angket berdasarkan metode pengambilan sampel. Cara gampang pemberian angket justru dilakukan secara langsung, setelah pertanyaan diisi dengan lengkap peneliti atau asisten peneliti mengumpulkannya untuk kemudian ditabulasi.

Teknik penyusunan angket bergantung pada jawaban apa yang ingin diperoleh. Jika peneliti menginginkan jawaban kuantitatif berupa penghitungan jumlah pendapat atau perilaku maka si peneliti membuat pertanyaan yang jawabannya bergradasi, misalnya pada pertanyaan ”apakah bentuk sapaan X menurut Anda sangat santun?, pilihan jawabannya bisa berupa (i) sangat setuju, (ii) setuju, (iii) ragu-ragu, (iv) tidak setuju, dan (v) sangat tidak setuju. Dengan pertanyaan yang sama, pilihan jawabannya bisa pula diberikan sebagai berikut: (i) ya, (ii) netral, (iii) tidak. Namun demikian, jika peneliti menginginkan jawaban kualitatif berupa penjelasan makan si peneliti perlu membuat pertanyaan yang sifatnya esei. Misalnya, mengapa Anda menggunakan sapaan X?, dengan pertanyaan ini responden akan menjawab alasan-alasannya.

Selain tiga jenis metode penyediaan data yang telah dibicarakan di atas, sebenarnya ada satu jenis metode lain yang khas dalam penelitian linguistik, yaitu metode intuisi. Dalam literatur lain metode ini disebut metode introspeksi (Sudaryanto, 1993; Mahsun, 2005: 101). Metode intuisi adalah metode penyediaan data dengan cara membangkitkan sendiri data kebahasaan yang dimiliki peneliti dengan mengandalkan intuisinya. 

Menurut Asher (1992) penyediaan data dengan metode ini memang relatif cepat, namun hasilnya sangat mungkin bersifat idiosinkretik (gaya tutur individu yang mungkin saja merupakan kesalahan bagi orang lain), sebagaimana diungkapkan Schriffin (1987), ”People tend to be more creative than linguists can imagine.” Dalam hubungannya dengan penelitian sosiolinguistik, metode intuisi yang mengandalkan kemampuan parole pribadi penelitinya dipandang tidak valid kecuali bersama-sama dengan peneliti lain guna mendapatkan informasi kolektif dalam komunitas sosial tertentu. Untuk menyamakan persepsi terhadap masalah yang akan dipecahkan tim peneliti secara bersama-sama menyelenggarakan diskusi kelompok secara terfokus atau sering disebut teknik focus group discussion. Hasil sekelompok orang ini baru agaknya dapat dipandang sebagai bahan kajian sosiolinguistik, yaitu suatu kajian bahasa yang melibatkan sekelompok orang dalam satu masyarakat tutur (speech community).

Seperti dikemukakan di awal, metode penyediaan data ini pada prinsipnya dipilih berdasarkan sifat datanya. Metode observasi, metode wawancara, metode angket, dan metode intuisi adalah metode penyediaan data yang memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Jika Anda ingin meneliti ’pemakaian bahasa pada waktu bercinta’ agaknya mengandalkan metode observasi akan mengalami kegagalan, mungkin metode wawancara atau metode angket bisa berhasil tetapi dapat diprediksi bahwa informan atau responden agaknya tidak akan membuka habis rahasia kehidupan pribadinya. Agaknya metode intuisi justru akan lebih berhasil karena itikad peneliti atau tim peneliti untuk mengungkap objek kajian ini cukup tinggi sehingga mereka mampu membuka tabir teks dan konteks objek kajian yang dimaksud. 

Metode Analisis Data
Setelah data diperoleh, tugas peneliti selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Langkah analisis data ini adalah langkah terpenting untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ingin dipecahkan. Sebelum dijelaskan jenis-jenis metode analisis perlu dikemukakan pemahaman dasar dari studi sosiolinguistik mengenai teks sebagai objek kajian yang bersifat verbal, ko-teks sebagai lingkungan teks yang bersifat verbal, dan konteks sebagai unsur nonteks yang bersifat nonverbal, yaitu menyangkut konteks situasi dan konteks sosial dan budaya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik satu simpulan bahwa studi sosiolinguistik melihat objek kajiannya tidak pernah terpisah dari teks lain dan konteks dalam pengertian lebih luas. Artinya objek kajian harus ada pada pemakaian termasuk variasinya (uses), pemakainya (users) yang berkaitan dengan informasi umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, dan pekerjaan, serta pada ciri interaksi verbal tersebut seperti situasi tuturan, peristiwa, lokasi, topik, hubungan antarpenutur, bagaimana tuturan disampaikan, dsb. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai tuturan verbal (ko-teks), tetapi juga dipandang sebagai unsur nonverbal. Ko-teks menempati posisi sebelum atau setelah teks verbal yang dikaji. Selain ko-teks, konteks amat penting dalam mengurai dan menjelaskan fenomena objek kajian. Konteks disepakati sebagai unsur nonbahasa. 

Sebenarnya ada aspek lain selain ko-teks dan konteks yang terdapat pada data penelitian. Aspek lain itu adalah aspek suprasegmental seperti intonasi, tekanan atau titi nada. Aspek suprasegmental ini penting dalam korpus data bahasa lisan ketika seseorang mengamati penuturan satuan bahasa itu. Orang yang sedang marah berbeda pilihan kata dan cara penuturannya dari orang yang sedang dimabuk asmara, demikian pula orang yang sedang berpidato di depan publik berbeda penggunaan bahasanya dengan orang yang sedang melakukan dialog, dan seterusnya. Karena itu pula, terdapat pemetaan varian yang sangat signifikan karena faktor suprasegmental ini.

Dengan demikian, sesungguhnya seorang peneliti bahasa seyogyanyalah ia menempatkan posisi objek kajian yang diteliti itu dengan jelas atau kasat mata. Objek kajian hadir dalam tiga komponen pembentuk bahasa yaitu ko-teks (verbal), konteks (nonverbal), dan suprasegmental. Ketika seseorang ingin mengamati penggunaan bahasa yang hidup tentu berdasarkan tujuan peneltiannya maka ia melibatkan aspek suprasegmental bersama ko-teks dan konteks secara simultan. Sebaliknya ketika seseorang meneliti bahasa yang telah diubah ke dalam bentuk tulisan maka ia akan melihat bahasa itu sebagai fenomena yang berkorelasi secara ko-tekstual dan kontekstual.

Berangkat dari cara pandang data sosiolinguistik di atas, metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua jenis, pertama, metode yang berkaitan dengan pengkorelasian objek bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode yang berkaitan dengan pembedahan, pengolahan atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Cara kerja tiap-tiap metode ini sesungguhnya menggambarkan penamaan metode ini. Metode pertama dapat disebut metode korelasi atau metode pemadanan, sedangkan metode kedua disebut metode operasi atau metode distribusi. Ada sumber lain yang menyebutkan metode korelasi atau metode pemadanan ini sebagai metode kontekstual (Jendra, 1999), ada pula yang menyebutnya metode padan saja (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, metode operasi atau metode distribusi kadang-kadang disebut juga metode agih (Sudaryanto, 1993; Djajasudarma, 1993).

Metode korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Secara umum dalam metode penelitian ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi (lih. Rakhmat, 1993: 31), metode korelasi dipakai untuk menganalisis hubungan dua variabel. Dalam kaitannya dengan penelitian sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai variabel dependen atau varibel terikat, sedangkan unsur luar bahasa dalam hal ini konteks situasi dan konteks sosial budaya dipandang sebagai variabel independen atau variabel bebas. Skema berikut dapat mengilustrasikan antarunsur yang dianalisis. 

Baik metode korelasi maupun metode operasi sama-sama menjelaskan adanya variasi dalam kajian interdisiplin ini. Pemahaman ini dibuktikan oleh analisis substitusi unsur-unsur konteks atau bahasa secara umum. Sebagai contoh, pemakaian sapaan terhadap seseorang niscaya berbeda-beda berdasarkan substitusi konteks situasinya. Seseorang disapa dengan nama kecil, nama keluarga, atau dengan gelar, dengan pangkat atau jabatan sudah galibnya ditentukan oleh konteks situasi tempat peristiwa tutur itu berlangsung. Variasi sapaan ini muncul, padahal, untuk referen (orang) yang sama. Di samping itu, substitusi pemakai bahasa misalnya si A dengan si B akan berakibat perbedaan pilihan kode bahasanya walaupun untuk maksud yang sama. Demikian pula, contoh lain yang memunculkan variasi karena substitusi unsur bahasanya, seperti dalam kasus campur kode atau interferensi. Seorang peneliti dapat menarik variasi standar dari tuturan bercampur kode atau berinterferensi itu. Dengan cara mengganti satuan bahasa yang terdapat dalam tuturan itulah peneliti dapat menyimpulkan bahwa bentuk tuturan bercampur kode atau varian dari bentuk lainnya, dan seterusnya.

Secara lebih khusus, setiap unsur konteks situasi dan konteks sosial budaya akan sangat signifikan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh setiap tataran bahasa. Semakin banyak jenis variabel yang terlibat dalam analisis seperti umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, pekerjaan, status sosial, wilayah, adat-istiadat, hingga pemakaian bahasa berjenjang dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana akan semakin kompleks analisis yang dihasilkan. Walaupun demikian, kerumitan analisis amat bergantung pada ruang lingkup penelitian dan masalah yang ingin dipecahkan. Kedalaman analisis kajian sosiolinguistik ditentukan oleh penggunaan metode operasi atau distribusi setelah pemakaian metode korelasi. Pemakaian metode korelasi saja sudah dapat dikatakan hasil analisisnya sebagai hasil analisis sosiolinguistik, namun penggunaan metode operasi atau distribusi saja belum tentu dapat dikatakan hasil analisis sosiolinguistik kecuali jika melibatkan isu-isu yang menyangkut masyarakat yang berbeda, misalnya isu kontak bahasa. 

Berikut ini diuraikan beberapa contoh penelitian yang dapat dianalisis berdasarkan metode korelasi atau metode lainnya. Pilihan metode analisis ini bergantung pada alasan yang berkaitan dengan variasi bahasa sebagai tema sentral dalam penelitian sosiolinguistik. Karena variasi bahasa muncul berdasarkan fasilitas yang terdapat dalam tiap-tiap bahasa itu sendiri dan berdasarkan kebutuhan pemakainya, isu-isu sosiolinguistik dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) isu ragam intrabahasa (misalnya, standar-nonstandar, ringkas-lengkap, santun-solidaritas), dan (2) isu kontak antarbahasa (seperti, bilingualisme, alih kode, campur kode, interferensi). 

Isu ragam intrabahasa menghasilkan analisis yang berkaitan variasi pemakaian bahasa seperti dikemukakan di atas. Gradasi standar-nonstandar (baku-tidak baku) misalnya dapat dianalisis berdasarkan hubungannya dengan ragam situasi (situation grading), ragam sosial (social-grading), bahkan ragam umur (age-grading) dan ragam jenis kelamin (sex-grading). Penghubungbandingan pemakaian bahasa dengan berbagai ragam ini jelas memakai kerangka kerja metode korelasi. Hasil penemuan Wolfram (1969, via Wardhaugh, 1986) di Detroit menyatakan bahwa semakin formal situasi tuturan, bahasa seseorang semakin mendekati penggunaan bahasa standar, dan semakin ke atas kelompok sosial penutur semakin standar pula bahasanya. Begitu pula halnya, bahasa anak-anak kurang formal daripada bahasa orang dewasa walaupun berasal dari latar belakang yang sama. Demikian juga, bahasa pria kurang standar daripada bahasa kaum wanita. 

Sejumlah penelitian intrabahasa lain yang pantas dikemukakan di sini seperti penelitian Fisher (1958), dan Labov (1966) juga menggunakan metode korelasi dalam analisisnya (lih. Wardhaugh, 1986). Pertama, penelitian Fisher tentang variasi bunyi [Å‹] dan [n] pada contoh singing /si Å‹i Å‹/ yang berlawanan dengan singin’ /si Å‹in/ dikaitkan dengan sampel 12 orang anak laki-laki dan 12 anak perempuan yang berusia antara 3 s.d. 10 tahun di New England. Sampel yang ada diinterview menurut tiga situasi yang berbeda-beda, yaitu pada situasi yang sangat formal, kurang formal, dan tidak formal sama sekali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anak laki-laki menggunakan lebih banyak bentuk /in’/ daripada anak perempuan. Kedua, penelitian Labov (1966) untuk disertasinya menghubungkan variabel linguistik [r] dengan status sosial pemakainya. Labov menggunakan sejumlah sampel dari tiga supermarket yang masing-masingnya tergolong supermarket kelas atas, menengah, dan kelas bawah. Diperoleh hasil bahwa informan kelas menengah ke atas lebih banyak melafalkan bunyi [r] pada kata /floor/ dan /fourth/ daripada informan kelas bawah pada kata yang sama. 

Isu kontak antarbahasa terutama tema bilingual dapat dianalisis dengan metode korelasi. Bilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk berbahasa lebih dari satu bahasa. Biasanya konsep bilingualisme mengacu pada dua bahasa, sedangkan multilingualisme mengacu pada tiga bahasa atau lebih. Karena isu bilingualisme menyangkut kemampuan bahasa seseorang maka isu ini pontensial dianalis dengan metode korelasi. Beberapa contoh menarik adalah penelitian Sorensen (1971, via Wardhaugh, 1986) dan Aikhenvald (2003) tentang kemampuan bilingual di Amazon (Brazil). Sorensen (1971) meneliti kemampuan berbahasa masyarakat Tukano di Barat Laut Amazon, tepatnya di perbatasan Kolumbia dan Brazil. Masyarakat Tukano adalah masyarakat yang bahkan multilingual karena laki-aki di sana harus menikah dengan perempuan dari kelompok bahasa yang berbeda. Laki-laki yang menikahi perempuan dari bahasa yang sama dipandang sebagai perkawinan sesama saudara (incest). Oleh karena itu laki-laki memilih menikahi dengan perempuan dari suku tetangganya. Ketika menikah sang istri dibawa ke rumah suami dan akhirnya istri pun harus bisa berbahasa keluarga suami termasuk anak-anaknya. Penelitian Aikhenvald (2003) merupakan lanjutan dari penelitian Sorensen (1970) dengan topik yang tidak jauh berbeda. Aikhenvald (2003) meneliti kemungkinan korelasi pilihan bahasa dengan stereotipe etnik penggunanya. Objek bahasa yang dikaji adalah bahasa Tariana yang dipakai oleh 100 orang di wilayah multilingual Lembah Vaupes di Amazonia Barat Laut (Brazil). Di wilayah itu juga terdapat bahasa Tucano (lingua franca), bahasa Baniwa (Bahasa Arawak) dan bahasa Portugis (bahasa Nasional). Seperti halnya pada masyarakat Tukano di perbatasan Kolumbia dan Brazil, wilayah ini juga dikenal eksogami kelompok bahasa dan kemultilingualan masyarakatnya terlembagakan. Salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa korelasi pilihan bahasa disebabkan oleh hubungan kekuasaan dan status.

Berbeda dengan penelitian di atas, isu kontak antarbahasa yang diteliti Arimi (2005a) berdasarkan analisis korelasi peribahasa dari 4 bahasa Eropa (Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman) dan 3 bahasa Asia (Cina, Indonesia, dan Jepang) dengan aspek perilaku dan motivasi masyarakatnya. Awalnya data dianalisis berdasarkan makna peribahasa, lalu diklasifikasi, kemudian dikorelasikan berdasarkan motif-motif koeksistensi peribahasa itu. Koeksistensi muncul akibat tiga hipotesis, yaitu (1) pandangan yang sama terhadap dunia sekitar walaupun mereka berasal dari masyarakat berbeda bahasa dan wilayahnya, (2) pengalaman hidup yang dialami secara bersama dan berulang-ulang, (3) keinginan untuk menirukan kearifan peribahasa yang baik dari masyarakat bahasa yang berbeda. Tentu saja, hipotesis yang disajikan ini akan lebih menarik jika diujikan kepada sejumlah informan atau responden dari ke-7 negara tersebut.

Isu bilingualime sebenarnya tidak hanya dapat dianalisis dengan metode korelasi. Isu ini juga dapat dianalisis dengan metode operasi atau distribusi. Sebagaimana dikemukakan di bagian depan, kemungkinan pilihan metode analisis ditentukan oleh masalah yang akan dipecahkan. Jika masalahnya adalah untuk mengetahui derajat kebilingualan seseorang, maka metode operasilah yang tepat untuk digunakan. Sebagaimana diuraikan Mackey (1968, via Romaine, 1989) ada empat kegiatan berbahasa yang dapat mengukur derajat kebilingualan seseorang, yaitu mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Selain itu, tataran bahasa yang berkaitan dengan kegiatan berbahasa tadi menyangkut tataran fonologi, gramatika, leksikon, semantik, dan stilistika. Dengan penguraian aspek-aspek internal bahasa berikut pendistribusiannya dalam kegiatan berbahasa ini jelas bahwa metode yang tepat untuk kajian semacam ini adalah metode operasi atau metode distribusi.

Tidak ada ketentuan sebuah isu atau masalah penelitian hanya dapat dianalisis oleh satu jenis metode, bahkan kombinasi keduanya pun dapat dibenarkan sejauh kedua metode itu berasalan untuk digunakan. Kegiatan penelitian semacam ini pernah dilakukan Arimi (2005b) ketika ia meneliti kearifan peribahasa menurut sejumlah responden dari dua masyarakat berbeda, yaitu masyarakat Jepang (142 responden) dan Indonesia (197 responden). Untuk mencapai penelitian tersebut, Arimi (2005b) melakukan dua jenis penyelidikan Penyelidikan pertama berdasarkan penelitian lapangan dengan menggunakan metode kuesioner dan penyelidikan kedua berdasarkan penelitian eksperimen dengan metode yang sama. Penyelidikan pertama dilakukan dengan menanyakan definisi peribahasa dan koleksi peribahasa yang responden ingat. Penelitian lapangan semacam ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pemahaman terhadap peribahasa secara empirik dan mengkaji popularitas peribahasa dalam ingatan masyarakatnya. Penyelidikan kedua dilanjutkan dalam bentuk eksperimen. Peneliti, yang juga menggunakan kuesioner, berikutnya mengamati sejauh mana responden mengetahui peribahasa-peribahasa yang telah dipilih secara random. Para responden diidentifikasi pemahamannya lewat kategori identifikasi seperti, sangat tidak familiar, tidak familiar, ragu-ragu, familiar, dan sangat familiar. Dengan penelitian eksperimen ini peneliti mendapatkan data orisinil untuk memeriksa frekuensi popularitas peribahasa pada masyarakat secara acak. Hasilnya diharapkan dapat mengkroscek penelitian lapangan sebelumnya.

Dalam kaitannya dengan penelitian Arimi (2005b) di atas, metode korelasi digunakan untuk melihat fakta pemakaian peribahasa dengan masyarakat penuturnya berikut alasan-alasan yang dipakai. Hasilnya menunjukkan sebuah fakta sosiolinguistik bahwa ada sejumlah peribahasa yang populer di Jepang dan ada sejumlah lainnya yang populer di Indonesia. Dari sejumlah peribahasa tersebut ditemukan bahwa peribahasa yang paling populer di Jepang adalah ”saru mo ki kara ochiru” (kera sekalipun akan jatuh dari pohon), dan peribahasa paling populer di Indonesia adalah ”Tong kosong nyaring bunyinya”. 

Selain metode korelasi, metode operasi atau metode distribusi juga dipakai untuk memecahkan masalah mengapa peribahasa yang satu lebih populer daripada peribahasa lainnya. Dengan cara menghubungkan peribahasa populer dengan yang tidak populer tetapi kedua peribahasa atau lebih itu memiliki makna yang sama, peneliti menafsirkan berdasarkan fakta-fakta yang terdapat dalam bentuk atau makna peribahasa itu dengan cara mengurai, mengganti, menambah atau menghilangkan sebagian unsur yang dapat memberi penjelasan kaidah mengapa peribahasa A lebih populer dari peribahasa B. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa popularitas peribahasa sebenarnya ditentukan tingkat kompetisi peribahasa itu dengan peribahasa lainnya. Berdasarkan analisis maknanya, semakin dekat kearifan peribahasa kepada kebutuhan masyarakat pemakainya dipandang semakin kompetitif peribahasa itu. Hasil lain secara bentuk, diketahui bahwa tidak kompetitifnya peribahasa bisa dikaitkan dengan pilihan leksikon dan dialek yang kurang disukai. 

Metode Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis dapat disajikan secara metabahasa atau menurut sistem tanda. Secara metabahasa artinya analisis bahasa dinyatakan dengan bahasa. Metode semacam ini bisa disebut metode metabahasa saja. Dalam literatur lain metode serupa disebut metode informal (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, menurut sistem tanda, hasil analisis bahasa direproduksi dalam berbagai bentuk nonbahasa, seperti simbol, ikon, indeks, atau sistem tanda lain yang diwujudkan dalam bentuk tabel, grafik, bagan, skema, dan gambar. Karena sangat erat kaitannya dengan sistem tanda ini, agaknya metode ini dapat diperkenalkan sebagai metode semiotik. Dalam pengertian yang serupa, Sudaryanto (1993) menyebutnya sebagai metode formal. 

Untuk penyajian hasil analisis dengan metode metabahasa, peneliti perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti tata urut penyajian, dan cara merumuskan kaidah. Tata urut penyajian yang dijadikan pedoman mengikuti hirarki sebagai berikut: (1) dari tataran yang rendah ke tataran yang tinggi, atau sebaliknya, (2) dari tataran yang sederhana ke tataran yang lebih rumit, (3) dari yang pasti ke yang mungkin, dan (4) dari yang dasar ke bentuk turunan. Sementara itu, cara merumuskan kaidah seringkali akan mengikuti logika-logika bahasa atau silogisme, misalnya (1) (a). proposisi adalah k; (b) proposisi selalu k; (c) Semua proposisi adalah k, (2) proposisi1’ adalah k1’, sedangkan proposisi2” adalah k2”, (3) jika proposisi1 adalah k1 , maka proposisi2 adalah k2, (4) gabungan-gabungan di antara ketiganya. 

Untuk penyajian hasil analisis dengan metode semiotik, peneliti perlu memperhatikan logika dan seni visualisasi sistem tanda. Besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek, arsiran-tidak arsiran sebuah sistem tanda yang disajikan dalam tabel dan seterusnya tersebut dapat menaksir logika dan seni visualisasinya. Namun demikian, isi hasil analisis verbal dipandang lebih akuntabel daripada indahnya visualisasi sistem tanda.

Penjelasan, Pengertian Dan Fungsi Flora Normal

Flora Normal 
Sejak penemuan Koch perkembangan pengetahuan tentang penyakit infeksi berkembang dengan cepat. Berbagai penyakit yang pada abad lampau dianggap sebagai kutukan seperti lepra dan pes, ternyata terbukti disebabkan oleh kuman. Perhatian kemudian lebih ditekankan pada kesehatan masyarakat yang erat kaitannya dengan terjadinya berbagai kasus epidemi. 

Mikroba yang hidup dan berkembang dalam tubuh inang tanpa menimbulkan penyakit disebut mikroba flora normal. Faktor-faktor yang menyebabkan kehadiran mikroba flora normal, adalah pH, suhu, potensial redoks, oksigen, air, nutrien, dan lain-lain. Distribusi mikroba flora normal, yaitu kulit, ketiak, dan sela-sela jari kaki, sedang jenis mikrobanya, antara lain: Staphylococcus epidermidis, Microccous luteus, Enterobacter, Klebsiella, E. coli, dan lain-lain. 

1. INFEKSI, PENULARAN, DAN KONTROL PENYAKIT 
Kesehatan masyarakat terutama bertitik tolak pada penyakit-penyakit infeksi yang potensial tersebar dalam masyarakat antara lain melalui agen makanan-minuman, udara, air, dan organisme vektor. Berbagai upaya penyebaran penyakit dalam masyarakat perlu dilakukan antara lain dengan perbaikan sarana lingkungan, seperti kebersihan lingkungan rumah, saluran pembuangan yang sehat, sirkulasi udara yang baik. Tidak kalah penting yaitu pemberian pendidikan masyarakat mengenai penyakit dan pemberantasan penyakit dari sumbernya. 

Hal yang paling utama untuk kontrol penyakit infeksi, yaitu menghancurkan sumber penularannya. Banyak negara yang berusaha melindungi konsumen dari gangguan kesehatan makanan, melalui uji mikrobiologis terhadap bahan mentah dan olahannya. 

2. PENANGANAN LIMBAH 
Aktivitas manusia, industri, dan pertanian menghasilkan limbah cair dan padat. Untuk mengurangi cemaran maka limbah pemukiman dan industri harus diolah terlebih dulu sebelum dilepas ke lingkungan. Pengolahan limbah cair dapat dilakukan secara aerobik maupun anaerobik atau kombinasi keduanya dan umumnya dengan 3 tahapan, yaitu tahap primer, sekunder, dan tersier. Adapun pengolahan limbah padat secara biologis umumnya berupa landfill dan pengkomposan. Salah satu akibat masuknya cemaran, yaitu terjadinya suksesi populasi mikroba. Mikroba yang berperan pada pengolahan limbah, antara lain Phanerochaeta chrysosporium, Pseudomonas spp., dan Bacillus spp, Mycobacterium, Vibrio, dan lain-lain. Dalam pengolahan limbah perlu diperhatikan beberapa aspek penanganan limbah, yaitu materi pencemaran, mikroba, faktor lingkungan, serta sistem yang digunakan dalam penanganan limbah. 

3. BIOREMEDIASI 
Pencemaran air dan tanah oleh limbah pemukiman maupun industri telah menimbulkan banyak kerugian. Usaha perbaikan lingkunagn yang tercemar dilakukan dengan proses yang dikenal sebagai bioremediasi. Pada dasarnya bioremediasi merupakan hasil biodegradasi senyawa-senyawa pencemar. Bioremediasi dapat dilakukan di tempat terjadinya pencemaran (in situ) atau harus diolah ditempat lain (ex situ). Pada tingkat pencemaran yang rendah mikroba setempat mampu melakukan bioremediasi tanpa campur tangan manusia yang dikenal sebagai bioremediasi intrinsik, tetapi jika tingkatan pencemaran tinggi maka mikroba setempat perlu distimulasi (biostimulasi) atau dibantu dengan memasukkan mikroba yang telah diadaptasikan (bioaugmentasi).

Pengertian Hak Asasi Manusia Menurut Para Ahli

Pengertian Hak Asasi Manusia 
Hak Asasi Manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan melekat padanya dimanapun ia berada. Tanpa Adanya Hak ini berarti berkuranglah harkatnya sebagai manusia yang wajar. Hak Asasi Manusia adalah suatu tuntutan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan, suatu hal yang sewajarnya mendapat perlindungan hukum.

Dalam mukadimah Deklarasi Universal Hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) dijelaskan mengenai hak asasi manusia sebagai:

“Pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dipindahkan ke orang lain dari semua anggota keluarga kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan dan keadilan di dunia.”

Ada tiga prinsip utama dalam pandangan normatif hak asasi manusia, yaitu berlaku secara universal, bersifat non-diskriminasi dan imparsial. Prinsip keuniversalan ini dimaksudkan agar gagasan dan norma-norma HAM telah diakui dan diharapkan dapat diberlakukan secara universal atau internasional. Prinsip ini didasarkan atas keyakinan bahwa umat manusia berada dimana-mana,disetiap bagian dunia baik di pusat-pusat kota maupun di pelosok pelosok bumi yang terpencil. Berdasar hal itu HAM tidak bisa didasarkan secara partikular yang hanya diakui kedaerahahan dan diakui secara lokal.

Prinsip kedua dalam norma HAM adalah sifatnya yang non-diskriminasi. Prinsip ini bersumber dari pandangan bahwa semua manusia setara (all human being are equal). Setiap orang harus diperlakukan setara. Seseorang tidak boleh dibeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai suatu hal yang negatif, melainkan harus dipandang sebagai kekayaan umat manusia. Karena manusia berasal dari keanekaragaman warna kulit seperti kulit putih,hitam, kuning dan lainnya. Kenekaragaman agama juga merupakan sesuatu hal yang mendapat tempat dalam sifat non-diskriminasi ini. Pembatasan seseorang dalam beragama merupakan sebuah pelanggaran HAM.

Prinsip ketiga ialah imparsialitas. Maksud dari prinsip ini penyelesaian sengketa tidak memihak pada suatu pihak atau golongan tertentu dalam masyarakat. Umat manusia mempunyai beragam latar belakang sosial maupun latar belakang kultur yang berbeda antara satu dengan yang lain hal ini meupakan sebuah keniscayaan. Prinsip imparsial ini dimaksudkan agar hukum tidak memihak pada suatu golongan. 

Hubungan antara HAM dengan Islam 
Hak Asasi Manusia dalam islam tertuang secara transenden untuk kepentingan manusia, lewat syariah islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syariah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dan karena ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. 

Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainnya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13, yang artinya sebagai berikut :

“Hai Manusia, sesnungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan permpuan dan kamu jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kaum adalah yang paling takwa.” 

Sedangkan kebebasan merupakan elemen penting dalam ajaran islam. Kehadiran islam memberikan jaminan pada kebebasan manusia agara terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik dan ideologi. Pada dasarnya HAM dalam islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam islam). Konsep itu mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu yaitu hifdzu al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdza al-mal (penghormatan atas harta benda), hifdzu al-nafs wa al-ird(penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan Negara dan komunitas agama dengan komunitas agama yang lainnya. 

Perlindungan Islam terhadap Hak Asasi Manusia
Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum islam 

1. Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari). 

Hak hidup dibagi atas beberapa hak antara lain:

a. Hak Pemilikan 
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia. 

b. Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32). Allah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fitrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu. 

Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama. "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2: 228) 

c. Hak Keamanan 
Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4). 

Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj). 

d. Hak Keadilan 
Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang dianiaya." (QS. 4: 148). 

Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim). 

e. Hak Saling Membela dan Mendukung 
Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari). 

f. Hak Keadilan dan Persamaan 
Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim). 

Pada masa rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan dari suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh Usamah bin Zaid, sampai kemudian rasul menegur dengan: "... Apabila orang yang berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia dibiarkan. Akan tetapi bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum kriminal..." 

2. Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi 
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99). 

Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) serta tidak melarang upacara-upacaranya. 

3. Hak Bekerja 
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).

Pengertian Hukum Syar’i / Hukum Islam ( Syariah ) Menurut Para Ahli

Pengertian Hukum Syar’i / Hukum Islam ( Syariah ) 
Kata Syara’ secara etimologi berarti jalan-jalan yang dapat ditempuh air, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju Allah. Apabila kata hokum dirangkai dengan kata syara’ yaitu Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah SWT. Tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam ( Amir Syarifuddin I, 1997 : 281 ). Istilah Syara’ juga sering disebut dengna hokum. Dua istilah ini secara terminologi sama, bahkan istilah syara’ dalam pemakaiannya dipersempit pada aspek-aspek hukum yang dipahami sekarang yaitu aturan-aturan Allah berkenaan dengan kehidupan atau aktivitas manusia.

Kata huku dalam bahasa Arab Ø­Ú«Ù… yang secara etimologi berarti memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Pengertian kata hokum memiliki rumusan yang luas. Meskipun demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa hokum itu adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu Negara atatu kelompok masyarakat ( Amir Syarifuddin I, 1997 : 281 ). Terdapat perbedaan pendapat anatar ulama Ushul Fiqh dan ulama fiqhdalam memberikan pengertian hokum syar’i karena berbedanya sisi pandang mereka. Ulama ushul fiqh seperti Muhamad Ali Ibnu Muhamad al. Syaukani berpendapat bahwa hokum syar’i itu adalah tuntutan Allah Ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, ruhkhsah atau azimah ( Nasrun Haroen 1, 1995 :208 ).

Ulama Fiqih berpendapat bahwa Hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh kitab (tuntutan ) sayr’I berupa wujub, mandub, hurmah, karabah dan ibadah. Perbuatan yang dituntut itu menurut mereka disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah ( Nasrun Haroen, 1995 : 210 ).

Jadi ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang disebut hukum ini ada;ah dalil itu sendiri baik Al-Qur’an maupun sunnah Nabi, tetapi ulama fiqh tidak membedakan antara dalil dengan akibat yang ditimbulkan dalil itu. Karena itu keduanya mereka sebut denga ‘al-wajib.

Pembagian Hukum Islam
Berdasarkan defenisi di atas , ulama ushul fiqh membagi hokum Islam tersebut kepada dua pembagian yaitu hukum al-taklifi dan wadh’i.

A. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dinamakan hokum taklif karena titah ini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud dengan mukallaf dalam kajian hokum islam adalah setiap orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak, orang gila / mabuk dan orang tertidur tidak termasuk golongna mukallaf, maka segala tindakan yang mereka lakukan tidak dapat dikenakan sangsi hokum. Ada dua bentuk tuntutan di dalam hokum islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalakan. Dari segi kekuatan tuntutan tersebut terbagi pula ke dalam dua bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti dan tuntutan yang tidak mesti dan pilihan yang terletak di antara mengerjakan dan meninggalkan. 

Menurut Al-Amidi ( 1983 : 91 ) hokum taklif itu ada empat dengan tidak memasukkan al-ibadah (pilihan) karena yang dimaksud dengan taklif itu adalah beban kepada orang yang mukallaf baik untuk mengerjakan atau meninggalkan, sedangkan menurut jumhur ulama hokum taklif itu ada lima macam yang disebut juga dengan hukum yang lima sebagai berikut. 

a. Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai berikut.

“ Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Depag. R.I ,1984:123 ).

b. Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Bagi orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran. Karena kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak mendapat ancaman dosa seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang terjemahannya sebagai berikut.

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).

c. Haram, yaitu tuntutan yang mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya berarti dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia patut mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti dia telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut mendapatkan ancaman dosa, seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya sebagai berikut.

“ …Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu bapakmu, dan janganlah kamu menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (Depag. R.I, 1984 : 427).

d. Makruh, yaitu tuntutan yang mengandung larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang yang meninggalkan larangan berarti telah mematuhi yang melarangnya, karena itu ia berhak mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka orang yang meninggalakan larangan itu tidak dapat disebut menyalahi yang melarang, dan tidak berhak mendapatkan ancaman dosa seperti sabda Nabi SAW. Berikut ini.

“Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya, Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal : 168).

e. Mubah, yaitu titah Allah SWT yang memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan , dalam hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau meninggalkan. Apabila seseorang mengerjakan dia tidak diberi ganjaran dan tidak pula ancaman atas perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu apabila dia melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran seperti firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Talak (yang dapat rujuk) dua kali. Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Depag. R.I, 1984 : 55).

Pengaruh titah ini terhadap perbuatan disebut juga ibahah, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.

B. Hukum Wadh’i
Ulama ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil (Nasrun Haroen, 1995: 40), sedangkan menurut Al-Amidi tujuh macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimah dan rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).
1. Sabab, yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebabbagi wajib dikerjakan suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S 17 :78 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.” (Depag. R.I, 1984 : 436).

2. Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu seperti sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai berikut.

“Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas hingga berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).

Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu, tetapi seseorang yang dalam keadaan berwudhu tidak otomatis harus mengerjakan shalat karena berwudhu itu merupakan salah satu syarat sah nya shalat. Jadi suatu hokum taklifi tidak dapat dilaksanakan sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan syara’. Oleh sebab itu berwudhu ( suci ) merupakan syarat sahnya shalat.

3. Mani’ (penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya menyebabkan tidaj ada hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang terjemahannya sebagai berikut.

“ Apabila datang haid kamu tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari ( Al-Asqalany, I tth :63).

Dari contoh-contoh di atas jelas keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ sangat erat.

4. Shah, yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara’. Maksudnya hokum itu dikerjakan jika ada penyebab , memenuhi syarat-syarat dan tidak ada sebab penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya, mengerjakan shalat zuhur setelah tergelincir matahari sabab (sebab)telah berwudhu (syarat), dan tidak ada penghalang (mani’) seperti haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya adalah sah.

5. Bathil, yaitu terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hokum yang ditimbulkannya, seperti batalnya jual beli dengan memperjualbelikan minuman keras, karena minuman keras itu tidak bernilai harta dalam ketentuan hukum syara’.

Adapun mengenai rukhsah dan ‘azimah, Syarifuddin sependapat dengan Al-Amidi yaitu termasuk pemabahasan hokum wadh’i dalam pelaksanaan hokum taklifi (Syarifuddin I, 1997: 28). ‘Azimah yaitu hokum asal atau pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalili umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya, seperti haramnya bangkai untuk umat Islam.

Rukhsah, yaitu keringanan atau pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu seperti boleh memakan bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.

Prinsip dan Watak Syari’ah
Tujuan utama syari’ah mengajak manusia kepada kebaikan dan melarang dari berbuat salah, mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Untuk itu dalam pelaksanaannya sayri’ah mempunyai lima prinsip umum yang dikemukakan oleh Supan Kusumamiharja, (1978) antara lain sebagai berikut.

a. Sesuai dengan Fitrah Manusia
Allah menegaskan tentang kesesuaian sayri’ah dengan potensi manusia di antaranya dalam Q.S 30:30 dan Q.S 2 :185. Dua ayat tersebut menjelaskan bahwa seluruh aturan yang ada dalam syari’ah tidak ada yang tidak dapat dilakukan oleh manusia sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing. Bahkan Allah mengkehendaki kemudahan bagi manusia, bukan kesukaran.

b. Luwes dalam Pelaksanaannya
Allah menjelaskan tentang keluwesan syariah tersebut dalam Q.S 2:173, bahwa hal-hal yang diharamkan dalam suatu keadaan dan kondisi tertentu, dapat menjadi halal dalam keadaan dan kondisi lain, yaitu dalam keadaan terpaksa. Contoh lain seperti yang dijelaskan dalam hadis Rasul riwayat Bukhari, (Al-Asqalany, tth:99) bahwa bagi orang yang tidak mampu mengerjakan shalat dalam keadaan berdiri, maka ia boleh melakukannya sambil duduk, dan selanjutnya boleh sambil berbaring.

c. Tidak Memberatkan
Semua syariat Allah tidak ada yang berat, sehingga manusia tidak mampu melaksanakannya. Contoh ibadah yang diwajibkan 5 kali dalam 24 jam, yang hanya membutuhkan waktu minimal kira-kira 5x7 menit = 35 menit, zakat harta hanya berkisar 2,5 %, 5%, dan 10 %, ibadah haji cukup sekali seumur hidup, begitu juga dengan benda yang diharamkan hanya sebagian kecil apabila dibandingkan dengan yang dihalalkan.

d. Penetapan Hukum Secara Bertahap
Allah mengharamkan suatu hal tidak secara langsung, melainkan melalui tahapan. Contoh pengaharaman minuman keras, tidak langsung sekaligus dilarang tetapi berangsur-angsur setahap demi setahap sampai akhirnya diharamkan. Allah SWT menurunkan ayat larangan minuman keras dengan larangan secara bertahap. Prosesnya diawali dengan turunnya Q.S 2:219 yang mengatakan bahwa pada khamar dan judi terdapat dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. Setelah itu Allah turunkan Q.S 4:43 berupa larangan mendekati shalat bagi orang-orang yang mabuk.

Kemudian Allah turunkan Q.S 5: 90 yang menyatakan secara tegas tentang haramnya minuman keras dan ditegaskan oleh hadis Rasul walaupun sedikit diminum maka statusnya sama, yaitu hukumnya haram.

e. Tujuan Syari’ah adalah Keadilan
Pencapaian keadilan di dalam syariah secara eksplisit tampak pada adanya penjelasan tentang pokok-pokok akhlak yang baik yang terdapat dalam syariat tersebut. Allah menjelaskan hal itu di dalam Q.S 16:90.

Syari’ah Islam mempunyai tiga watak yang tidak berubah-ubah yaitu berikut ini: (1) takammul (lengkap), (2) wasathiyyah (pertengahan/moderat), (3) harakah (dinamis). Watak takammul memperlihatkan bahwa syari’ah itu dapat melayani golongan yang tetap pada apa yang sudah ada (konsisten), dan dapat pula melayani golongan yang menginginkan pembaharuan (Dahlan II, ed. 1997:577).

Konsep wasathiyyah mengkehendaki keselarasan dan keseimbangan atara segi kebendaan dan segi kejiwaan. Keduanya sama-sama diperlihatkan tanpa mengabaikan salah satu dari padanya, sedangkan dari segi harakah (kedinamisan), syari’ah mempunyai kemampuan untuk bergerak dan berkembang. Untuk mengiringi perkembangan itu di dalam syari’ah ada konsep ijtihad.

Aplikasi Syariah
Aplikasi atau pelaksanaan hukum Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas selain bertujuan menunjukkan kepatuhan kepada Allah SWT dan mencari ridha-Nya juga untuk memberikan panduan/ bimbingan kepada manusia dalam menempuh kehidupannya demi terwujdnya atau terciptanya keselamatan dunia dan kebahagiaan akhirat (Q.S 51:56; Q.S 2:201). Berdasarkan tujuan tersebut menurut Amir Syarifuddin I, (1997: 5), hokum Islam itu mengandung dua bidang pokok, yaitu berikut ini.
1) Kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah dan harus diikuti umat Islam dalam kehidupan beragama, yang disebut fiqih.
2) Kajian tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sistematis dalam menghasilkan perangkat peraturan yang terinci itu disebut ushul fiqh.

Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan yang terpisah, tetapi saling berkaitan. Pada topik ini yang menjadi bahasan adalah hokum amaliyah (fiqih) yang pembahasannya dikembangkan dalam Ilmu Syari’ah. Ilmu Syari’ah adalah ilmu yang mengkaji tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan penciptanya dan antara manusia dengan sesame manusia dan makhluk lainnya. Aspek pembahasan hokum ini dibagi menjadi sebagai berikut.

a. Ibadah dalam Arti Khusus ( Ibadah Mahdhah )
Yaitu ibadah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan agama Islam secara rinci, seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Berikut ini adalah penjelasan rinci tentang ibadah mahdhah tersebut.

1) Thaharah
Menurut bahasa thaharah berarti bersih dari kotoran. Dan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat ulama, Abdurrahman al-Jaziri penyusun kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah berpendapat thaharah adalah suatu sifat maknawi yang ditentukan oleh Allah SWT sebagai syarat syahnya shalat (Dahlan V, 1997:1747). Dasar hukumnya antara lain firman Allah SWT dalam Q.S 2:222 yang terjemahannya sebagai berikut.

“…Sesungguhnya Allah menyenangi orang-orang yang bertaubat, dan menyenangi orang-orang yang suci (bersih).” (Depag. R.I, 1984:54).

Dalil lainnya terdapat antara lain dalam Q.S 2:125, dan Q.S 74:1-5.
Thaharah dalam ajaran Islam merupakan bagian dari pelaksanaan ibadah kep[a]da Allah. Setiap muslim diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam dan sebelum melaksanakannya disyaratkan bersuci terlebih dahulu. Hal ini membuktikan bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan dan mendorong umat Islam untuk membiasakan diri hidup bersih, indah, dan sehat. Karena itu kehidupan umat Islam adalah kehidupan yang suci dan bersih.

Di samping sebagai suatu kewajiban, thaharah juga melambangkan tuntutan Islam untuk memelihara kesucian diri dari segala kotoran dan dosa. Allah yang Maha Suci hanya dapat didekati oleh orang-orang yang suci, suci fisik dari kotoran dan suci jiwa dari dosa. Jadi thaharah berarti membersihkan diri lahir dan batin, jasmani dan rohani dari hadas, najis, dan penyakit rohani seperti syirik, ria, sombong dan sifat-sifat tercela lainnya.

Adapun alat untuk bersuci adalah air untuk wudhu dan mandi dan tanah ataupun debu untuk tayamum. Bersuci dari hadas dengan jalan wudhu dan mandi, dalam keadaan tertentu dapat diganti dengan tayamum. Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat dengan cara menghilangkan warna, bau, bentuk dan rasa najis tersebut. Bersuci dari penyakit rohani dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT, dan meluruskan niat kembali untuk menghilangkan penyakit rohani itu.

2) Shalat 
Secara bahasa shalat berarti do’a sebagaiman firman Allah SWT dalam Q.S 9:103 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya do’a, kamu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka”. (Depag, R.I, 1984:297).

Shalat menurut istilah berarti suatu ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Dasar shalat sebagai salah satu rukun Islam adalah firman Allah SWT dalam Q.S 2:34 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dirikan shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”. (Depag, R.I, 1984:16).

Selanjutnya firman Allah SWT tentang shalat antara lain ditemui dalam Q.S 2:238; Q.S 98:5; Q.S 4:103.
Perintah shalat dapat dikelompokkan ke dalam perintah wajib dan perintah sunnah. Shalat fardhu terbagi dua yaitu fardhu’ain dan fardhu kifayah. Adapun perintah yang bersifat fardhu’ain itu adalah perintah kepada individu-individu dan tidak dapat ditumpangkan kepada orang lain seperti shalat lima waktu. Perintah yang bersifat fardhu kifayah yaitu kewjiban yang apabila sudah dilaksanakan oleh sebahagian atau sekelompok muslim maka gugurlah kewajiban muslim lainnyaseperti shalat jenazah. Ketentuan shalat ditetapkan oleh syari’at Islam berdasarkan AL-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi SAW begitu juga pada shalat jum’at dan shalat jenazah. Shalat fardhu’ain yang lain adalah shalat jum’at bagi laki-laki. Shalat jum’at adalah shalat yang dilakukan pada waktu zuhur secara berjama’ah dan diawali dengan dua khutbah. Kewajiban shalat jum’at didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S 62:9 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Depag. R.I, 1984:933).

Shalat yang fardhu kifayah adalah melaksanakan shalat jenazah. Shalat jenazah mempunyai persyaratan yang sama dengan persyaratan shalat yang lain, seperti menutup aurat, suci badan dan pakaian dari najis, dan menghadap kiblat, sedangkan rukun shalat jenazah adalah; niat, takbir 4 kali dengan takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah sesudah takbiratul ihram, membaca shalawat kepada Nabi sesudah takbir kedua, mendoakan mayat sesudah takbir ketiga, doa sesudah takbir yang keempat, berdiri jika kuasa dan salam.

Kewajiban shalat bagi setiap muslim tidak pernah berhenti dalam keadaan apapun, sepanjang berakal sehat, yang disebut dengan azimah, namun Islam memberikan keringanan yang diberikan kepada orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan, berupa jamak dan qasar. Adapun jamak adalah mengumpulkan dua shalat pada satu waktu, yaitu shalat zuhur dan ashar dan shalat maghrib dan isya. Apabila shalat maghrib disebut jamak taqdim. Apabila shalat zuhur dilakukan pada waktu ashar atau pada waktu maghrib disebut jamak ta’khir.

Shalat qasar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu shalat zuhur, ashar, dan isya. Biasanya shalat jamak dilakukan sekaligus dengan mengqasarnya, sehingga shalat yang empat rakaat menjadi dua-dua rakaat.

Shalat yang tidak dapat dijamak adalah shalat subuh, sedangkan shalat yang tidak dapat diqasarkan adalah shalat maghrib dan shalat subuh. Adapun shalat sunah juga banyak yang harus dilakukan oleh umat Islam. Dan shalat sunah nawafil yaitu shalat sunah yang mempunyai waktu tersendiri seperti shalat aidaini (dua hari raya), shalat tahiyatul masjid, shalat kusuf, shalat khusuf, shalat tahajud, shalat dhuha, dan lain-lain. Shalat-shalat sunah tersebut merupakan ibadah khusus, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, membina pribadi dan menjaga diri supaya tidak terjerumus kepada dosa serta selalu dalam lindungan Allah SWT.

Shalat memiliki banyak hikmah. Antara lain mendidikorang agar disiplin dengan waktu, karena ibadah shalat harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan. Shalat juga mengandung makna pembinaan pribadi, yaitu dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan kemungkaran. Dengan melakukan shalat perbuatan dapat dikontrol dengan baik karena setiap waktu shalat dia akan menghadap kepada Allah untuk memohon petunjuk dan meminta ampunan. Pribadi yangterkontrol sedemikian rupa akan cenderung bertingkah laku yang baikdan terhindar dari perbuatan dosa, sehingga setiap selesai shalat dia akan kembali kepada rutinitasnya dengan jiwa yang bersih.

3) Puasa
Menurut bahasa puasa berarti menahan sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah SWT dalam Q.S 19:26 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Sesungguhnya Aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini”. (Depag. R.I, 1984:465).

Menurut istilah puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkannya, seperti makan, minum, jimak mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Dasar hokum puasa ditemui dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dari Al-Qur’an dasar hokum puasa adalah firman Allah dalam Q.S 2:183 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”. (Depag. R.I, 1984:44).

Puasa terbagi empat, yaitu puasa wajib, sunat, haram, dan makruh. Puasa wajib antara lain sebagai berikut ini.

Pertama, puasa Ramadhan.
Perintah puasa ramadhan terdapat dalam firman Allah SWT dalam Q.S 2:183-185. Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada tahun kedua hijriyah.

Kedua, puasa Qadha.
Puasa qadha yaitu mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Dalilnya yaitu firman Allah SWT dalam Q.S 2 :184.

Ketiga, puasa Nazar.
Puasa nazar yaitu puasa yang dikerjakan karena nazar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalil puasa nazar itu terdapat dalam firman Allah SWT Q.S 76:7.

Keempat, puasa Kifarat.
Puasa kifarat yaitu puasa sebagai akibat dari pelanggaran-pelanggaran tertentu seperti: supmpah palsu dengan melaksanakan puasa selama (3) hari. Dalilnya berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S 5 :89, membunuh ornag tidak sengaja dengan puasa dua bulan berturut-turut berdasarkan Q.S 4 :92, melakukan zihar yaitu mengharamkan istri dan menyamakan istri dengan ibu berdasarkan Q.S 58:3-4.

Kelima, puasa Fidyah.
Puasa fisyah yaitu pengganti dari kewajiban melaksanakan qurban karena pelanggaran peraturan dalam ibadah haji, yaitu puasa 3 hari di kota Mekah dan 7 hari lagi di negeri sendiri. Kewajiban puasa fidyah ini didasarkan pada firman Allah SWT Q.S 2 : 196.

Adapun puasa sunat atau tathawwu’ antara lain berikut ini. a) puasa senin dan kamis, b) puasa enam hari di bulan Syawal, c) puasa pada tanggal 9 Zulhijjah, d) puasa pada hari Asyura, e) puasa pada tiap tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariah. Puasa haram, antara lain berikut ini. a) puasa terus-menerus (wishal), b) puasa pada hari hari yang diharamkan yaitu hari tasyrik, (11, 12 dan 13 Zulhijjah) dan dua hari raya ( 1 syawal dan 10 zulhijjah), c) puasa hari syak (30 sya’ban), d) puasa seorang perempuan yang sedang haid atau nifas, dan e) puasa sunat seorang istri yang suaminya sedang berada di rumah sedangkan ia tidak mengizinkannya. Puasa makruh antara lain berikut ini. a) puasa sunat dengan susah payah ( karena sakit atau dalam perjalanan ), dan b) puasa sunat pada hari Jum’at atau hari sabtu saja (kecuali kalau harijum’at atau sabtu itu bertepatan dengan hari yang disunahkan puasa).

Kesempurnaan puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, dan melakukan hubungan suami-istri pada siang Ramadhan saja, tetapi mengandung arti menahan diri dari segala perbuatan yang tidak sesuai dengan hikmah dan tujuan puasa. Hikmah melaksanakan puasa antara lain adalah sebagai berikut ini. 
(1) Disiplin rohaniah, merupakan pengekangan diri dari perbuatan yang membatalkan puasa
(2) Pembentukan akhlakul karimah, dengan berpuasa iman dididik untuk berbuat baik dan mulia
(3) Pengembangan nilai-nilai social
(4) Latihan rohani yang dimulai dengan latihan-latihan secara fisik yaitu menahan diri dari makan, minum,  dan lain-lain.

Puasa memiliki hikmah yang besar bagi yang mengamalkannya. Karena, puasa adalah ibadah yang mengandung niali-nilai pendidikan untuk menahan dan mengendalikan diri dari keinginan-keinginan negatif atau buruk yang mendorong kepada kejahatan.

(4) Zakat
Zakat berarti suci, sedangkan menurut syari’ah, zakat adalah memberikan harta tertentu yang diwjibkan Allah mengeluarkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Yusuf Qardawi (Dahlan VI, 1997:1985).

Dasar hukum mengeluarkan zakat ini adalah firman Allah SWT dalam Q.S 9:103 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Depag. R.I, 1984:297).

Zakat merupakan pemberian khas Islam, yang sudah diwajibkan Allah semenjak Nabi Ibrahim AS dan Nabi-nabi sesudahnya (Luth, Ishaq, Ya’kub dan lain-lain), sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S 21:73 dan Q.S 5 :12.

Kewajiban zakat ini dipertegas dengan sabda Rasulullah (terjemahannya) berikut ini.

“…Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat harta yang diambil dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada orang-orang miskin”. (H.R. Muttafaqun’alaih dan Lafaz Bukhari) (Al-Shan’ani I, tth:120).

Secara garis besar zakat dibagi kepada dua macam yaitu berikut ini.

1) Zakat Mal (zakat harta)
Adapun jenis harta yang wajib dizakatkan berdasarkan firman Allah SWT antara lain dalam Q.S 2 : 267.
(a) Ternak
(b) Emas dan perak
(c) Barang dagangan
(d) Hasil pertanian
(e) Barang tambang dan harta terpendam
(f) Zakat hasil usaha dan profesi

Dengan ketentuan nisab berkisar dari 2.5 % sampai dengan 20 %.

2) Zakat Nafs (zakat fitrah)
Selain dari kewajiban membayar zakat harta, setiap muslim diwajibkan mambayar zakat fitrah sampai bulan Ramandhan berakhir. Zakat fitrah mulai diwajibkan pada bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah, sekaligus pada tahun diwajibkan ibadah puasa. Kewajiban zakat fitrah berlaku untuk seluruh umat Islam berdasarkan sabda Rasulullah (terjemahannya) sebagai berikut.

“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sa’kurma atau satu sa’gandum bagi hamba sahaya atau orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik anak kecil maupun orang dewasa yang muslim. Perintah membayarnya sebelum shalat Id”. (H.R. Mutafaq Alaihi) (Al-Shan’ani, II tth:137).

Mengenai orang-orang yang berhak menerima zakat dijelaskan pada Q.S 9:60 yang dikenal dengan asnaf yang delapan.

“Sesungguhnya zakat itu, hanyalah untuk orang-orang yang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Depag. R.I, 1984; 228).

Zakat adalah ibadah maliyah (berkaitan dengan harta) yang memilki dampak sosial untuk memperkecil kesenjangan antara golongan kaya dan si miskin. Menurut ajaran Islam, harta adalah milik Allah, orang yang mendapatkan harta tidak sepenuhnya memiliki harta tersebut, ada hak-hak orang lain pada harta yang dikuasainya, karena itu hak-hak tersebut harus diberikan setiap waktu sesuai dengan ketentuan syari’at. Dengan demikian, jika zakat dilaksanakan dengan baik, maka kemiskinan di kalangan umat Islam akan dapat dikurangi, bahkan mungkin dihapuskan.

5) Haji dan Umrah
Menurut bahasa kata hajj berarti bermaksud mengunjungi sesuatu (al Qashdu lizziarah) dan menurut syariat Islam berarti mengunjungi baitullah untuk menjalani ibadah (iqamatan linnusuki) (Muhammad Ali, 1980:341). Haji merupakan ritual yang sudah dikenal sejak masa jahiliyah kemudian disempurnakan sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S 2: 196 yang terjemahannya sebagai berikut.

Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah (Depag. R.I, 1984:47).

Ayat ini mengindikasikan bahwa ibadah haji itu sudah dikenal sejak masa-masa sebelum Islam. Ibadah haji yang disyariatkan dalam Islam mengacu pada ibadah haji yang pernah dilakukan oleh Babi Ibrahim AS (Q.S 16:120-123; Q.S 2:125-129). 

Haji sebagai salah satu rukun Islam, wajib dilakukan oleh orang-orang yang mampu satu kali seumur hidup. Kewjiban ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S 3: 97 yang terjemahannya sebagai berikut. 

“Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang mampu melaksanakan perjalanan ke Baitullah”. (Depag. R.I, 1984: 92).

Alasan lainnya adalah firman Allah SWT dalam Q.S 2:196-197, Q.S 22: 27-28, sedangkan ibadah haji wajib bagi setiap muslim yang mampu satu kali seumur hidup sebagaimana sabda Rasulullah SAW (terjemahannya):

“Haji satu kali, maka apabila lebih dari itu adalah sunat”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’I dan dishahihkan oleh Hakim (Said Sabiq Fiqh Sunnah V (terj) 1987:40).

Pelaksanaan ibadah haji dapat dilakukan dengan tiga cara yang berikut ini .
(a) Haji Tamattu’, yaitu melaksanakan umrah terlebih dahulu, dan setelah tahallul umrah memotong seekor kambing di Mina, seandainya tidak mampu diganti dengan puasa sepuluh hari, yang dilaksanakan 3 hari di tanah suci dan 7 hari di tanah airnya.
(b) Haji Ifrad, yaitu melaksanakan haji terlebih dahulu. Setelah melakukan tawaf qudum (tawaf kedatangan di Mekah) dengan berpakaian ihram dan tidak bertahallul langsung melaksanakan ibadah haji, umrah dilaksanakan sesudah melaksanakan haji.
(c) Haji Qiran, yaitu ibadah haji dan umrah sekaligus. Seperti halnya bagi yang melaksanakan haji tamattu’, maka haji qiran perlu diwajibkan memotong kambing.

Ibadah haji memiliki hikmah yang banyak. Di antara hikmah ibadah haji adalah mendidik jiwa untuk mau berkorban, ikhlas, dan sabar karena dalam ibadah haji semua sifat-sifat itu dituntut, dalam pelaksanaanya ibadah haji mempunyai ketentuan dan aturan yang ketat karena aturan-aturan itu akan berpengaruh kepada sistem dalam beribadah. Ibadah haji juga merupakan tempat pengembangan sosialisasi yang dapat menimbulakn proses pendidikan dalam kehidupan bersama dengan persatuan dan persaudaraan, sehingga hidup dapat lebih bermakna untuk mencapai kemuliaan yang hakiki. 

b. Ibadah dalam Arti yang Umum (‘Ibadah Ghairu Mahdhah)
adalah segala aktivitas mukmin yang sesuai dengan keinginan Allah SWT dikerjakan dengan ikhlas dan dalam rangka mencari ridha Allah SWT. Ibadah ghairu mahdhah ini disebut juga dengan muamalah dalam arti luas.

Amir Syarifuddin membagi hokum muamlah ini menjadi berikut ini.
(a) Hukum muamalah dalam arti yang khusus
(b) Hukum munakahat (perkawinan)
(c) Hukum mawaris dan wasiat
(d) Hukum jinayah (pidana)
(e) Hukum murafa’at atau hokum qadha disebut juga dengan hokum acara
(f) Hukum tata Negara
(g) Hukum internasional
(Amir Syarifuddin I, 1997: 71-72)

Berikut ini dijelaskan satu persatu secara singkat.

1) Muamalah
Hukum muamalah dalam arti yang khusus adalah hukm-hukum perdata seperti jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa dan transaksi serta lainnya, yang antara lain firman Allah SWT dalam Q.S 2:275 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Depag. R.I, 1984: 69).

2) Munakahat
Hukum munakahat yaitu hokum yang mengatur mengenai perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengannya seperti talak, rujuk, pemeliharaan anak dan lain-lain dengan dasar firman Allah dalam Q.S 30:21 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan jadikan dia di antaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir”. (Depag. R.I, 1984:644).

3) Mawaris dan Wasiat
Hukum mawaris dan wasiat yaitu hokum yang mengatur perpindahan dan pembagian harta karena adanya kematian. Sumber-sumber hokum mawaris dalam quran antara lain firman Allah SWT dalam Q.S 4:7 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapa dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada pula bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Depag. R.I, 1984 :116).

Masalah waris ini juga terdapat dalam Q.S 4 : 11, 12 dan 176.

4) Hukum Pidana (Jinayah)
Hukum jinayah adalah hokum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam rangka pencegahan kejahatan seperti pembunuhanm pencurian, dan perzinaan beserta sanksinya. Firman Allah SWT antara lain dalam Q.S 17:33 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan janganlah kamu membunuh yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan kebenaran.” (Depag. R.I, 1984:429).

Firman Allah SWT lainnya antara lain di dalam Q.S 4 :93 mengenai pembunuhan , Q.S 2:178 mengenai jenis-jenis hukuman, Q.S 5:38 mengenai pencurian, Q.S 5:33 mengenai perampokan, Q.S 5:90-91 mengenai meminum minuman keras dan Q.S 24:2 dan lainnya.

5) Hukum Murafa’at
Hokum murafa’at atau hokum acara adalah hokum yang berkaitan dengan usaha penyelesaian akibat kejahatan di pengadilan seperti kesaksian, gugatan dan pembuktian. Masalah kesaksian ini antara lain dalam firman Allah dalam Q.S 2 :282 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan tidaklah kamu menetapkan dua orang saksi dari kaum laki-laki”. (Depag. R.I, 1984: 70).

6) Siyasah
Siyasah terambil dari akar kata yaitu sasa-yasusu, yang berarti mengemudikan, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya (Quraish Shihab, 1999:416).

7) Hukum tata negara
Hukum tata Negara adalah hukm yang mengatur kehidupan masyarakat dan bernegara. Firman Allah SWT antara lain dalam Q.S 4 :34 dan Q.S 9:71.

Laki-laki adalah pelindung perempuan (Depag. R.I, 1984:123).
“Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebahagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan melarang dari yang mungkar”. (Depag. R.I, 1984:291).

8) Hukum Internasional
Hukum internasional adalah hokum yang mengatur hubungan warga Negara dengan Negara lain seperti tawanan, perang, perjanjian, rampasan perang dan lainnya.

Firman Allah SWT dalam Q.S 8:56-58 yang terjemahannya sebagai berikut.
“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan. Maka cerai berailahorang-orang yang dibelakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat “. (Depag. R.I, 1984:270).

Dan firman Allah SWT dalam Q.S 8:62-63 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung). Dialah yang memperkuat dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’min, dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Depag. R.I, 1984:271).