Historiografi Indonesia Dan Ideologi Ilmu Sosial

Historiografi Indonesia Dan Ideologi Ilmu Sosial 
Pertama-tama, menurut Gayatri Spivak, salah seorang pionir dalam Studi Poskolonial, dalam satu tulisannya, pendekatan ini berupaya “mendekonstruksi historiografi”. Apa arti “mendekonstruksi histoiogrfai”? Tulisan Gayatri Spivak ini sangat terkenal. Ia merupakan pengantar kumpulan tulisan-tulisan pilihan para sejarawan Subaltern Studies di India.[1

Historiografi artinya penulisan sejarah. Pertanyaannya kemudian, “siapa” yang menulis sejarah? Kalau kita tanya Kuntowijoyo, maka jawabnya, “sejarawan akademis”. “Sejarawan akademislah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut diri sebagai sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian”, tandas Kuntowijoyo.[2] Baginya, “tugas-tugas non-sejarawan dan cerita-cerita orang-orang hanyalah melengkapi tugas kaum sejarawan akademis, karena “[mereka, sejarawan akademis ini] mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis”.[3]

Bagi Spivak dan kalangan penulis Subaltern Studies, tentu ini problematik. Pertama, sebutan “akademis” mengandaikan sebuah kultur baru. Sementara sebutan “sejarawan” berfungsi mengukuhkan kultur tersebut. Selain itu, “akademisme” juga mengandaikan adanya sebuah kelas tersendiri, kelas terpelajar, yang muncul dari dunia “modern” dan “ilmiah”. Jadi, dalam historiografis “resmi” diperlukan aktor dan kultur. 

Lalu bagaimana mereka kemudian menulis sejarah Indonesia misalnya? Sejarah Indonesia, menurut Kuntowijoyo dalam bukunya, Metodologi Sejarah (1994), adalah sejarah modern dan ilmiah. “Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Sementara itu, kurun historiografi tradisional dapat dianggap berakhir dengan ditulisnya buku Critische Beschouwing van de Sadjarah van Banten oleh Hoesein Djajadiningrat pada tahun 1913”.[4] Sejarah modern ini menandai peralihan dari model Europasentris ke Indonesia-sentris, yakni lahirnya sebuah “historiografi nasional”. Kemudian, lanjut Kuntowijoyo, juga ada “keinginan untuk adanya suatu sejarah Indonesia yang ilmiah seperti ternyata dalam Seminar Nasional II di Yogyakarta pada tahun 1970. Keinginan itu telah memperluas ruang lingkup penulisan sejarah dengan masuknya pendekatan-pendekatan [ilmu sosial] baru.” (19)

“Jalan kedua ini telah menawarkan perluasan penulisan sejarah secara substantif, sebab dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial ruang lingkup sejarah Indonesia tidak lagi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang proses, tetapi juga mulai memikirkan mengenai struktur.” (20)

Apa yang disebut “historiografi modern” itu adalah historiografi nasionalis. Persisnya, historiografi elit-nasionalis. Buku suntingan Soedjatmoko, An Introduction to Indonesian Historiography (Cornell University Press, 1965), menandai awal terbentuknya dokumen historiografi elit-nasionalis, yang k mencapai puncaknya dalam Seri Sejarah Nasional Indonesia yang dsunting oleh Nugroho Notosoesanto dan kawan-kawan. Sementara karya Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Pustaka, 1984), menandai masuknya pendekatan ilmu-ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia. 

Makalah saya ini secara khsuus menyoroit aspoek yang etrkahir ini, yakni soal masuknya pendekatan ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia. Soalnya, klaim yang emngemuka dari tren ini adalah pada soal pentingnnya menekankan sejarah yang muncul dari bawah, sebuah sejarah sosial, yang berbeda dari kecenderungans ejarah elitis, yang hanya berkutat pada ceroita-cerota pembesar, kelompok elit dan militer. Menurut Sartono, historiografi elit-nasionalis telah mengabaikan suara-suara orrg kecil, misalnya suara kalangan petani.

Pertanyaannya saya tentunya adalah, mengapa mengungkap suara-suara petani itu misalnya melalui “ilmu-ilmu sosial”? Bagaimana ia diarahkan, dan apa hasilnya? Kita lihat apa yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo misalnya.

Sejarawan dari UGM Yogyakarta ini dikenal dengan dua proyek rintisannya: memperkenalkan searah petani sebagai aktor dalam historiografi Indonesia. Kedua, memperkenalkan pendekatan multi atau inter-disipliner, yakni pendekatan ilmu-ilmu sejarah ke dalam penulisan sejarah Indonesia. Tentu kita bisa bertanya, apa yang ditawarkan oleh Sartono tentang sejarah petani sebagai aktor ini dengan bantuan ilmu-ilmu sosial.

Menurut Sartono, pendekatan ilmu-ilmu sosial ini bersifat multidimensional dalam arti bahwa peristiwa-peristiwa searah dijelaskan sebagai hasil/akibat dari saling pengaruh berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, agama, dan lain-lain. Dalam studinya yang terkenal, Pemberontakan Petani Banten 1888 (1966), Sartono menggabungkan kajian historis dan sosiologis. Mengikuti sosiolog Amerika, Evans-Pritchard,[5] ia menyebut gerakan-gerakan sosial sebagai sebuah obyek kajian bersama sejumlah displin keilmuan. Yang menarik, Sartono dengan tegas menyebut bahwa konsep-konsep sosiologis layak dipertimbangkan untuk diadopsi dalam kajian sejarah dan historiografi. Konsep-konsep seperti “mileniaris”, “solidaritas dan konflik golongan”, dan juga konsep-konsep yang berkaitan dengan golongan, perilaku, organisasi, pengelompokan, pimpinan, ideologi dan sebagainya.[6

Lebih jauh lagi, Sartono ingin menunjukkan dalam kasus pemberontakan petani Banten 1888 bahwa gerakan petani adalah sebuah gerakan mileniaris, dimana ada kelompok elit yang menggerakkan petani melalui sejumlah kreasi simbolik dan magis-agama. Gerakan seperti ini, lanjut Sartono, muncul dalam kondisi dimana terjadi benturan antara tatanan tradisional dan tatanan baru yang dibawa oleh kolonialisme. Benturan itu oleh Sartono dilihat mengganggu keseimbangan masyarakat tradisional, yang kemudian melahirkan frustasi dan deprivasi, yang berkembang menjadi keresahan dan kegelisahan yang meluas, dan akhirnya mengarah kepada pemberontakan.[7

“Pemberontakan” semacam ini yang menarik perhatian Sartono dan sejumlah sejarawan lainnya yang suka dengan penerapan konsep ilmu sosial tentang “gerakan milenarian-mesianik” ke dalam penulisan sejarah. Mengapa pemberontakan petani Banten 1888 disebut gerakan milenarian? Sartono melihat peran agama yang dominan dan tokoh kharismatik yang berpengaruh. Dalam soal ini, Sartono tinggal menjiplak teori-teori ilmu sosial Barat yang sudah jadi tentang “peran agama dalam masyarakat tradisional” dan “manipulasi agama oleh tokoh-tokoh spiritual”. Ujung-ujungnya, Sartono ini ingin mengukuhkan asumsi bahwa gerakan petani mewakili mentalitas tradisional pra-politik, yang terbelakang dan primitif.

Jadi, ketika Sartono ingin memperkenalkan ilmu-ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia, yang pertama dilakukan adalah mengidentifikasi gerakan petani tersebut ke dalam konteks modernisasi yang melaju dengan kencangnya di bawah kendali kolonialisme. Kalau kemudian terjadi benturan antara nilai-nilai yang lama dan yang baru, maka reaksi yang muncul ada dua: yang tradisional dan yang rasional-modern. Yang pertama berbentuk gerakan milenarian atau Ratu Adil, sementara yang terakhir berbentuk organisasi modern. Orang-orang yang menentang laju modernisasi dan kemudian memberontak sebagian dianggap sebagai orang-orang yang frustasi dan kecewa, dan sebagian juga karena manipulasi para kaum elitnya yang memperalat agama. Bahkan Sartono menyebut kalangan petnai masih terjerat oleh web of magic (jejaring magis), seperti jimat, jampi-jampi, ramalan-ramalan dan ilmu-ilmu kekebalan. [8

Demikian pula yang dilakukan misalnya Kuntowijoyo dalam studinya tentang Kiai Mahfud Sumalangu. Kiai Mahfud Sumalangu dari Kebumen adalah tokoh lasykar Hizbullah di era Revolusi yang memerangi pendudukan Belanda di Banyumas Selatan. Kemudian, Kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas usul Jenderal AH. Nasution. Antara lain berupa ketentuan bahwa komandan batalyon TNI haruslah berijazah. Dan ijazah itu hanya dibatasi pada keluaran atau lulusan beberapa lembaga pendidikan saja. Tidak termasuk pesantren. Kiai Mahfud pun tidak diperkenankan menjadi komandan batalyon di Purworejo. Sebagai gantinya, diangkat seorang perwira muda bernama Ahmad Yani, yang kemudian terkenal sebagai “pahlawan revolusi”. Akibatnya, kiai kita ini mendirikan Angkatan Oemat Islam (AOI) pada tahun 1950-an yang kemudian dinyatakan oleh Ahmad Yani sebagai “pemberontak”.[9]

Lalu, bagaimana kemudian Kuntowijoyo menulis kembali apa yang disebutnya “sejarah lokal’ itu? Dalam satu artikelnya, “Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan tentang Gerakan Islam Lokal 1945-1950”,[10] ia menulis demikian: 

“Tampak sekali bahwa sebagai gerakan Islam, AOI mengikuti pola kebudayaan santri pedesaan abad 19 – sesuatu yang “aneh” karena pada tahun 1950-an itu gerakan Islam lain cenderung bersifat urban, reformis, dan dinamis. [Catatan kaki] Bupati Purworejo menerangkan bahwa Kiai Mahfud tidak suka pada politik dan pada Masyumi. ... Bukan kebetulan jika semua anggota AOI di pedesaan Kebumen kini masuk NU.

Lebih dari segalanya, kasus AOI adalah suatu problem sosial. AOI bukan semata-mata badan kelasykaran, tapi suatu pergerakan sosial, lebih tepatnya suatu pergerakan sosial yang abortif, karena gagal mencapai sasaran pergerakannya. Dalam menyelesaikan problem sosial, yang sebagain anggota masyarakatnya memisahkan diri, sebaiknya diadakan sosialisasi. ... 

Kini tampak bahwa sudah saatnya ilmu-ilmu sosial mendapat perhatian untuk menyelesaikan problem-problem sosial seperti itu.”[11]

Sekali lagi, Kuntowijoyo – dengan intonasi yang lebih tegas -- melanjutkan semangat Sartono Kartodirdjo untuk melihat mentalitas masyarakat tradisional yang “terbelakang”. Suara dan gerakan perlawanan mereka bukan dianggap sebagai gerakan politik yang sebenarnya. Mereka disebut “pemberontak”, “gerakan yang gagal dan abortif”, “orang ndeso yang aneh”, dan “kaum NU yang budayanya berasal dari abad 19, yang jumud dan terbelakang”. Memang cukup aneh, para sejarawan melanjutkan tesis “kriminalisasi korban” yang dilakukan oleh para elit dalam sejarah.

Pandangan-pandangan “kriminalisasi” dan “modernisasi” seperti ini pula yang dipakai oleh Taufik Abdullah terhadap kelompok adat di Sumatera Barat.[12] dan juga Onghokham terhadap pelaku gerakan-gerakan rakyat di Jawa. Menurut Taufik Abdullah, perjumpaan suatu masyarakat dengan kekuatan luar yang lebih kuat menciptakan problem yang tidak pernah muncul sebelumnya. Ketidamampuan mengatasi tekanan dan desakan dari luar tersebut bisa membawa kepada sikap frustasi dan kekecewaan. Wujud paling nyata dari sikap tersebut, lanjut Taufik, adalah pemberontakan. Sementara respon positif dan sikap dewasa yang bisa diambil adalah dengan menyesuaikan dari dengan tekanan luar itu, dan dari situlah lahir modernisasi. 

Sementara dalam analisis Onghokham, kalau penduduk pedesaan tidak dapat menerima atau tidak mau menerima keadaan kolonial, maka mereka mencari jalan keluar. Yakni melalui gerakan-gerakan seperti saminisme, agama Dul, Jawadwipa, dan lain-lain, gerakan-gerakan “perdukunan” yang sifatnya magis dan selalu setengah rahasia dan setengah memberontak terhadap konvensionalisme masyarakat. Jalan lain adalah menjadi perampok. Saluran lainnya lebih elitis, yakni melalui organisasi-organisasi modern, melalui pergerakan nasional.[13] Dan bukanlah disengaja kalau Onghokham mengelompokkan ke dalam satu gerbong gerakan-gerakan “saminisme, agama Dul, Jawadwipa, perdukunan, yang magis dan setengah rahasia” ini dengan aksi-aksi kriminal. 

Apa yang ditulis Onghokham ini mewakili imajinasi yang muncul di kalangan elit-nasionalis tentang kriminalisasi serupa yang diperkenalkan oleh kalangan cerdik-cendekia kolonialis Belanda. Mereka dianggap berbahaya bukan cuma karena bersifat rahasia, bergerak di bawah tanah dan berpotensi memberontak. Tetapi juga karena keyakinan mereka yang berbau magis dan takhayul, seperti perdukunan yang memungkinkan pergerakan mereka sulit dikendalikan dan dikontrol. Imajinasi kalangan nasionalis tentang pengkriminalisasian kelompok-kelompok inilah yang mengarahkan bentuk-bentuk pengawasan dan kontrol terhadap kelompok subaltern.

Dengan demikian, pada analisa akhir, pengenalan ilmu-ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia, hanya memungkinkan “suara luar” berbicara, yang kemudian diinternalisasi oleh sejarawan Indonesia yang menulis sejarah bangsa mereka sendiri. Dalam bahasa Homi Bhabha, apa yang dilakukan Sartono, Kuntowijoyo, Taufik Abdullah dan Onghokham adalah sebuah “internalisasion of the other as the self”.[14] Mereka mencari sesuatu yang modern dalam sejarah Indonesia, tapi “yang modern” itu justru dipaksakan dari luar. Mereka mencari sesuatu “yang meng-Indonesia” dalam sejarah, tapi justru pencarian identitas nasional semacam itu didikte dari desain global ilmu-ilmu sosial Amerika. Mereka mencari suara-suara “orang bawah” dalam sejarah Tanah Air, tapi mereka diarahkan dari luar untuk mengarahkan suara bawah itu mengikuti arus modernisasi untuk bisa bersuara dengan sebenarnya.

Itulah yang menjadi keberatan para penulis Subaltern Studies, dan sejumlah kalangan pengkritik Poskolonial. Dalam pandangan mereka, historiografi semacam itu hanya merupakan kelanjutan dari historiografi nasionalis-elit maupun dari kaum borjuis-kolonial. Suara subaltern diangkat, tapi tidak lagi otonom, dengan segenap kesadaran mereka sendiri. Kalangan petani diceritakan, tapi diarahkan hanya merupakan perpanjangan dari manipulasi kalangan elit agama kharismatik. Siasat-siasat dan strategi politik mereka dikriminalisasi sebagai “pemberontakan”. Politik mereka dianggap bukan “politik sebenarnya”, alias pra-politik (pre-political) atau primitif (Sartono misalnya mengikuti analisis Hobsbawm tentang “primitive rebellion”). Akibatnya, dengan mengikuti paradgma ilmu-iomu sosial modernis, segenap kesadaran, pandangan dunia dan paham keagamaan para petani hanya dinilai sebagai cerminan dari mentalitas masyarakat tradisional yang terbelakang (backward).

Dengan kata lain, perkenalan pendekatan dan konsep-konsep ilmu-ilmu sosial itu tidak terlepas dari cara atau proses bagaimana ilmu-ilmu sosial Amerika itu diperkenalkan ke Asia tenggara. Artinya, yang diperkenalkan oleh para sejarawan Indonesia di atas jelas bukanlah ilmu-ilmu sosial kritis, tapi justru ilmu-ilmu sosial yang fungsional. Yakni, yang mengemban misi “memperadabkan bangsa-bangsa Timur”, dan juga untuk melapangkan jalan kapital masuk ke negara mereka. Dalam konteks bangsa kita, masuknya Freeport dan perusahaan-perushaan multinasional di akhir 1960-an, bersamaan dengan masuknya ilmu-ilmu sosial “baru” yang berorientasi pada “pembangunan mentalitas” dan penekana pada pentingnya “etos kerja, enterpreneurship dan prestasi”. 

Lebih jauh, seperti kita lihat dalam analisis Noam Chomsky, masuknya ilmu-ilmu sosial semacam itu juga ditandai dari munculnya Perang Vietnam era 1960-an, dimana para petani dan masyarakat pedesaan menjadi aktor perlawanan terhadap invasi Amerika. Waktu itu, di kalangan akedemik Amerika muncul kesadaran akan pentingnya menjinakkan para petani, kalau perlu melumpuhkan basis politik mereka, dengan membuatnya menjadi “citizen” atau “kelas pekerja”. Maka muncullah jurnal Asian Survey di tahun 1967 yang mengambil tema “Social Science and Vietnam”. Pengalaman AS dengan Vietnam sudah begitu kaya, sehingga bisa dikatakan Vietnam sebagai “laboratorium” atau “situs tes” ilmu-ilmu sosial modernis. Dan, sejak itu, ilmu-ilmu sosial Amerika masuk ke Asia Tenggara, dengan misi khusus menghabisi kalangan petani, serta untuk menggelar proyek urbanisasi dengan pengembangan kota-kota dan pembangunan mentalitas individual yang berorientasi kerja dan prestasi.[15

Lalu, petani? Ya, akan dianggap bukan pekerjaan yang punya masa depan. Dan pertanian akan menjadi korban pertama dari proyek modernisasi padat kapital yang digelar oleh negara. Dan anak-anak mudanya pun akan terbawa kepada sebuah cita-cita baru untuk menjadi kelas menengah urban yang nantinya ilmu-ilmu politik Amerika akan melabeli mereka sebagai “motor penggerak demokrasi” di Dunia Ketiga. 

Sejak rezim Orde Baru Suharto berkuasa, proyek modernisasi menjadi kata kunci. Masyarakat harus berubah, seiring dengan perlunya masyarakat meninggalkan ikatan tradisional menuju kepada satu bentuk masyarakat baru. Masyarakat baru itu dicita-citakan sebagai masyarakat modern, masyarakat industrial. Masyarakat agraris ditampik karena katanya tidak pas untuk kemajuan bangsa yang ingin “tinggal landas”.

Berbagai jenis kepercayaan masyarakat yang terkait dengan kultur agraris ini pun kemudian harus dirombak. Termasuk berbagai kepercayaan kalangan masyarakat desa, para petani dan orang-orang kampung. Apalagi trauma masa lalu muncul di situ, dengan PKI sebagai simbol besarnya. Dan dari sinilah pentingnya Clifford Geertz, Robert Jay, hingga William Liddle dan Robert Hefner untuk melapangkan jalan kapital masuk ke Indonesia.[16

Tentang pengaruh Geertz dan ilmu-ilmu sosial ini dalam penulisan sejarah Indonesia, lihat misalnya studi Arbi Sanit tentang sejarah petani dan hubungannya dengan PKI. Arbi Sanit banyak mengutip pandangan Geertz, terutama yang berkaitan dengan dikotomi santri-abangan. Mengapa PKI? “Karena PKI mempergunakan faktor tradisi dan agama masyarakat desa yang sifatnya tidak rasional sebagai saluran pengaruh,” demikian kesimpulan penelitian dan juga skripsi Arbi Sanit di tahun 1970-an atas anjuran Herbert Feith, “maka akibatnya secara disadari atau tidak PKI memelihara unsur tradisionalisme dalam masyarakat desa. Lihatlah bagaimana caranya PKI menyalurkan pengaruh melalui dukun, guru-guru kebatinan, dan sebagainya”.[17

Lalu, bagaimana kemudian menghadapinya? Ada dua strategi, penciptaan ketegangan dan sekolahisasi, seperti ditunjukkan dalam rekomendasi penelitian Arbi Sanit itu: 

Berkenaan dengan perubahan masyarakat desa, perpecahan agama dapat pula menjadi saluran; sejauh kecenderungan yang mengarah kepada terganggunya kestabilan masyarakat secara keseluruhan dapat dikuasai. Untuk itu hendaknya diciptakan suatu persaingan yang sehat dan dapat diambil manfaatnya di antara variasi keagamaan masyarakat desa [yakni antara santri dan abangan – AB].

Sebenarnya investasi di bidang pendidikan adalah jalan yang lebih rasional, sekiranya stabilitas masyarakat desa yang dikehendaki adalah stabilitas yang dapat menampung perubahan. Sebab melalui pendidikan, cara berpikir dapat dirubah dan diperluas, hingga menjadi rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.

Juga pendidikan merupakan cara terbaik untuk melatih petani memutuskan segala sesuatu dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Apabila ini tercapai barulah demokrasi dengan sistem pilihan dan kemungkinan di desa-desa ditegakkan.[18]

Tentu PKI sudah habis, jadi tidak diperlukan adanya strategi untuk menyekolahkan sebanyak-banyaknya orang-orang PKI atau menciptakan ketegangan sebanyak-banyak dalam tubuh PKI.

Tapi sekarang sasarannya kini adalah pada orang-orang atau kelompok yang “mempergunakan faktor tradisi dan agama masyarakat desa yang sifatnya tidak rasional sebagai saluran pengaruh,” orang-orang yang “memelihara unsur tradisionalisme dalam masyarakat desa”, dan “yang menyalurkan pengaruh melalui dukun, guru-guru kebatinan, dan sebagainya”. 

Historiografi Indonesia dan Pendekatan Poskolonial 
Lalu bagaimana suara dan kesadaran subaltern yang otonom itu? Bagaimana politiknya? Dalam pendekatan Subaltern Studies dan Studi Poskolonial ini, suara-suara marjinal diangkat kembali untuk merepresentasikan sesuatu yang sifatnya kontestasi. Ia hadir untuk menggugat otoritas politik dan keilmuan wacana imperial tentang identitas, budaya dan masyarakat. Historiografi kolonial dan historiografi nasional pun digugat dalam konteks ini.

Ini seperti dirangkum oleh Homi Bhabha: 
“Postcolonial criticism bears witness to the unequal and uneven forces of cultural representation involved in the contest for political and social authority within the modern world order. Postcolonial perspectives emerge from the colonial testimony of Third World countries and the discourses of ‘minorities’ within the geopolitical divisions of East and West, North and South. They intervene in those ideological discourses of modernity that attempt to give a hegemonic ‘normality’ to the uneven development and the differential, often diadvantaged, histories of nations, races, communities, peoples. They formulate their critical revisions around issues of cultural difference, social authority, and political discrimination in order to reveal the antagonistic and ambivalent moments within the ‘rationalizations’ of modernity. To bend Jurgen Habermas to our purposes, we could also argue that the postcolonial project, at the most general theoritical level, seeks to explore those social pathologies – ‘loss of meaning, conditions of anomie’ – that no longer simply ‘cluster around class antagonism, [but] break up into widely scattered historical contigencies’ ...

The postcolonial perspective ... departs from the traditions of the sociology of underdevelopment or ‘dependency theroy’. As a mode of analysis, it attempts to revise those nationalist or ‘nativist’ pedagogies that set up the relation of Third World and First World in a binary structure of oppositional. The postcolonial perspective resists the attempts at holistic forms of social explanation. It forces a recognition of the most complex cultural and political boundaries that exist on the cusp of these often opposed political spheres.”[19]

Itulah sebabnya cara-cara kerja Studi Poskolonial mirip yang dilakukan dalam studi dan analisis wacana atau kajian kesastraan. Istilahnya cara ber-“naratologi”-nya menjadi alternatif dalam penulisan sejarah atau historiografi. Yang mereka pentingkan dalam penulisan sejarah adalah plot, karakter, otoritas, bahasa, suara dan masa. Itu sbebanya mereka sering menggunakan cara-cara kerja naratologi strukturalis, semiologi Barthesian, dan analisis wacana Foucaldian. “The narrative in the document violates the actual sequence of what happened in order to conform to the logic of legal intervention which made death into a murder, a caring sister to a murderess, all the actants in this tragedy into defendants, and what they said in a state of grief into ekrars [depositions]”, tulis Ranajit Guha.[20

Naratologi Poskolonial seperti ini pernah diperkenalkan oleh Budi Santoso dari Realino dalam penulisan sejarah. Demikian pula, terlepas dari beberapa kekurangannya, esai-esai Melani Budianta dan Manneke Budiman tentang nasib orang-orang kecil dalam Republik. Buku saya, Islam Pasca Kolonial (2005), merupakan rintisan baru dalam historiografi Indonesia. Meski perlu dilanjutkan lagi dengan studi-studi yang lebih mendalam, buku ini mengangkat suara-suara terpendam dalam historiografi Indonesia yang selama ini didominasi oleh sejarah elit, sejarah militer atau sejarah kelompok-kelompok dominan dan terpelajar. Soalnya, yang bisa bersuara dan memberi warna atas segenap derap langkah sejarah hanyalah orang-orang yang punya akses dengan alat-alat produksi pen-suara-an itu. Posisi dan status sosial, kekuatan finansial, kemampuan tulis-menulis dan akses ke media, serta punya organisasi yang diizinkan untuk hidup. Mereka inilah yang punya identitas jelas dan namanya ditulis dalam sejarah. Di luar itu, yang ada hanyalah sebutan-sebutan seperti “massa”, “petani”, “pemberontak”, “perusuh”, atau “kelompok sesat dan bid’ah”.

Pendekatan Studi Poskolonial ini mengambil contoh seorang Jawa dari abad 19 yang berkeliling ke Eropa dan meneliti kebudayaan masyarakat sana dengan asumsi-asumsi ke-Jawa-annya. Artinya, orang Jawa ini muncul sebagai kebalikan dari para etnolog Eropa yang datang ke dunia Timur, dan menerapkan teorinya untuk meneliti masyarakat Timur yang dianggap primitif dan tidak beradab. Tapi legitimasi pengetahuan pribumi itu langsung dirontokkan oleh C. Snouck Hurgronje: “ia adalah orang awam di bidang sejarah, kurang pengetahuan atau kurang kemauan”.

Dalam perspektif seperti ini, sejarah berarti kritik. Sejarah bukanlah repliaksi atu pengualangan membabi-buta atas obyek-obyek, ideologi-ideologi maupun argumen-argumen kolonialis. Dengan sejarah sebagai kritik ini, studi Poskolonial berupaya menyelamatkan suara-suara pribumi yang tertekan, dari sejarah kolonial, dan untuk merambah wawasan-wawasan baru dalam historiografi yang baru, bukan hanya untuk ke masa lalu, tapi juga kepada perkara kelemahan mendasar masyarakat pribumi yang membuatnya begitu lama rentan dengan skema-skema luar ilmu-ilmu sosial, seperti yang dialami Kiai Mahfud Somalangu dan para petani Banten di atas.

“Coba Anda bayangkan, seorang Jawa yang pandai, yang ingin tahu dan hendak mempelajari pengaruh agama Kristen terhadap peradaban Eropa dan pergi menjelajahi Eropa dengan membawa Kitab Perjanjian baru dan beberapa buku tentang agama. Di sini ia menjumpai orang-orang Kristen membungkuk-bungkuk di hadapan patung-patung kayu dan batu yang menganggap Kitab Suci sebagai buku terlarang; di sana ia melihat orang-orang lain, yang mengakui firman Tuhan adalah petunjuk tunggal bagi agama, tetapi kebanyakan di antara mereka kurang berpengetahuan tentang isi Wahyu dibandingkan orang Jawa tadi. ... Kebodohan terdapat dimana-mana; kepercayaan dan perbuatan takhayul ada di banyak tempat sesuai dengan keadaan negerinya. Kesimpulan akhir dari penyelidik Jawa tadi ialah: agama Kristen menyelubungi masyarakat Eropa bagaikan selimut resi, selimut yang, oh! penuh dengan lubang, yang memperlihatkan pemujaan berhala kuno dengan gamblang. Kesimpulan demikian dapat dipahami, karena orang Jawa itu, betapapun ia berusaha ingin tahu, adalah orang baru atau orang awam di bidang sejarah. [Dalam catatan kaki] ... yang silau oleh kekurangan pengetahuan atau oleh kurangnya kemauan.”[21]

Kutipan di atas berasal dari C. Snouck Hurgronje, ahli kajian Islam asal Belanda. Ditulis pada 1883, enam tahun sebelum diutus ke Batavia sebagai penasehat urusan keagamaan dalam birokrasi kolonial Hindia Belanda. Tulisan Snouck ini menggambarkan situasi ketimpangan dalam relasi antara penjajah dan yang dijajah. Barat berhak menduduki dan mengkolonisasi Timur atas nama misi pemberadaban penduduk (civilizing mission). Barat dianggap sebagai produsen pengetahuan. Sedangkan Timur sebagai obyek atau konsumen pengetahuan. Dan instrumen efektif untuk kolonisasi itu adalah disiplin ilmu etnologi.

Etnologi ini merupakan rangkuman dari sekian tesis ilmu pengetahuan tentang budaya dan masyarakat orang-orang yang dianggap Timur. Asumsinya, orang Timur belum mencapai tahap kedewasaan, dan belum mengenal tahap perkembangan sejarah seperti dimiliki Barat. Etnologi memungkinkan Timur dihadirkan sebagai sesuatu yang eksotik, yang dieprtahnakna dalam kondisi masa lalunya.

Snouck punya kerisauan sendiri, bagaimana seandainya orang-orang Timur punya pengetahuan etnologi dan menerapkannya ke dalam masyarakat Eropa? Artinya, sebagai kebalikan dari para etnolog Eropa yang datang ke dunia Timur, dan menerapkan teorinya untuk meneliti masyarakat Barat yang dianggap primitif dan tidak beradab? Tentu kesimpulan pengetahuan pribumi ini bisa merontokkan supremasi peradaban Barat. Perhatikan kesimpulannya seperti dibaca Snouck: bahwa orang-orang Eropa membungkuk-bungkuk di hadapan patung-patung kayu dan batu, bahwa kebodohan dan takhayul ada dimana-mana, pemujaan berhala kuno tersebar dimana-mana. Snouck Hurgronje dengan kuasa pengetahuan resmi yang dimilikinya segera menangkal kesimpulan itu bahwa pengetahuan etnografi orang Timur itu adalah hasil pengetahuan “orang baru atau orang awam di bidang sejarah, kurang pengetahuan atau kurang kemauan”. 

Mengapa Snouck menyangkal dengan cara seperti itu, dan tidak menganggapnya sebagai “pengetahuan tandingan” atau “wacana alternatif” terhadap hegemoni pengetahuan Barat? Soalnya, bagi Snouck, konklusi dari pengetahuan pribumi itu sangat berbahaya bagi misi pemberadaban Barat yang membenarkan kolonialisme atas dunia Timur. Segenap pembenaran dan legitimasi kehadiran Barat mengkolonisasi Timur itu dengan sendirinya akan rontok. Sehingga dilihat mengancam dan berbahaya, serta mengganggu stabilitas hirarkis rasial dan pengetahuan antara penjajah dan yang dijajah, antara Barat dan Timur. Maka, wajar, penilaian Snouck atas pengetahuan pribumi itu mencerminkan satu stereotype Orientalis tentang Timur yang tidak dewasa dan kekanak-kanakan. Sehingga mereka dianggap tidak mampu mencapai derajat obyektifitas. Wajar kemudian kalau Fanon, menyatakan bahwa obyektifitas selalu diarahkan untuk menghadang penduduk pribumi (for the native, objectivity is always directed against him).[22

Sampai di sini, saya akan bertanya kemudian, seperti halnya cara Gayatri Spivak bertanya, “Apakah komunitas subaltern bisa berbicara dalam sejarah panjang kolonialisme Belanda di Hindia? Tumpukan data, dokumen, arsip dan literatur tentang kolonialisme Belanda sungguh luar biasa, setinggi Pegunungan Himalaya, bahkan bisa jadi dua kali lipat. Mulai dari data dan laporan resmi pemerintah, tulisan dan laporan pejabat dan para sarjana, liputan media cetak hingga catatan-catatan pribadi pejabat kolonial maupun pribumi. Yang tidak tampak hanyalah suara-suara dari komunitas yang selama ini menjadi obyek atau target hukum, kontrol sosial maupun pengawasan politik dan keagamaan. Seperti suara-suara komunitas petani dan para haji yang ikut dan terlibat dalam Peristiwa Banten 1888. 

Peristiwa ini punya dampak luas bagi manajemen politik dan kekuasaan kolonial di Jawa sejak akhir abad 19 dan awal abad 20 yang hingga kini masih terasa efeknya. Sejumlah penelitian dan penyelidikan untuk mengenal lebih jauh sebab-sebab dan latar belakang peristiwa tersebut, sudah dilakukan oleh pejabat kolonial kala itu, maupun oleh para peneliti dan sarjana yang muncul belakangan. Semuanya ingin mengungkap dengan jelas dan tepat sasaran motif-motif di balik kasus itu. Namun, yang mereka peroleh hanyalah laporan kesaksian para pelaku dan saksi dalam pengadilan. Studi ekstensif yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo hanya bisa mengungkap data kesaksian itu dari versi resmi yang dikeluarkan pemerintah kolonial di Batavia. Selebihnya, gelap gulita. Memang ada yang berupaya melacak dan menangkap motif tersebut pada faktor tunggal, yakni agama. Ini biasanya versi pemerintah. Yang lain merujuk kepada faktor ekonomi. 

Dan juga ada yang mengambil kedua-duanya (mungkin dianggap aman dan lebih obyektif). Dalam kondisi serba gelap dan tidak pasti itu, kita lihat sejumlah pendekatan dan penyelesaian atas kasus itu sudah diajukan, misalnya untuk menghindari supaya tidak terjadi kasus serupa. Namun, relasi antara sebab dan efek yang ditimbulkan sudah tidak bertemu; dan memang kayaknya dalam logika kolonial dibayangkan tidak perlu ketemu. Memoar atau tulisan kenang-kenangan yang ditulis mantan bupati Serang di Banten, Pangeran Aria Djajadiningrat, menunjukkan hal itu.[23] Sebutan “pemberontak” dan “perusuh” kerap menghiasi pandangannya tentang para pelaku dalam Peristiwa Banten. Hal serupa bisa ditunjukkan di masa sekarang. Kasus Haur Koneng dibaca sebagai tndaka pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok aliran sesat; demikian pula, pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah di Aceh dibaca dan dibenarkan di antaranya karena yang bersangkutan dinilai mengajarkan paham sesat dan mengedarkan ganja.[24] (Seakan ganja dan aliran sesat adalah identik!!).

Kasus orang Jawa yang melakukan studi etnografi di Eropah di masa kolonial ini menunjukkan pentingnya Studi Poskolonial dilakukan dari sisi subyektivitas subaltern. Ini supaya tidak terjebak ke dalam asumsi-asumsi ilmu-ilmu sosial modernis. Studi saya dalam Islam Pasca-Kolonial, berusaha untuk menunjukkan bagaimana suara-suara subaltern itu berlangsung tidak melalui jalur “resmi” pengetahuan kolonial-modernis. Seperti dalam kasus petani Banten. 

Ada komunikasi yang berlangsung secara gelap dan rahasia di antara penduduk pribumi. Dan jimat merupakan salah satu instrumennya. Tetapi yang mengefektifkan komunikasi semacam ini adalah rumor. Berkat rumor, mobilisasi dimungkinkan. Seperti halnya jimat dan tulisan-tulisan simbolik, rumor tidak memiliki penutur tetap, dan tidak pula mewakili kesadaran orang atau kolekif tertentu yang dianggap otentik. Ia bisa berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya tanpa kejelasan perumus awal atau pemicu aslinya. Rumor memperoleh otoritasnya bukan karena ada yang mengatakannya pertama kali sehingga dipercaya, tetapi justru karena rumor itu didengar, atau diperdengarkan. Rumor menarik sejumlah “kader”-nya karena ia menjadi milik semua orang yang mendengar, membaca dan mengedarkannya, tanpa kejelasan sumber yang dianggap dipercaya. Seperti jimat, gosip bernilai dan bermakna dari partisipasinya dalam struktur penulisan yang illegitimate, seperti halnya etnografi bermakna karena didukung oleh hukum penulisan yang sah. Etnografi masuk ke dalam dokumen resmi negara, dan menjadi sumber penulisan sejarah, maka rumor karena ia illegitimate  masuk ke dalam sejarah petani disebut “sejarah lisan”  ke dalam sejarah kriminal, pemberontakan, insurgency. 

Maka, bisa dipastikan apa gerangan yang akan terjadi, ketika masyarakat Banten mendengar rumor “Syekh Nawawi dibunuh oleh pihak Belanda” misalnya? Sekali lagi, seperti dalam soal jimat dan tulisan-tulisan simbolik lainnya, Snouck berupaya menempatkan rumor sebagaimana halnya orang berbicara, secara individual, sehingga bisa didakwa dan diadili. Dengan kata lain, ia memaksakan syarat-syarat pembicaraan atau perbincangan dalam pengertian sempit terhadap sesuatu yang mendasarkan kekuatannya dari partisipasi ke dalam tulisan -- dalam pengertian luas. Tetapi, yang terjadi kemudian, seperti halnya mengalami gagal tafsir atas jimat, primbon atau mujarobat, Snouck juga mengalami hal serupa: “saya sendiri tidak berhasil untuk sekadar memancing pengetahuan tentang desas-desus itu”. Dalam kutipan surat nasehatnya di atas, Snouck kerap menyebut “salah paham”, “kekeliruan”, dan “takut” terhadap penduduk. Ini ibarat makin besar harapan untuk mendisiplinkan dan normalisasi, makin besar pula tingkat “salah paham”, “kekeliruan”, dan bahkan “ketakutan” itu.

Inilah yang dihadapi Sartono Kartodirdjo. Ia hanya mengandalkan sumber-sumber Belanda untuk mengungkap kasus itu, hanya satu kesaksian pelaku yang bisa diperoleh secara lebih detil. Tampaknya hal itu sudah melalui proses interogasi, pemeriksaan ketat, hingga proses editing sebelum menjadi laporan resmi Direktur Departemen Dalam Negeri tanggal 18 September 1888.[25

Akhmad dari Beji [Cilegon]: Ketika pada tanggal 10 bulan Syawal – 19 Juni 1888 – saya melihat orang-orang dari Medang Batu dan desa-desa lainnya datang berkunjung ke Haji Wasid, saya mendengar bahwa haji itu bermaksud untuk memulai perang sabil; lalu saya menanyakan kebenaran desas-desus itu, dan Haji Wasid sendiri membenarkannya dengan mengatakan bahwa sejumlah besar orang telah memutuskan untuk melancarkan pemberontakan dengan alasan-alasan sebagai berikut; 
  1. ada dua pejabat di Cilegon, yakni Patih dan Jaksa yang sejalan dengan orang-orang Belanda dan tidak mau membiarkan orang-orang Msulim untuk pergi ke mesjid untuk sembahyang, dan yang oleh karenanya bersekongkol untuk menghapuskan agama rakyat; 
  2. Patih telah sangat menaikkan pajak perahu, sehingga orang harus membayar pajak usaha sebesar empatpuluh gulden untuk setiap perahu; lalu orang-orang mengajukan permohonan kepada bupati serang, akan tetapi ia menyuruh orang-orang itu menyampaikan permohonan mereka kepada Patih, sehingga hasilnya pajak itu tidak diturunkan; 
  3. sebab-sebab utama kerusuhan belum diketahui dengan pasti; akan tetapi saya mendengar bahwa sebab-sebab itu mencakup beban pajak yang berat, terutama pajak usaha; 
  4. penjaga-penjaga gardu yang tidak melakukan tugas mereka dengan baik, dihukum berat; 
  5. pejabat-pejabat pribumi menggunakan terlalu banyak mata-mata,yang selalu mencar-cari pelanggaran undang-undang yang paling kecil sekalipun; 
  6. rakyat biasa sakit hati oleh karena mereka mendapat perlakuan buruk; terutama Patih dan Jaksa sangat dibenci. 
Selain dari itu, setelah pemberontakan pecah, ketika pemimpin-pemimpin pemberontak masih berkeliaran di daerah Gunung Gede, Haji Wasid mengusulkan kepada pasukan pemberontak agar salah seorang dari mereka mengirimkan petisi kepada pihak berwajib di Cilegon, dengan menyebutkan sebab-sebab kerusuhan, dengan memberikan tekanan khusus kepada perasaan benci terhadap Patih dan Jaksa serta hasrat untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap kedua orang itu, yang menunjukkan sikap permusuhan terhadap agama Islam...”

Ini adalah satu bentuk kesaksian petani Banten yang bisa dikatakan sepenuhnya invensi atau konstruksi. Ini adalah bahasa kesaksian yang membuat apa yang (tidak)terpikirkan dalam kesadaran petani bisa diketahui, membuat ranah makna terketahui (knowable) dalam lingkup makna pemerintah kolonial – termasuk dalam horison pemaknaan para sejarawan seperti Sartono. Meski dikatakan “sebab-sebab utama kerusuhan belum diketahui dengan pasti”, tetapi toh ia tetap dianggap sebagai saksi yang kesaksiannya dicatat dalam dokumen negara karena kalimat berikut menyatakan “Akan tetapi saya mendengar ...”. 

Sebuah kesadaran subaltern jadinya dirasionalisasi dari dasar fondasi yang tidak stabil, gampang goyah. Ini bukan hanya menunjukkan kekuatan rumor seperti dikemukakan di atas, tetapi juga soal bagaimana bahasa lisan itu didisiplinkan menjadi bahasa (yang) akan ditulis. Alias menjadi bahasa birokrasi. Peletup atau insinuasi dibahasakan menjadi bahasa “propaganda”; petani yang unjuk rasa dan menuntut hak-haknya disebut “perusuh”. Kita lihat, pernyataan saksi ini tersusun rapi; alasan-alasan dan motifnya dikemukakan secara detil dan jelas. Sebagaimana yang berlaku dalam disiplin tulisan. 

Dan tulisan bukan cuma mendisiplinkan apa yang (tidak)diungkap secara lisan, tetapi juga mengarahkan – sesuai dengan kehendak yang punya kuasa dalam hukum-hukum tulis-menulis itu, seperti halnya tulisan etnolog. Kesaksiannya menunjuk kepada dua orang, yang dikatakan sebagai terget pemicu kebencian para pelaku pemberontakan. Selain itu, agency (pelaku utama [petani], target pokok [negara]) pemberontakan dialamatkan kepada seorang pemimpin. Motif pun diungkap secara eksplisit: “perang sabil”, digerakkan oleh seorang haji, dan ditujukan kepada pihak-pihak yang “menunjukkan sikap permusuhan terhadap agama Islam”. Sementara faktor-faktor lainnya tampak sebagai pelengkap. 

Namun demikian, dari sekian faktor yang disebut itu, soalnya jadi agak ambigu. Masalahnya, apakah faktor ekonomi dulu, lalu faktor agama atau sebaliknya? Dengan kata lain, hubungan kausalitas pun diarahkan ke medium yang lain, dan dibuat terbalik: bukan karena adanya sebab yang membuat akibat, tetapi akibat-lah yang menggerakkan dan memunculkan satu sebab atau motif tertentu dari sekian “sebab-sebab utama ... [yang] belum ... pasti”. Coba simak, faktor keterbelakangan mental petani Banten, desain manipulatif para pemimpinnya, dan penggunaan agama sebagai obyek manipulasi untuk merebut kekuasaan, adalah atmosfer epistemologis yang menghidupkan dan menyelimuti konstruk kesaksian dan sebab itu.[26] Snouck – selaku etnolog-polisional –dalam berbagai kesempatan selalu menyebut faktor-faktor ini yang membuat mereka gampang dan mudah diperalat oleh “orang-orang gila hormat”, “kaum petualang”, “orang-orang serakah”, dan “gila kekuasaan”. 

Kata “fanatik” akhirnya menjadi pembenaran bagi penunggalan (atau mistifikasi?) sebab-sebab dan motif rasa tidak puas, protes dan pemberontakan kalangan pribumi. Dan penunggalan itu mengarah pada satu kata kunci agama, yakni “fanatik” sebagai catchword. Jadi bukan kelas, ekonomi, atau politik. Agama menjadi cara efektif membaca motif dan kesadaran penduduk pribumi. Dan kata “fanatik”, akhirnya, menjadi icon, semacam “kesadaran transendental”, sebuah “voice-consciousness”. Dengan simpul-simpulnya ini, segenap ide, pikiran dan tindakan penduduk pribumi terbaca secara transfaran, dan bisa pula diperdengarkan.

Dengan kata lain, problematik menafsirkan bahasa simbolik dan komunikasi rahasia seperti ditunjukkan dalam jimat dan buku-buku primbon dan mujarobat ini, diselesaikan pada tataran epistemologis, dalam konstruk bahasa “fanatik”. Problem pelik mengungkap kesadaran subaltern dalam memberontak, “diakalin” dalam satu kata pamungkas, fanatik. Dalam spektrum pemaknaan monopolistik ala kolonial ini, sejarawan hanya mampu mengungkap kesadaran itu melalui optik seperti ini. Meski sejumlah faktor lain disebut, tetapi semuanya hanya bermakna ketika faktor pamungkas ini disebut, ditata dan dirapikan dalam hirarki bahasa kolonial. 

Berbeda dengan pendekatan negara-negara liberal di Eropa yang melihat penduduknya dalam kategori-kategori kelas atau sosial-ekonomi, dengan icon “fanatik” ini, Belanda tampak sedang menutupi kegagalannya dalam berkomunikasi dengan pribumi. Kompensasi itu dimungkinkan dengan sejumlah argumen rasional dari para etnolog yang berkeliaran di tanah Hindia Belanda saat itu. Kesimpulan mereka tentang “ciri khas ketimuran orang-orang Hindia” memang mendukung tesis tentang kefanatikan ini. Bahwa penduduk pedesaan, dimana gerakan-gerakan tarekat tumbuh subur, sangat kuat terikat dengan kultur keagamaannya, dan juga dengan adatnya yang penuh mistik, takhayul dan khurafat. 

SUMBER / CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS :
  • [1] Gayatri Chakravorty Spivak, “Subaltern Studies: Deconstructing Historiography”, dalam Ranajit Guha dan Gayatri Chakravorty Spivak (eds.), Selected Subaltern Studies (New York & Oxford: Oxford University Press, 1988), hal. 3-32. Guha, Ranajit, “The Prose of Counter-Insurgency”, dalam Guha dan Spivak (eds.), Selected Subaltern Studies (New York & Oxford: Oxford University Press, 1988).
  • [2] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 3.
  • [3] Ibid., hal. 2.
  • [4] Ibid., hal. 1. 
  • [5] E.E. Evans-Pritchard, Anthropology and History (Manchester, 1961).
  • [6] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (terj. Hasan Basari) (Jakarta: Pustaka, 1984), hal. 25-26.
  • [7] Ibid., hal. 15.
  • [8] Lihat Sartono Kartodirdjo, “Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development”, dalam Claire Holt (editor), Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal. 71-125.
  • [9] Lihat Abdurrahman Wahid, “Keadilan dan Rekonsiliasi”, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 153-154.
  • [10] Kuntowijoyo, “Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan tentang Gerakan Islam Lokal 1945-1950”, dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 103-122.
  • [11] Ibid., hal. 122.
  • [12] Lihat misalnya Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades of the Twentieth Century”, dalam Claire Holt (editor), Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal. 179-245. 
  • [13] Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1989), cet. 2, hal. 52.
  • [14] Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London & New York: Routledge, 1994). Di sini Bhabha mengikuti diktum lacan yang sangat terkenal: “man’s desire is the desire of the Other”. 
  • [15] Noam Chomsky, American Power and the New Mandarins (New York: New Press, 2002).
  • [16] Tentang nasib petani ini dalam ilmu-ilmu sosial Amerika, lihat misalnya Victor T. King dan William D. Wilder, The Modern Anthropology of Southeast Asia: An Introduction (London & New York: Routledge, 2003). Untuk konteks India, lihat misalnya buku salah seorang pentolan Subaltern Studies, Dipesh Chakrabarty, Habitations of Modernity: Essays in the Wake of Subaltern Studies (Chicago & London: The University of Chicago Press, 2002).
  • [17] Arbi Sanit, Badai Revolusi: Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 234.
  • [18] Ibid., hal. 235.
  • [19] Homi K. Bhabha, The Location of Culture, hal. 245-246, dan 248. 
  • [20] Ranajit Guha, “Chandra’s Death”, sebagaimana dikutip dalam Priyamvada Gopal, “Reading Subaltern History”, dalam Neil Lazarus (editor), The Cambridge Companion to Postcolonial Literary Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hal. 140. 
  • [21] C. Snouck Hurgronje, “Arti Agama Islam bagi Para Penganutnya di Hindia Belanda (1883)”, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, vol. VII, hal. 20-21 [huruf miring dari AB].
  • [22] Frantz Fanon, The Wretched of the Earth (New York: Grove Press, 1968), hal. 77.
  • [23] Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (Jakarta: Paguyuban Keturunan P.A. Achmad Djajadiningrat, 1996). 
  • [24] Lihat Dyah Rahmany P., Matinya Bantaqiah: Menguak Tragedi Beutong Ateuh (Jakarta: Cordova, ICCO, & LSPP, 2001). 
  • [25] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten, hal. 475.
  • [26] Saya menimba inspirasi dari Ranajit Guha yang membaca laporan-laporan kolonial Inggris tentang motif pemberontakan petani di India era kolonial. Lihat Ranajit Guha, “The Prose of Counter-Insurgency”, dalam Guha dan Spivak (eds.), Selected Subaltern Studies, hal. 45-86.

Perintah Membaca (Iqra) Dalam Islam

Perintah Membaca (Iqra) Dalam Islam 
A. Perintah Membaca (Iqra’)
Wahyu turun untuk pertamakali dan membuka wahyu-wahyu yang lain adalah perintah membaca. Secara idiologis wahyu perintah membaca menjadi falsafah dasar. Falsafah berasal dari bahasa Arab. Padanan dalam bahasa Indonesia diucapkan filsafat. Kata ini berasal dari bahasa Yunani philos yang berarti cinta dan sophos yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Yang dimaksud kebijaksanaan di sini adalah kebenaran. Artinya, filsafat adalah cinta kebenaran. Orang yang cinta kebenaran disebut filosof. Ketika kata ‘falsafah’ dirangkai dengan kata ‘dasar’dan menjadi ungkapan ‘falsafah dasar’, kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran dasar, yaitu kebenaran yang tidak perlu dibuktikan (untestable trust) karena sudah demikian jelasnya, tidak bisa diingkari lagi seperti ‘sebagian lebih kecil daripada keseluruhan’; permulaan segala sesuatu adalah Yang Ada Yang sekaligus Esa, semua berasal dari Yang Esa, dan tidak mungkin dari kekosongan’.

Alquran sebagai sesuatu yang benar bagi setiap orang Islam adalah sesuatu yang benar mutlak, tanpa tawar, harga mati, dan tidak ada keraguan. Dengan demikian, kebenaran Alquran tidak perlu diuji (untestable - Muslim A.Kadir, 2003 : 5,10). Karena kebenaran Alquran tidak perlu diuji, bahkan tidak dapat diuji, maka sikap setiap muslim terhadap Alquran adalah beriman kepadanya. Iman berbeda dari percaya. Kepercayaan tidak meniscayakan konsekuensi eskatologis seperti dosa, siksa kubur, atau siksa neraka atau yang sejenisnya, iman mengandung hal itu. Orang tidak beriman sesuai ajaran Alquran akan mendapatkan siksa kubur maupun siksa akhirat. Di dunia, orang yang tidak beriman dikategorikan kafir (ateis) atau yang sejenisnya. Dengan demikian yang dimaksud ungkapan ‘falsafah dasar iqra’ adalah setiap orang Islam mesti beriman secara penuh tanpa ada ruang sekecil apapun keraguan bahwa ia harus membaca, sebagai respon terhadap perintah membaca: ‘iqra’ (bacalah). Kebenaran perintah membaca didasarkan pada iman. Implikasi lebih lanjut, bagi yang mau membaca berarti beriman, dan bagi yang tidak membaca berarti tidak beriman.

Buah orang yang mau membaca adalah memperoleh pengetahuan. Semakin banyak membaca, semakin banyak memperoleh pengtahuan. Orang yang memiliki pengetahuan banyak, di lingkungan masyarakatnya disebut sebagai ‘alim. Semakin banyak ilmu seorang ‘alim disebut ‘allamah.komunitas orang-orang ‘alim disebut ‘ulama’. Karena falsafah dasar dalam Islam adalah iqra’ (bacalah), maka kebenaran asasi dalam Islam menghendaki bahwa setiap umat Islam seharusnya menjadi orang yang rajin membaca, harus menjadi orang ‘alim, dan harus menjadi ‘allamah. Mengaku dirinya sebagai seorang muslim, tetapi tidak atau malas membaca berarti mengingkari diri akan keislamannya, atau ia ogah-ogahan, bahkan melecehkan dirinya sendiri akan keislamannya.

Karakter iman sejati adalah rajin membaca. Kemunafikan atau kekufuran terjadi karena ketidakmauan membaca. Pernyataan ini semakin jelas karena wahyu pertama dalam Islam yang diturunkan oleh Allah adalah perintah membaca itu sendiri. Demikian Allah berfirmsan: 
اقراء باسم ربك الذى خلق خلق الانسان من علق اقراء وربك الا كرم الذى علم با لقلم علم الاسان ما لم يعلم 
Artinya
Bacalah dengan (menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. al-‘Alaq/96:l-5).

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa starting point orang beragama dalam Islam secara legal bukan hanya syahadad, melainkan juga kesadaran mau membaca (qara’a, iqra’) sekaligus. Dengan demikian antara kredo syahadad dan kesadaran membaca ibarat sekeping mata uang yang tanpak dari dua sisi dan keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan. Hanya syahadad saja tanpa kesediaan membaca berarti mengingkari Islam dan mengingkari dirinya sendiri; dan hanya membaca tanpa syahadad jelas-jelas ia kafir (ateis). Masuk Islam sejati secara resmi membaca syahadad sekaligus disertai kesadaran dan komitmen untuk mau membaca. 

1. Objek Bacaan 
Berdasarkan wahyu pertama yang turun tersebut di atas yang harus dibaca adalah ma> khalaqa, yaitu sesuatu yang Allah telah ciptakan atau disebut juga makhluk (ciptaan). Ciptaan Allah ada dua macam: tertulis, yaitu kitab suci Alquran, dan yang tidak tertulis, yaitu alam semesta seisinya, termasuk di dalamnya adalah hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Secara tradisional akademik objek bacaan tertulis disebut ayat qur’aniyyah dan objek bacaan yang tidak tertulis disebut ayat kauniyyah (Rahmat, l988 : l9). Secara praktis ayat qur’aniyyah mengandung pengertian membaca setiap huruf, kata, dan kalimat yang termaktub dalam kitab suci al-Qur’an al-Karim, dan membaca ayat kauniyyah adalah membaca setiap fenomena atau gejala alam semesta. 

Tercakup dalam pengertian membaca (qara’a, iqra’) sebgaimana dijelaskan ayat-ayat qur’aniyyah yang turun sesudah ayat pertama itu antara lain (terambil dari kata dasar): 

a. Nadhara-yandhuru (dalam bahasa Indonesia menjadi nalar) yang secara praktis berarti meneliti secara cermat dan berulang-ulang sehingga dapat ditemukan hakikat pengertiannya dan kegunaannya dalam kehidupan, umpama:
افلا ينظرون الى الا بل كيف خلقت و الى السماء كيف رفعت والى الجبال كيف نصبت
والى الارض كيف سطحت
Artinya 
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan ? Dan langit bagaimana ia ditinggikan ? dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan ? dan bumi bagaiamana ia dihamparkan ? (Q.S. al-Ghasyiyah/88 : 17-20). 

Ayat tersebut Secara eksplisit menjelaskan bahwa manusia supaya melakukan nadhar (menalar) terhadap unta, terhadap langit, terhadap gunung, dan terhadap bumi. Penunjukan objek-objek nadhar ini dapat dipahami sebagai contoh yang realisasinya adalah petunjuk untuk melakukan nadhar terhadap fenomena apa saja yang ada di alam semesta ini. 

b. Tafakkara-yatafakkaru
Kegiatan berpikir mesti menghasilkan sesuatu pengertian, dan orang hanya bisa berpikir setelah ia memperoleh rangsangan baik dari luar melalui potensi indra maupun rangsangan dari dalam diri. Secara lugas dan terang-terangan Allah memerintah kita untuk melakukan kegiatan berpikir untuk meningkatkan kualitas hidup supaya lebih baik dan selamat baik di dunia maupun di akhirat. Sekurang-kurangnya l8 kali Alquran memerintahkan supaya kita melakukan berpikir yang lafal nya menggunakan kata yang berakar dari kata fakkara,yafkaru, fikran. Contoh perintah ini adalah: 
ثم كلى من كل الثمرات فاسلكى سبل ربك ذللا يخرج من بطونها شراب الوانه فيه شفاء
للناس ان فى ذالك لاية لقوم يتفكرون 
Artinya
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkannya (Q.S. an-Nahl/16:69). 

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa sesuatu yang keluar dari perut lebah ternyata menjadi obat bagi manusia. Setelah dibuktikan melalui ilmu kedokteran, ilmu nutrisi, ilmu teknologi pangan, ilmu analis kesehatan, sebagai rispon dalam bentuk memikirkannya ternyata benar adanya bahwa obat itu adalah madu dan berfungsi sebagai obat dari banyak macam penyakit. 

c. ‘Aqala
Dari kata ‘aqala dapat diturunkan kata ‘aqal, yang padanan kata dalam bahasa Indonesia ‘akal’. Secara praktis akal bisa dikatakan potensi yang aktualisasinya berpikir, mengingat, menghayal, dan yang sejenisnya. Tigapuluh satu kali Alquran menyebut berbagai kata yang berakar dari kata ‘aqala (‘aqalu, ya’qilu, ta’qilu, ya’qilun, ta’qilun dan yang sejenisnya) yang jika dipahami mengandung petunjuk “ siapa saja yang mau mengaktifkan akal untuk kepentingan dirinya akan membawa manfaat dan keselamatan, dan siapa yang tidak melakukannya atas peringatan itu akan berakibat celaka. Berikut ini contoh mengaktifkan akal terhadap peringatan Allah supaya kita memikirkan aneka macam tanaman yang kemudian menjadi rizki bagi kita: 
ومن ثمرات النخيل والاعنا ب تتخذ ون منه سكرا ورزقا حسنا ان فى ذالك لاية لقوم
يعقلون 
Artinya
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebenaran Allah) bagi orang yang memikirkan (Q.S. an-Nahk/l6 : 67). 

Berikut ini contoh orang yang tidak mau mengaktifkan akal untuk berpikir dan berakibat celaka di kemudiannya: 
وقالوا لو كنا نسمع او نعقل ما كنا فى ا صحاب السعير 
Artinya
Dan mereka berkata “sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala (Q.S. al-Mulk/67 : l0). 

d. ‘ibrah (pelajaran)
Sembilan kali Allah memerintahkan kita supaya pandai-pandai mengambil pelajaran di balik berbagai peristiwa (‘Abd al-Baqi,[t.th.] : 565) umpama supaya kita mengambil pelajaran mengenai keberadaan binatang ternak. Dari situ justru kita minum air susunya. Allah berfirman: 
وان لكم فى الانعام لعبرة نسقيكم مما فى بطونه من بين فرث ودم لبنا خالصا شائغا
للشاربين 
Artinya
Dan sesungguhnya pada binatang ternak terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memeberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya (Q.S. an-Nahl/l6 : 66). 

e. Ra’a (melihat)
Pengertian ra’a secara praktis adalah melihat sesuatu fenomena, peristiwa atau hal disertai memikirkannya secara cermat, hati-hati, dan waspada. Berbagai kata jadian yang diturunkan dari kata ra’a, umpama yara, tara, nara, yaran, taran, naran, dan masih banyak lagi disebut dalam Alquran sebanyak 328 kali (‘Abd al-Baqi, [t.th.]: 356-362), umumnya orang akan menyesal karena tidak mau melakukan perintah Allah untuk ra’a karena pasti berakibat fatal, contoh: 
الم يروا كم اهلكنا من قبلهم من قرن مكنهم فى الارض مالم نمكن لكم وارسلنا السماء
عليهم مدرارا وجعلنا الانهار تجرى من تحتهم فاهلكناهم بذنوبهم وانشاء نا من بعدهم
قرنا اخرين
Artinya
Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi) itu telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami benasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain (Q.S. al-An’am/6 : 6). 

f. Faqiha
Kata yang dapat diturunkan dari kata faqiha antara lain yafqahu, tafqahu yang secara umum berarti memahami, paham, mengerti dan yang sejenisnya disebut dalam Alquran sebanyak 20 kali, yang menandakan bahwa umat Islam harus senantiasa memahami, mengerti diri dan lingkungan di mana ia berada, termasuk dari mana ia berasal dan akan ke mana ia pergi dari kehidupan ini kalau ia ingin hidup selamat. Ayat berikut memberikan penjelasan bagaimana manusia berada dalam keadaan hidup di dunia ini: 
وهو الذى انشاكم من نفس واحدة فسستقر ومستودع قد فصلنا الايات لقوم يفقهون 
Artinya
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui (Q.S. al-An’am/6 : 98). 

g. Fahima
Satu kali Allah menyebut kata fahima dengan pengertian ‘mengerti’, yaitu pada: 
ففهمنها سليمن وكلا اتيناحكما وعلما وسخرنا مع داود الجبال ويسبحنا والطير وكنا
فاعلين 
Artinya
Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum( yang lebih tepat), dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya (Q.S. al-Anbiya/21 : 79). 

h. ’Alima
Dari kata ‘alima dapat diturunkan antara lain kata al-‘ilm (ilmu). Berbagai turunan dari kata ‘alima (ya’lamu, ta’lamu, na’lamu, ta’lamun, ya’lamun, i’lamu, ‘allama, dan yang sejenisnya) disebut sebanyak 749 kali dalam Alquran yang secara keseluruhan berbicara soal pengetahuan atau ilmu, termasuk mengajar, mengajarkan, dan yang mengetahui atau berilmu (‘Abd al-Baqi,[t.th.] : 596-609).Contoh penggunaan kata ‘alima dalam Alquran adalah sebagai berikut
اقراء باسم ربك الذى خلق خلق الانسان من علق اقراء وربك الاكرم الذى علم بالقلم علم 
الانسان ما لم يعلم 
Artinya
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacala, dan Tuhanmu Yang maha mulia. Yang mengajar kepada (manusia) dengan perantaraan qalam. Yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. al-‘Alaq/96 : 1-5) 

i. Ulul Alba>b
Ulul Alba>b berarti orang yang berakal. Alquran menyebut kata ini sebanyak 13 kali (‘Abd al-Baqi,[t.th.] : 126-127). Orang-orang yang mengindahkan petunjuk atau peringatan Allah disebut ulul alba>b, sedang yang tidak mengacuhkannya disebut orang yang tidak berakal, meskipun memiliki rasio. Rasio berbeda dari akal. Rasio hanya bercirikan logis, sedang akal di samping logis juga mengandung keimanan. Ayat berikut menyebutkan bahwa hanya ulul alba>b saja yang dapat mengambil pelajaran atas firman Allah. Orang kafir, betapapun jenius tetap tidak berakal (ulul albab): 
ان فى خلق السماوات والارض واختلا ف الليل و النهار لايات لاولى الالباب 
Artinya
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi yang orang-orang yang berakal (Q.S. Ali Imran/3 : l90). 

j. Ulil Absha>r
Empat kali kata ulil absha>r disebut dalam Alquran, yaitu: Ali Imran/l3: l3; an-Nur/24 : 44; Shad/38 : 45; dan al-Hasyr/59 : 2 dengan pengertian sama dengan pengertian ulul alba>b. Hanya saja intensitas hasil pengetahuan yang didapat lebih mendalam, lebih luas, dan lebih komrehensif karena pengetahuan yang diperoleh juga bertolak dari eksperimen dan pengamatan yang berulang-ulang hingga menghasilkan pengetahuan yang amat meyakinkan atau mujarab(arti kata asal mujarab adalah telah teruji) Demikian contoh pemakaian kata ulul abshar dengan pengertian seperti yang dimaksud:
يقلب الله اليل والنهار ان فى ذالك لعبرة لاولى الابصار 
Artinya
Allah mempergntikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (Q.S. an-Nur/24 : 44). 

k. Ulin-Nuha
Kata ini disebut dua kali, yaitu dalam surat Thaha/20 : 54 dan 128. Pengertiannya sama dengan ulil abshar. Contohnya : 
افلم يهد لهم كم اهلكنا قبلهم من القرون يمشون فى مساكنهم ان فى ذالك لايت لاولى النهى
Artinya
Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami binasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu ? Sesungguhnya pada yang demikian itu tertdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (Q.S. Thaha/20 : l48).

l. al-Huda
Pengertian al-huda secara litreral adalah petunjuk. Berbagai turunan dari kata ini seperti al-hadi (orang yang memberi petunjuk),al-muhtadin (orang yang memperoleh petunjuk) dan lainnya yang sejenis adalah masih dalam kegiatan berpikir atau membaca (qara’a, iqra’). Kata ini disebut dalam Alquran sebanyak 285 kali. Disebutkan antara lain bahwa orang yang tidak mau mengindahkan petunjuk Allah pastilah ia tersesat dan celaka, umpama firman berikut: 
واذا قيل لهم اتبعوا ما انزل الله قا لوا بل نتبع ما الفينا عليه اباءنا اولوكان اباءهم لا يعقلون
شياء ولا يهتدون 
Artinya 
Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab “tidak”, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk ? (Q.S. al-Baqarah/2: 170).

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa perintah membaca (iqra’) dalam permulaan wahyu kemudian diikuti dengan periuntah-perintah lain yang masih dalam cakupan pengertian ‘membaca’, yaitu: fakara, ‘aqala, ‘bbara/’ibrah, fahima, faqiha, alima, ulul alba>b, ulil abshar>, ulin-nuha, dan al-huda. Pergeseran penggunaan lafal qara’a kepada yang lain seperti fahima karena disesuaikan dengan konteks, objek, manfaat, prosedur, atau akibat yang dibaca. Harap segera disadari bahwa keseluruhan perintah membaca (iqra’/qara’a) bertujuan agar setiap hamba Allah yang mengindahkan perintah itu menjadi orang yang selamat, pintar, dan bahagia, baik secara individu maupun kelompok, di dunia maupun di akhirat. 

Hanya saja perlu disayangkan, kita sebagai bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan merupakan penduduk terbesar dunia, umat Islamnya yang diperintah Tuhannya untuk banyak membaca dan perintah membaca itu diulang-ulang lebih dari l000 kali, justru menjadi umat yang bodoh, terbelakang, dan memiliki predikat yang sama sekali tidak diharapkan, yaitu korup dan bermental jelek (Krarr, l988:89). Menyitir ungkapan Muhammad Abduh, Syaikh al-Azhar di Kairo Mesir mengatakan “Di sini hanya ada muslim tetapi tidak ada Islam. Di Barat hanya ada Islam tetapi tidak ada muslim.”

Kita mengaku masuk ke dalam Islam, tetapi langkah kaki kita justru menuju keluar Islam. Falsafah dasar iqra’ yang mestinya kita rambah, tetapi malah menapaki ruas-ruas jalan non iqra’. Jadilah kita tersesat amat jauh dari jalan Islam, terbelakang, tidak sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (sebagai hasil kegiatan iqra’). Untuk itu mari belokkan arah langkah kaki kita menuju jalan yang ditunjukkan Allah, yaitu membaca, memikirkan, meneliti, berekperimentasi, investigasi, menalar, mengambil pelajaran, mengamati, memahami, berusaha mengerti yang kesemuanya ditujukan untuk memperoleh kejayaan Islam dan muslimin, di dunia dan akhirat. 

2. Prosedur Pembacaan 
Berdasarkan wahyu yang pertama tadi, di dalam membaca baik ayat-ayat quraniyyah maupun ayat-ayat kauniyyah harus disadari semata-mata melaksanakan perintah Allah. Pekerjaan membaca (qara’a/iqra’ )yang berarti bacalah/membaca adalah atas nama Allah (bismi rabbika). Implikasi yang diperoleh dari pemahaman ini menuntun kepada sikap mental, betapapun kita luar biasa pintar, cerdas, dan jenius akan tetap tawad}u>’ dan merendah diri di hadapan Allah karena apapun yang dilakukan dalam kegiatan membaca adalah atas nama Allah, bukan atas nama diri kita sendiri. Selain itu juga berimplikasi bahwa kegiatan membaca karena dikerjakan atas nama Allah akan terhitung sebagai ibadah dan perbuatan suci. Dari sini dapat diturunkan premis minor bahwa “Belajar adalah kegiatan suci dan ibadah, kuliah dalam kelas adalah kegiatan suci dan ibadah, eksperimentasi di laboratorium adalah kegiatan suci dan ibadah, dan mengambil hikmah di balik setiap peristiwa adalah kegiatan suci dan ibadah manakala dimotivisir dan ditujukan untuk kejayaan Islam dan muslimin, bahkan umat manusia. 

3. Hasil Pembacaan dan Jangkauannya
Ketika kita membaca (inklusif berbagai pengertian yang terkandung di dalamnya: nalar, memperhatikan, bereksperimen, mengambil pelajaran, meneliti, mengingat, berimaginasi, berkonsentrasi pikiran dan yang lainnya yang sejenis) akan memperoleh sesuatu. Dalam dunia ilmu (science), ‘sesuatu’ itu disebut pengetahuan (knowledge). Semakin banyak kita membaca, semakin banyak kita memperoleh pengetahuan. Jika secara logis atau empiris dua atau lebih‘ sesuatu’ yang juga dapat sebut dua atau lebih variabel ada hubungan dasar, yaitu hubungan yang mesti ada dan tidak pernah tidak ada maka akan memunculkan ‘sesuatu, pengetahuan, variabel baru sebagai kesenyawaan dua ‘sesuatu’ tadi yang disebut teori (Russel, l979: 439). 

Contoh hubungan dua ‘sesuatu’, disebut juga konsep, fakta atau variabel bertolak dari firman Allah berikut: 
اتل ما اوحي اليك من الكتاب واقم الصلوة ان الصلوة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله اكبر والله يعلم ما تصنعون
Artinya
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mncegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. al-‘Angkabut/29 : 45).

Dari ayat tersebut dapat diambil (l) ‘ sesuatu’, konsep, atau variabel ‘shalat’ , (2) keji dan mungkar. Di sini ada hubungan antara shalat dan kekejian. Hubungan itu bercorak sebab akibat. Ada Orang melakukan shalat justru berbuat keji dan mungkar contohnya melakukan hubungan sek bebas dan korupsi. Ada orang melakukan shalat lalu terjauh dari perbuatan keji dan mungkar, yaitu menjadi shalih. Dengan demikian hubungan antara konsep shalat dan konsep keji-mungkar tergantung oleh faktor lain. Faktor ini disebut faktor pengantara. Faktor pengantara bisa berwujud sebagai faktor penentu, faktor penghambat atau faktor pendukung. Jika digambar kan akan diperoleh bagan sebagai berikut: 
Keterangan:
  1. Memakai wewangian, memenuhi sunnah-sunnah, di masjid, berjamaah adalah faktor pendukung yang posisinya sebagai unsur yang boleh ada dan boleh tidak. 
  2. Tidak khusyu’ adalah faktor penghambat bagi menghilangkan variabel keji dan mungkar.
Dari bagan-bagan ini dapat disusun teori: Jika anda shalat dengan kualitas shalat khusyu’, maka pasti anda dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.Dalam teori ini sesuatu atau variabel yang mesti ada adalah (l) kegiatan shalat, dan (2) kualitas khusyu’. Sebaliknya, “jika anda shalat tidak khusyu’, pasti anda tidak bisa meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Unsur teori ini adalah (l) kegiatan shalat, dan (2) tidak ada kualitas khusyu’

Jika ada hubungan sistematis (logis, empiris)antar berbagai teori (Kemeny, l981: l75), maka akan muncul sesuatu. Sesuatu itu disebut ilmu. Dengan demikian dapat dibuat bagan ilmu sebagai berikut: 

B A G A N I L M U
Keterangan: 
P = sesuatu, pengetahuan, konsep, variabel
T = teori

Di muka dijelaskan bahwa yang harus dibaca orang Islam adalah ayat quraniyyah dan ayat kauniyyah. Dari sini segera dapat dipahami bahwa membaca ayat yang pertama akan memeperoleh konsep, pengetahuan, variabel kemudian mengerucut menjadi sejumlah teori, dan selanjutnya meruncing menjadi sejumlah ilmu seperti ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa (nahwu, sharaf, dan balaghah), ilmu hadis, ilmu tafsir. Dari ayat ini pula akan diperoleh konsep, variabel, teori, dan ilmu perilaku, seperti konsep, teori, ilmu akhlaq, ilmu pendidikan Islam (ilmu tarbiyah). Ilmu dakwah, maupun konsep, teori, ilmu menjadi orang takwa. Sementara itu pembacaan terhadap ayat kauniyyah akan memperoleh konsep, teori, dan ilmu tentang alam (ilmu-ilmu kealaman). Akhirnya, setelah kita dapati ilmu-ilmu - yang selama ini kita sebut ilmu-ilmu agama atau keagamaan - juga kita dapat ilmu-ilmu - yang selama ini disebut -ilmu kealaman atau umum dapat disistemisasi kerangka epistemologi (cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan yang meliputi: asal-usul, cara memperolehnya, struktur, hakikat, dan validitasnya,( De Runes, l976 : 93-95 ) sebagai berikut:
  • Sumber ilmu adalah Alquran dan alam semesta yang keduanya bersumber dari Allah. 
  • Cara memperoleh ilmu (iqra’) menggunakan potensi iman, akal, rasio, indera secara terpadu (keterpaduan iman (intuisi) dengan: ‘aqala, ‘alima, faqiha, fahima, ‘ibrah, nadzara, ulul albab, ulil abshar, ulin-nuha).
  • Hasil yang diperoleh adalah konsep, teori, ilmu:al-‘ilm al-quraniyyah, al-ilm‘alamiyyah, al-‘ilm al-‘amaliyyah atau dengan kata lain: humanioral science, social science, natural science, dan practical science. Humanioral science bisa bersumber dari ayat quraniyyah maupun ayat kauniyyah
  • Struktur ilmu mencakup ilmu-ilmu intuitif, ilmu-ilmu rasionalistik, ilmu-ilmu empiris, ilmu-ilmu etis, dan ilmu-ilmu praktis.
  • Kebenaran ilmu diukur dari keseuaian dari jenis ilmu. Dengan demikian ada kebenaran empiris, kebenaran logis (rasionalis), kebenaran intuitif, dan kebenaran etis, yaitu kebenaran atas dasar iman. Masing-masing kebenaran itu tidak saling menegasikan, tetapi saling melengkapi dan berpuncak pada misi kemanusiaan sebagai khalifah fi al ard} atau kehendak Allah sebagaimana tertuang dalam Alquran maupun assunnah. Noeng Muhadjir menyebutnya kebenaran multi faset.
  • Manfaat ilmu adalah kualitas hidup yang baik (shalihin, muttaqin, muh}sinin) dan akibat lebih lanjut adalah sa’adah fi daraini (kebahagiaan hidup dunia-akhirat).

Jika dibuat bagan akan diperoleh bagan sebagai berikut : 

POSISI ILMU KEPERAWATAN DALAM ILMU ISLAM 
Keterangan: 
  • Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang ada sebagai yang ada dalam arti seumum-umumnya. Jika sesuatu diputuskan ‘ada’, sesuatu itu bisa dibahas lebih lanjut. jika sesuatu diputuskan ‘tidak ada’ berarti selesai, dalam arti tidak ada pembahasan.
  • Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prosedur bagaimana kita memperoleh pengetahuan.
  • Aksiologi adalah cabang filsafat yang membehas tentang manfaat dari suatu ilmu Mazkur, l979 : 20, 1, 26)
Dari bagan di atas dapat dipahami pula bahwa ilmu itu hanya satu, berasal dari Yang Maha Satu, tidak ada istilah ilmu agama dan ilmu umum, yang ada hanyalah spesifikasi ilmu karena kegiatan pengembangan ilmu yang ditentukan oleh objek, runag lingkup, tujuan, metodologi, dan metodenya.

B. Resume
Dari penjelasan yang terdahulu ini dapat diringkas bahwa: 
  1. Allah adalah Pencipta alam seisinya, satu diantaranya adalah manusia 
  2. Manusia beriman kepada Allah dengan segala manifestasinya, satu diantaranya beriman kepada Alquran. 
  3. Alquran memerintahkan kepada yang beriman kepadanya agar membacanya. Realisasi membaca dalam bingkaian akademik antara lain merenung, meneliti, eksperimentasi.
  4. Hasil kegiatan membaca adalah memperoleh sesuatu: konsep, ide, variabel. Hubungan dasar dua atau lebih konsep, variabel adalah teori. Hubungan rasional sejumlah teori serumpun menghasilkan ilmu.
  5. Alquran adalah sumber petunjuk bagi manusia, satu diantaranya sebagai sumber ilmu. Dengan demikian tidak ada sekat ilmu agama dan ilmu umum, tetapi yang ada adalah ilmu itu satu yaitu berasal dari Allah – Alquran. Pembidangan ilmu berakar dari ilmu Allah yang satu ini. 
  6. Ilmu Tarbiyah atau ilmu pendidikan (Islam) adalah satu diantara hasil pembidangan dari ilmu Islam, atau dengan kata lain, ilmu pendidikan Islam atau ilmu tarbiyah adalah bagian dari lmu Islam yang secara umum memiliki misi rahmatan li al-‘a>lami>n dan bertujuan memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat.
  7. Ilmu Pendidikan Islam (Ilmu Tarbiyah ) dengan demikian adalah bagian dari Ilmu Islam itu sendiri, berbeda dari ilmu pendidikan perguruan tinggi di manapun, termasuk fakultas-fakultas tarbiyah di IAIN maupun UIN di tanah air ini yang tidak terbingkai dalam filsafat Ilmu Islam: mencakup asumsi, sumber ilmu, cara memperoleh ilmu, hakikat ilmu, struktur ilmu, faliditas Ilmu, dan manfaat ilmu. Karakter prodi Tarbiyah Unimus yang seperti, dengan demikian tidak dimiliki oleh perguruan tinggi lain.
B. Kebenaran Al-quran Dalam Tinjauan Teori Ilmiah
Alquran adalah petunjuk hidup secara kongkrit bagi manusia pada umumnya. Allah berfirman: 
شهر رمضان الذى انزل فيه القران هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان ---
Artinya
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan Alquran sebagai petunujk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil) . . . (Q.S. al-Baqarah/2 : 185) atau petunjuk bagi hambanya yang takwa saja. Allah berfirman: 
الم ذالك الكتب لا ريب فيه هدى للمتقين - - - 
Artinya
Alif lam mim. Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi mereka yang takwa. . . (Q.S. al-Baqarah/2 : 2) 

Salah satu dimensi kehidupan adalah dunia akademika, dan salah satu dunia akademika adalah dunia ilmu (science). Telah dibuktikan bahwa Alquran juga berfungsi sebagai sumber ilmu, sumber cara-cara memperoleh ilmu, dan sumber untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat atas dasar ilmu. 

Sebagai sumber petunjuk, Alquran diyakini sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa keraguan sedikitpun sehingga karakter kebenaran itu tidak perlu diuji (untestable truth). Kebenaran yang demikian akan dibandingkan dengan teori ilmiah. Tujuannya untuk memperlihatkan bahwa kebenaran Alquran adalah benar-benar mutlak, absolut, tidak menerima perubahan oleh siapa pun dan kapan pun sehingga akan tampak juga bahwa kebenaran ilmiah bukan apa-apanya jika dibanding kebenaran Alquran.
1. Teori ilmiah tidak menerima kata ‘kekal’ baik persoalan-persoalan yang dimunculkan dalam iklim ilmu maupun teori-teori dalam setiap cabang ilmu. Semenjak muncul gerakan filsafat liberalisasi dari dominasi gereja, moralitas tidak mendapat perhatian dari para ilmuwan, tetapi setelah Nagasaki dan Hirosima dibom atom oleh tentara sekutu yang dimotori Amerika Serikkat, dan setelah berkecamuk perang dingin antara Uni Soviet dan sekutunya versus Amerika Serikat dan sekutunya, dan setelah nuklir menjadi issu yang amat mengkhawatirkan kelangsungan hidup di bumi, persoalan moral menjadi amat penting. Sementara itu kandungan persoalan moral dalam Alquran tidak terikat dengan ruang dan waktu.

Dalam Ilmu Alam disebutkan sebuah dalil (teori yang telah diuji berkali-kali dan dibuktikan berkali-kali benar sehingga menjadi paradigma ilmu pengetahuan, bahwa baja itu merupakan benda padat, tetapi setelah ditemukan sinar U dan dimanfaatkan untuk alat-alat observasi mikroskopis terbukti baja itu ternyata berpori-pori (Quraish Shihab, l992 : 45). Bintang yang kita lihat bahkan oleh seluruh manusia di dunia tampak kecil bagaikan titik bersinar, setelah dilihat memakai alat pengindra benda-benda angkasa ternyata besarnya ribuan kali dari pada besar bumi (al-Ghazali, l964 : 15).

2. Teori ilmiah sebenarnya hanya bersifat relatif karena berubah-ubah, di samping amat terbatas. Garis lurus hanya terbatas dalam bidang dan jarak yang terbatas. Jika garis itu ditarik terus diperpanjang, justru akan menjadi garis lengkung dan bahkan akan bertemu pada suatu titik pangkal garis, yang berarti garis itu adalah melingkar.

Oleh karena kebenaran ilmiah dapat berubah dan relatif maka Alquran tidak bisa dijadikan alat untuk membenarkan atau menyalahkan temuan-temuan ilmiah. Sebab, ketika kita menggunakan Alquran Surat ar-Ra’d/13 : l7, 
انزل من السماء ماء فسالت اودية بقدرها فاحتمل السيل زبدا رابيا ومما يوقدون عليه فى النار ابتغاء حلية او متاع زبد مثله كذالك يضرب الله الحق والباطل فاما الزبد فيذهب جفاء
واما ينفع الناس فيمكث فى الارض كذالك يضرب الله الامثال
Artinya
Allah telah menurunkan air(hujan) dari langit, maka mengalirlah air dari lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan bagi yang bathil. Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikian Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (Q.S. ar-Ra’d/13 : l7). 

Untuk membenarkan teori strugle for life dari Charles Darwin (perjuangan untuk hidup), yaitu yang tidak bisa menjaga keselamatan diri akan dibinasakan oleh yang lain, atau Alquran Surat Nuh/71 : l3-14: 
ما لكم لا ترجون لله وقرا وقد خلقكم اطوارا 
Artinya
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah, padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian (Q.S. Nuh/71 : 13-14) 

Sebagai pembenar teori evolusi Darwin pula, mengandung bahya amat besar. Jika kedua teori itu benar, berarti benar atas nama Alquran. Tetapi jika ternyata kedua teori itu salah berarti Alquran juga salah. Oleh karena itu jika mengkur suatu teori ilmiah dari segi benar atau salah juga harus melalui metode ilmiah. Alquran adalah kitab petunjuk yang mesti benar. Jika harus ditemukan konsep, teori, bukan bersifat ilmiah (teori ilmiah) melainkan berwujud teori dasar, meminjam istilah dari Karl R. Popper grand theory, yang karakternya tidak dapat atau tidak perlu diuji secara ilmiah, melainkan dipercayai atas dasar iman. Dari teori dasar(grand theory) dapat diturunkan untuk merumuskan teori ilmiah (teori empiris, teori rasionalis , dan teori praktis). Untuk bisa menurunkan teori dasar (grand theory) menjadi teori ilmiah harus melalui unsur (variabel lain), yaitu medan kehidupan dan keseluruhan fenomena alam semesta. 

Berikut ini dicontohkan ayat Alquran sebagai sumber petunjuk kemudian dipahami menghasilkan konsep dasar (grand consept) selanjutnya teori dasar (grand theory) dan selanjutnya menghasilkan konsep dan teori empiris (empirical consept dan empirical theory. Ayat menyatakan demikian: 
يا ايهاالذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya
Hai orang-orang yang beriman, Diwajibkan atas kamu berpuasa (Ramadan) sebagaimana diwajibkan (berpuasa) atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Q.S. al-Baqarah/2 : l83). 

Dari ayat itu diperoleh konsep dasar (grand concept): (l) puasa, dan (2) takwa.Teori dasar (grand theory) yang dapat dirumuskan adalah :” Ada hubungan sebab akibat anatara kegiatan puasa dean kualitas takwa”, (2) Jika berpuasa memperoleh peluang untuk bertakwa”, (3) “Tidak melakukan puasa pasti tidak memperoleh peluang untuk bertakwa”. Jadi, kegiatan berpuasa hanya memperoleh ‘peluang’ takwa, belum otomatis memperoleh kualitas takwa. Supaya kegiatan berpuasa pasti berbuah takwa, maka membutuhkan faktor antara yang wujudnya bisa faktor pendukung, faktor penentu, atau faktor penghambat, bahkan faktor pembatal. Aneka faktor ini berada di kancah kehidupan atau dalam dunia realitas. 

Supaya kegiatan berpuasa benar-benar berbuah takwa, semua faktor pendukung harus sesuai dengan koordinat ruang waktu mempertimbangkan situasi, kondisi maupun iklim kondusif yang sempurna untuk melaksanakan puasa. Berpuasa di kota Semarang umpamanya, kebetulan musim penghujan, pekerjaannya di kantor, waktunya antara jam 00.7,00 hingga jam l5.30 WIB. Di kantor banyak gangguan, di rumah suasananya kurang teratur, ada anggota keluarga yang tidak berpuasa karena halangan dan karena memang pengikut agama non Islam lalu makan-minum seenaknya saja tanpa mempedulikan kepada orang lain dalam rumah itu, tempat istirahat siang dekat dengan dapur yang sedang digunakan untuk memasak dan menimbulkan nafsu untuk makan, tetangga dekat amat bising, calon menu berbuka puasa amat membangkitkan selera makan dan cukup banyak, anak-anak selalu dan selalu menyetel musik yang iramanya tidak ia sukai, di samping volume suara demikian tinggi. Di lingkungan masyarakatnya berkembang opini bahwa shalat tarawih harus di masjid dan harus 20 rakaat plus 1 yang paham itu tidak cocog dengannya, dan secara umum lafal atau doa (dalam bahasa Jawa jopo) ibadah-ibadah yang ia laksanakan tidak ia pahami artinya. Keseluruhannya ini merupakan faktor penghambat karena mengganggu keikhlasan dan ketenangan dalam berpuasa. 

Faktor-faktor penghambat ini harus dinetralisir dulu, yaitu: 
  • Kerja di kantor harus serius sebagai pelaksanaan ibadah. Pada saat senggang digunakan berzikir dan tidak menggosip orang lain. 
  • tata ruang baik di kantor maupun di rumah diusahakan sehat dan artistik meskipun barang-barang miliknya sederhana, angin masuk di ruangan cukup, penerangan cukup, kalau hujan tidak bocor, atau secara umum nyaman. 
  • Seluruh anggota keluarga diusahakan semua beragama Islam. Kalau ada yang beragama lain diusahakan seminimal mungkin kontak dengannya, kalau terpaksa kontak supaya banyak-banyak membaca istighfar.
  • kebisingan tetangga dekat harus diusahakan tidak lagi bising. 
  • volume musik diusahakan nyaman didengar oleh orang-orang yang sedang melaksanakan puasa baik karena keadaan lapar maupun haus, iramanya bercorak religius. 
Atau dengan kata lain, semua situasi, keadaan, hal, dan peristiwa yang mendukung pelaksanaan puasa harus terpelihara, di samping makanan yang dikonsumsi benar-benar halalal thayyiban, dalam berbuka puasa memenuhi aturan makan-minum, dan niatnya benar-benar ikhlas lillahi Ta’ala. Syarat-, rukun, dan hal-hal yang menyempurnakan puasa dipenuhi, dan hal-hal yang merusak puasa atau yang merusak keutamaannya dinetralisir tentu predikat takwa akan diperoleh. Atau secara singkat faktor penghambat dihilangkan dan faktor pendukung di wujudkan, tentu predikat takwa karena berpuasa pasti diperoeh. 

Untuk mengakhiri uraian ini, jika koordinat ruang waktu berdeda dari yang dicontohkan ini, tentu berbeda pula kualitas pelaksanaan puasanya, meskipun konsep dasar (grand concept) maupun teori dasar (grand theory) puasa dan takwa tetap sama. Dari sini dapat dihepotesiskan bahwa pelaksanaan berpuasa oleh orang seorang berkenaan dengan koordinat ruang waktu ada yang memperoleh kualitas agak takwa, takwa, benar-benar takwa, atau hanya sekedar berpuasa dan takwanya tidak ia peroleh. Dalam sitiran hadis Nabi ada orang-orang yang berpuasa tidak memperoleh apa-apa kecuali hanya seikedar lapar dan dahaga, lain tidak.

C. Mencari Ilmu
Telah dijelaskan bahwa agama menjadi petunjuk seluruh kehidupan termasuk di dunia Ilmu. Dalam dunia ilmu Islam memberikan perintah akan kewajiban mencari ilmu justru ayat pertama menyatakan perintah itu: “iqra’ bismirabbikallazi khalaq” (Bacalah! Atas Tuhanmu yang telah menciptakan).Berikut ini dijelaskan berbagai hal tentang ilmu. Hadis yang amat populer menyatakan “Uthlub al-‘ilma walau bi ash-shin” (Carilah ilmu meskipun di negeri Cina); “Thalabu al-‘ilmi faridatun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin”(Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam laki-laki maupun orang Islam perempuan); “Uthlub al-‘ilma min al-mahdi ila al-lahdi” (Carilah ilmu sejak dari buain Ibu hingga ke liang lahat, dalam arti sepanjang hayat - Fatah,et all,2003 : 37). 

Atas dasar berbagai hadis tersebut dipahami bahwa mencari ilmu itu wajib. Akan tetapi ketegasan mencari ilmu secara naqli terambil dari wahyu yang pertama turun itu. Kemudian argumen mencari ilmu wajib dikaitkan dengan berbagai ayat atau hadis berkenaan dengan ilmu, umpama seorang ‘alim (ilmuwan/pakar) amat tinggi derajatnya, begitu jelek bagi orang yang bakhil dengan ilmu, dan begitu utama pencari ilmu. Demikian petunjuk-petunjuk tentang ilmu yang dimaksud. 

1. Keutamaan-keutamaan ilmuwan (al-‘alim - al-’allamah) antara lain sebagai berikut: 
a. Allah mengangkat status amat tinggi bagi para ilmuwan. Allah berfirman : 
--- يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير
Artinya
. . .niscaya Allah akan meninggikan kamu orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengtahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. al-Mujadilah/58 : ll). 

b. Yang benar-benar takut kepada Allah hanyalah orang-oranmg yang berilmu (al- ‘alim - al-‘allamah atau ilmuwan dan pakar). Dalam hal ini Allah berfirman: 
---انما يخشى الله من عباده العلموا ان الله عزيز غفور
Artinya
. . .Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Q.S. Fathir/35 : 28).

c. Kelangsungan hidup antara orang hidup di dunia dengan orang yang sudah mati, salah satunya adalah ilmu. Demikian sabda Nabi saw: 
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية اوعلم نتفع به ا وولد صا لح يد عو له( رواه مسلم عن ا بى هريره)
Artinya:
Rasulullah saw. Bersabda: Apabila anak Adam meninggal maka putuslah amal perbuatanya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya (H. R Muslim dari Abi Hurairah).

d. Orang yang pergi mencari ilmu dimudahkan ke surga. Dalam hal ini Rasulallah bersabda:
من سلك طر يقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا الى الجنة (رواه الترمذى عن ابى هريره)
Artinya:
Barang siapa yang mengambah jalan untuk mencari ilmu maka allah akan memudahkan jalan baginya kesurga. ( H. R. at-Turmuzi dari Abi Hurairah).

e. Perbandingan antara ilmuwan dan ahli ibadah laksana Nabi dibanding orang Islam yang paling rendah derajatnya:
ذكر رجلا ن احدهما عابد والاخرى عالم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم فضل العالم على العابد كفضلى على ادناكم ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان الله وملئكته واهل السموات والارض حتى النملة فى جحرها وحتى الحوت ليصلون على معلم الناس الخير (الترمذى عن امامه الباهل)
Artinya
Disebutkan ada dua orang. Salah satunya adalah seorang yang ahli ibadah dan yang lainnya ilmuwan, maka Rasulullah saw. bersabda: Keutamaan seorang ilmuwan dibanding seorang ahli ibadah bagaikan Aku dan orang yang paling rendah diantara kamu sekalian; kemudian Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah dan para malaikat, penduduk langit dan bumi, hingga semut dalam liangnya dan ikan paus, sungguh mereka mendoakan kepada seorang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain (H.R. at-Turmuzi dari Umamah al-Bahili).

f. Ilmuwan amat ditakuti syetan. Dalam hal ini Rasulullah bersabda: 
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فقيه اشد على الشيطان من الف عابد (رواه الترمذى عن
ابن عباس)
Artinya
Rasulullah saw. bersabda: Seorang faqih (cerdik pandai) seribu kali ditakuti syetan dibanding seorang yang ahli ibadah (H.R. at-Turmuzi dari Ibnu Abbas).

2. Kecelakaan bagi orang yang bakhil dengan ilmu:
a. Orang yang terlalu komersial dengan ilmu akan diikat dengan api. Demikian Rasulullah saw. bersabda: 
من سئل عن علم فكتمه لجم يوم القيامة بلجام من نار (رواه ابو داود والترمذى عن ابىهريرة )
Artinya
Barang siapa yang ditanya tentang ilmu kemudian ia menyembunyikannya pada hari kiyamat nanti ia akan diikat dengan tali dari api - H.R. Abu Dawud dan at-Turmuzi dari Abi Hurairah ( an-Nawawi, [t.th.]: 531).

b. Orang yang mencari ilmu bukan karena Allah, tempat duduknya besok di hari kiyamat adalah api (neraka). Demikian Rasulullah saw. bersabda: 
من تعلم علما لغير لله او اراد به غير الله فليتبواء مقعده من النار (رواه الترمذى عن ابن عمر)
Artinya
Barang siapa yang belajar (mencari ilmu) bukan karena Allah atau ia menghendaki dengan ilmu itu bukan karena Allah maka hendaklah ia menempatkan diri pada tempat duduk dari api (neraka), H.R. at-Turmuzi dari Ibnu `Umar (at-Turmuzi, IV,[t.th.]: 141). 

c. Siksa neraka bagi ilmuwan yang bangga dapat mengalahkan orang lain, mengelabuhi orang awam, dan agar orang lain memperhatikan kepada dirinya: 
من طلب علما ليجارى به العلماء او ليمارى به السفهاء ويصرف به وجوه الناس 
ادخله الله النار (رواه الترمذى عن كعب بن مالك وابوه)
Artinya
Barang siapa yang mencari ilmu (dengan tujuan) untuk mengalahkan para ilmuwan lain atau mengelabuhi orang-orang bodoh, atau supaya orang-orang memperhatikan dirinya, maka Allah akan memasukkan dirinya ke dalam api (neraka) H.R. at-Turmuzi dari Ka`ab bin Malik dan bapaknya (at-Turmuzi,IV,[t.th.]: l41).

Baik dari ayat-ayat Alquran maupun hadis-hadis sebagaimana dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa mencari ilmu itu amat penting bahkan wajib. Ilmuwan demikian tinggi derajatnya di sisi Allah dibanding dari para ahli ibadah, tetapi ilmuwan yang dimaksud adalah ilmuwan yang ilmunya bermanfaat bagi penegakan kalimat tauhid . Di luar itu (kalimah tauhid) hanya akan mengantarkan sang ilmuwan ke dalam api (neraka). Tegasnya ilmuwan sekuler akan masuk neraka. Alangkah baiknya jika ketika kita menyadari bahwa mencari ilmu untuk menaikkan status sosial, atau untuk merajut masa depan supaya baik dalam lapangan ekonomi, atau supaya dapat bekerja di suatu perusahaan, atau menjadi pegawai negeri, segera diubah niatnya itu dengan niat yang baru, yaitu untuk menghilangkan kebodohan, menjalankan kewajiban mencari ilmu, mencari rida Allah, menegakkan agama Allah, baru kemudian dapat ditambah dengan tujuan-tujuan lain (tujuan-tujuan duniawi). 

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Qur’an al-Karim. 
  • ‘Abd al-Baqi, Ahmad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim Indonesia: Maktabah Dahlan, [t.trh.]. 
  • -------------al-Lu’lu’ wa al-Marjan,I,II,III, Beirut: Dar al-Fikr, [t.th.]. 
  • al-ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, al-Munqiz min ad-Dalal. Qahirah: Anglo al-Mishiriyyah, l964.
  • A Kadir, Muslim, Ilmu Islam Terapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
  • Kraar, Louis, “The New Power of Asia” dalam Reader Digest (edisi Asia), Vol.I.52. No.309, Desember l988.
  • Kemeney, John G, A Philoshopher Looks at Science. New York: Van Nostrand Reinhold, l981.
  • Mazkur, Ibrahim, al-Mu’jam al-Falsafi. Qahirah: Jamhuriyyah Mishr al-Arabiyyah, l979. 
  • Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif. Bandung: Mizan, l988. 
  • Runes, Dagobert D, Dictionary of Philosophy. Totowa-New Jersey: Little field & Adams Co., l976.
  • Russel, Bertrand, Human Knowledge, Its Scope and Limits. Oxford: Oxford Press, l079. 
  • An-Nawawi, Muhiyyi ad-Din Abi Zakaria Yahya bin Syaraf, Riyad ash-Shalihin.
  • Surabaya: Syirkah Maktubah wa Mathba’ah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Awladuh, [t.th.]. 
  • Santosa, Fatah (et all). Studi Islam 3, Surakarta: Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003.
  • Shihab, M.Quraish, Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, l992. 
  • At-Turmuzi, Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Turmuzi,IV. Semarang: Thaha Putra, [t.th.].