Inovasi Kemampuan Guru Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Di Sekolah Dasar
Kegiatan belajar mengajar sebagai suatu sistem, selalu mendapat perhatian, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat pada ummnya. Meskipun demikian, tamatan pendidikan guru belum sepenuhnya bisa meningkatkan mutu seperti yang dicita-citakan . Hal ini dapat dipahami karena masalah mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kualitas guru, siswa, metode, alat, sarana dan prasarana belajar, kurikulum, biaya, media, serta fasilitas lingkungan pendidikan.
Salah satu faktor yang penting bagi tercapainya tujuan pendidikan secara maksimal adalah guru. Hal ini senada dengan pernyataan yang berbunyi “Di tangan gurulah terletak berhasil atau tidaknya peningkatan mutu pendidikan di Sekolah Dasar” (Ansyar dan Nurtain, 1992:105). Senada dengan itu, Sucipto dan Mukti, (1992:159) menegaskan bahwa guru memegang kunci informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kelas yang dibinanya. Pandangan lain menyatakan bahwa peranan guru dalam pembelajaran belum dapat diganti oleh mesin pengajar, tape recorder, komputer dan lain-lain (Arbi dan Syahrun, 1992:129). Berdasarkan atas uraian-uraian tersebut dapat dikatakan bahwa betapa pentingnya peranan guru terhadap siswa.
Kondisi semacam ini memberi gambaran kepada kita, betapa besarnya harapan masyarakat terhadap guru, dalam membawa anak didiknya ke masa depan yang lebih baik, sehingga mampu menciptakan insan pembangunan yang cerdas, terampil berbudi pekerti luhur. Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan hal-hal yang sangat jauh dari apa yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh kenyataan di lapangan, rendahnya Nilai Ebtanas Murni (NEM) para siswa mulai jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, serta meningkatnya kemerosotan moral sehingga terjadi hal-hal yang kurang terpuji. Sementara itu, munculnya inovasi-inovasi untuk memperluas program wajib belajar di daerah terpencil dengan kelompok-kecil misalnya, sebagaimana ditemukan Sarna (1997:9) juga memerlukan pendekatan khusus yang berbeda dengan sekolah normal di wilayah yang lebih maju.
Kenyataan tersebut, dapat menjadi petunjuk bahwa guru perlu meningkatkan kemampuan dan perhatiannya terhadap aktivitas dan kualitas proses pembelajaran yang ada. Seharusnya dalam kegiatan belajar mengajar para guru dapat menggunakan berbagai macam pendekatan dan cara, agar proses dan hasil pembelajaran dapat dicapai secara optimal. Apabila pendekatan dan cara pembelajaran yang ditempuh oleh guru dapat terlaksana dengan baik, kemungkinan besar kualitas hasil belajar para siswa dapat ditingkatkan. Kegiatan semacam itu hanya akan dapat berjalan dengan baik, apabila para guru mau mengembangkan diri, dan berusaha secara maksimal mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya. Kegiatan belajar mengajar akan dapat berjalan secara optimal, apabila guru dapat melibatkan seluruh komponen dari sistem pembelajaran tersebut. Proses dan hasil belajar akan menjadi efektif dan efisien apabila dibarengi dengan ide atau gagasan-gagasan baru, daya aktivitas dan kreativitas guru yang tinggi.
Inovasi Tenaga Kependidikan
Inovasi, secara teoretik-konseptual dapat dijelaskan sebagau suatu ide atau gagasan yang baru dalam konteks sosial tertentu. Sesuatu yang baru itu mungkin sudah lama dikenal, tetapi belum dilakukan perubahan (Ansyar dan Nurtain, 1992:31). Pendapat lain menyebutkan bahwa inovasi adalah suatu pengenalan hal-hal yang baru, masukan, pembaharuan, penemuan baru dari hal-hal yang sudah ada atau dikenal sebelumnya, baik berupa gagasan, metode maupun alat (Depdikbud, 1990 : 333).
Inovasi merupakan suatu usaha untuk menemukan sesuatu yang baru dengan melakukan kegiatan invention dan discovery. Invention adalah suatu penemuan yang benar-benar baru, belum pernah ada. Discovery adalah suatu penemuan sesuatu benda, dan sesuatu itu memang telah ada sebelumnya (Subandijah, 1992:80). Ibrahim (1989) mengatakan, bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa ide, barang, kejadian , metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Berdasarkan atas beberapa uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa inovasi adalah suatu penemuan baru, baik invention maupun discovery, maupun berupa ide (gagasan), metode dann alat.
Dalam kaitannya dengan inovasi tenaga kependidikan guru, Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003) dijelaskan bahwa yang dimaksud tenaga kependidikan adalah meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti, pengembang pendidikan, pustakawan, laboran dan teknisi sumber belajar. Adapun tugas-tugas tenaga kependidikan dijelaskan pada pasal 27 ayat 1 antara lain, melakukan kegiatan mengajar, meneliti, melatih, mengembangkan, mengelola, dan memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.
Pada pasal lain, ditegaskan pula bahwa setiap tenaga kependidikan berkewajiban membina loyalitas pribadi peserta didik terhadap ideologi negara Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi kebudayaan bangsa, memiliki tanggung jawab pengabdian dan meningkatkan kemampuan profesional, sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan atas uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tenaga kependidikan meliputi, tenaga-tenaga edukatif dan non edukatif yang memiliki peranan yang amat kompleks, baik kegiatan belajar mengajar, pelatihan, penelitian, pengembangan, pengelolaan maupun layanan teknisi dalam bidang pendidikan. Atas dasar pengertian tersebut, tampaknya guru sebagai salah satu bagian dari tenaga kependidikan, kecuali tugas sehari-hari mengajar, mempunyai tugas lain, seperti melakukan kegiatan pelatihan, penelitian, pengembangan, pengelolaan ataupun layanan teknisi pendidikan lainnya.
Inovasi Pembelajaran di Sekolah
Sebagaimana dijelaskan Suharsono (2001), pembelajaran adalah kegiatan penciptaan situasi yang memungkinkan terjadinya tindak belajar secara optimal. Optimalisasi tindak belajar itu bisa terjadi karena adanya rancangan skenario kegiatan belajar dan variasi pola interaksi yang memungkinkan siswa berkembang segenap kecakapan intelektual dan kecerdasan emosionalnya secara optimal. Interaksi itu bisa terjadi antara guru, siswa, bahan dan media belajar secara teratur dalam rangka mencapai tujuan (Moedjiono dan Dimyati, 1992:1).
Kegiatan belajar mengajar secara empirik merupakan wujud dari interaksi antara guru dengan siswa dalam prosedur intruksional (Hasibuan dan Moedjiono, 1986 : 3). Kegiatan belajar mengajar diartikan sebagai hubungan interaktif antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa (Roestiyah, 1986:44). Berdasarkan atas pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan pola umum hubungan antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa yang didukung oleh semua komponen belajar mengajar, untuk mencapai hasil belajar yang diinginkan. Hasil yang diharapkan bisa memiliki dampak pengajaran dan dampak pengiring secara berkesinambungan di sepanjang hayat, termasuk didalamnya siswa dapat berpikir kritis, kreatif, aktif, sopan, dan terampil.
Jika ditelusur sejarah pendidikan ke belakang dapat diketahui bahwa kebanyakan guru SD mengajar sampai saat ini, menggunakan metode ceramah, serta didasarkan pada satuan pelajaran yang disusun sedemikian rupa atas dasar buku paket yang disajikan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Kegiatan itu tidak ada salahnya, sepanjang tidak menyimpang dari kurikulum, dan Garis Besar Program Pengajaran sebagai bahan acuannya. Namun demikian, perlu diingat bahwa guru memiliki kewenangan untuk memilih bahan-bahan yang cocok (relevan) dengan kepentingan para siswa. Jadi, sebenarnya proses belajar mengajar tersebut bersifat fleksibel. Artinya, selaras dengan situasi, kondisi, kebutuhan, tuntutan dengan kepentingan serta metode dan media yang tepat. Dengan kata lain, secara singkat dapat dijelaskan bahwa cara tradisional semacam itu harus diperbaharui melalui inovasi-inovasi tertentu agar hasil dapat dicapai secara maksimal dan optimal.
Untuk meningkatkan kualifikasi dan kemampuan guru di Sekolah Dasar, guru yang kreatif dan inovatif dapat melakukan inovasi dalam metode belajar mengajar dalam berbagai macam metode, strategi, pendekatan, dan dan model pembelajaran inovatif, seperti ceramah bervariasi, CBSA, problem-solving, belajar penemuan, cooperatif learning, social inquiry, dan model-model lain yang relevan dengan pokok dan topik bahasan. Sebagaimana dipaparkan Santyasa (2005), paradigma baru pembelajaran lebih meletakkan landasan bahwa belajar merupakan aktivitas konstruktif siswa itu sendiri. Aktivitas pembelajaran itu akan terakomodasi secara optimal jika didukung oleh keberadaan fasilitas dan produk-produk pembelajaran yang memadai.
Untuk mewujudkan terjadinya proses belajar dan pembelajaran yang optilan seperti itu, diperlukan sejumlah asumsi dan cara pandang tertentu dari para guru, dan guru SD pada umumnya, tentang bagaimana memperlakukan siswanya. Barikut ini disajikan beberapa pola perlakuan guru kepada siswa agar inovasi pembelajaran di kelas dapat tercipta.
Perlakuan Siswa Bermartabat
Dalam kegiatan ini guru harus memandang siswa sebagai sosok insan yang bermartabat. Artinya, siswa harus dipandang sebagai individu yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Siswa harus diperlakukan sebagai sosok manusia yang memiliki kepribadian. Dia lahir di dunia memiliki pikiran, perasaan, keinginan, cita-cita, harga diri, bakat, minat, kesadaran moral, daya imajinasi, dan lain-lain yang perlu dikembangkan. Siswa senantiasa memerlukan bantuan, bimbingan dan pemikiran-pemikiran yang dapat mendorong dirinya untuk maju dan berkembang. Dalam tulisan ini sebagai contoh : apabila seorang guru menjumpai seorang siswa yang menunjukkan nilai prestasi belajarnya selalu rendah, ini bukan berarti siswa tersebut harus mendapat caci maki dari guru tersebut, tetapi hendaknya guru mencari sebab-sebab kesulitan belajar yang dialaminya. Seharusnya guru tersebut mempunyai ide, gagasan, atau inisiatif untuk mencari faktor penyebabnya.
Sejumlah kemungkinan sebab yang terjadi, hendaknya dikaji secara mendalam letak kelemahannya. Apabila guru tersebut telah menemukan kelemahan atau kekurangannya, maka akan dapat menemukan jalan keluarnya, termasuk di dalamnya keengganan guru untuk menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang unik dan sebagai pribadi yang memiliki banyak kelebihan dan kelemahan dari lahirnya.
Apabila guru memperhatikan anak didiknya, berarti guru itu menghargai dan menghormati siswa. Menghargai dan memperlakukan siswa secara manusiawi semacam ini menurut pendapat Brant dapat membangkitkan semangat yang amat tinggi, sehingga merangsang siswa untuk menjadi cerdas dan sikap mandiri yang andal (Ansyar dan Nurtain, 1992:109). Memperlakukan siswa sebagai seorag “pribadi” berarti menghargai siswa sebagai sosok bermartabat. Penghargaan itu jelas akan bisa menjadi embrio kebaikan dan dapat menjadi titik tolak perkembangan diri pribadi siswa untuk bersikap dan berpikir positif (positif thinking) terhadap apa yang ada di lingkungan sekitar dan masyarakat pada umumnya.
Latihan Berpikir Kritis
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa sampai saat ini, kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar pada umumnya didominasi oleh guru kelas. Kebanyakan siswa terkondisikan pasif. Budaya yang sudah lama berjalan, adalah guru datang di dalam kelas menerapkan materi bahan dengan ceramah. Siswa datang, duduk, diam dan mendengarkan. Keaktifan siswa seolah-olah terfokus pada hal-hal yang tampak saja seperti : datang, duduk, diam, mendengarkan keterangan guru. Dengan cara demikian, hal-hal yang tidak tampak (abstark) sangat terkesampingkan seperti : berpikir kritis, aktif, kreatif dan lain-lain. Atas dasar itulah diperlukan langkah baru (inovasi), agar semua siswa tersebut melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya, baik secara fisik maupun mental. Untuk memenuhi aktivitas, baik fisik maupun mental diperlukan cara-cara baru, yaitu dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Apakah CBSA itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menurut Nana Sujana (1988) CBSA adalah proses kegiatan belajar mengajar yang subyek didiknya terlibat secara intelektual dan emosional, sehingga anak didik benar-benar berperan secara aktif. (Dr. Subandijah, 1992 : 112). Menurut Partika (dalam Subandijah,1992 : 12) CBSA adalah proses belajar mengajar yang menggunakan berbagai metode yang menitik beratkan pada keaktifan fisik, mental, emosional, intelektual, untuk mencapai tujuan pendidikan yang berhubungan dengan kawasan kognitif, afektif dan psikomotor skill secara optimal. Dengan demikian, CBSA merupakan suatu proses interaktif aktif seluruh potensi manusiawi siswa meliputi : emosi, feeling, pikiran, nilai, moral, secara fungsional dalam menginternalisasi dan mempersonalisasikan suatu tujuan pembelajaran yang diinginkan.
Dari sejumlah konsep dan pemikiran tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa CBSA adalah suatu pendekatan yang diterapkan dalam proses kegiatan belajar mengajar dengan menekankan pada keterlibatan kemampuan peserta didik. Keterlibatan siswa itu bersifat multidimensional, baik secara fisik, mental, intelektual maupun emosional sehingga hasil belajar berupa aspek-aspek kognitif, afektif maupun psikomotor dalam pribadi peserta didik dapat dicapai dengan baik.
Pendekatan Keterampilan Proses
Apa yang dimaksud pendekatan keterampilan proses itu? Keterampilan proses adalah keterampilan-keterampilan memproses perolehan (Semiawan, 1992 :18). Menurut pendapat Moedjiono dan Dimyanti (1992:14) pendekatan keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa.
Adapun keterampilan proses itu macamnya ada dua, yaitu basic skills dan integrated skills. Basic skill atau keterampilan dasar meliputi kegiatan : observasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan, sedangkan integrased skill atau keterampilan mengintegrasikan meliputi kegiatan-kegiatan : mengidentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik, menggambarkan hubungan antara variabel, mengumpulkan data dan mengolah data, menganalisis penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional merancang penelitian dan melaksanakan eksperimen. Keterampilan proses itu dalam kajian-kajian mutakhir, sebagaimana dipaparkan Santyasa (2005) termasuk dalam rumpun model pembelajaran problem based instruktion dan model group investigation. Hanya saja dalam pelaksanaannya parlu disesuaikan dengan pokok-pokok bahasan dalam kurikulum SD. Adapun dalam pelaksanaannya menuntut sejumlah keterampilan dasar untuk mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian dan mengkomunikasikan hasilnya kepada guru dan kelompok kerja siswa di kelas.
Atas dasar beberapa konsep tersebut, dapat disimpulkan bahwa keterampilan proses adalah keterampilan yang diperoleh para siswa dalam melaksanakan kegiatan observasi, klasifikasi, interprestasi, memprediksi (meramalkan), measurement (pengukuran) dan komunikasi (menghubungkan) terhadap suatu topik persoalan. Dalam konteks ini pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan para siswa dengan sejumlah prasarat keterampilan dasar (basic skills) berpikir dan bertindak yang memadai.
Dalam pengelolaan proses belajar-mengajar inovatif, ada banyak faktor yang menjadi komponen-komponen proses tersebut, antara lain : siswa, guru, tujuan, isi pelajaran, metode , media, evaluasi. Demikian pula apabila dilihat dari dimensinya maka terdapat tiga macam dimensi, yaitu dimensi perencanaan dan pelaksanaan, dan evaluasi. Pada strategi dimensi perencanaan, seorang guru dituntut untuk memikirkan dan mengupayakan secara strategis merumuskan, memilih, dan menetapkan tentang aspek-aspek dari komponen-komponen pembentukan sistem pengajaran yang ada sehingga aspek-aspek yang diperlukan berinteraksi dan berintegrasi secara konsisten.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan PBM, pembelajaran inovatif mempersyaratkan adanya bermacam strategi belajar mengajar dalam rentangan ekspositoris dan heuristik. Ekspositoris dimaksudkan suatu strategi belajar mengajar yang menyiasati agar aspek-aspek pembentukan sistem instruksional mengarah pada tercapainya isi pelajaran kepada siswa secara langsung. Sedangkan, heuristik adalah suatu strategi belajar mengajar yang menyiasati agar aspek-aspek pembentukan sistem instruksional mengarah kepada keaktifan siswa untuk menemukan sendiri fakta, prinsip dan konsep yang diperlukan oleh siswa. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa guru SD perlu memahami dan melaksanakan strategi belajar mengajar yang tepat, agar tujuan dapat dicapai dengan sebaik-baiknya.
Pada dimensi evaluasi, para guru dituntut untuk dapat melaksanakan proses belajar mengajar secara baik, baik di dalam membuat persiapan mengajar, maupun menentukan rumusan tujuan-tujuan pengajaran yang diinginkan. Tujuan yang telah dirumuskan itu harus dievaluasi tingkat keevektivan proses dan tingkat keoptimalan hasil-hasilnya. Evaluari proses itu, sebagaimana dijelaskan Mardapi (2005), dapat dilakukan dengan penerapan asesmen portofolio, yaitu suatu jenis evaluasi yang bersifat menyeluruh yang bisa mencakup pekerjaan rumah, tugas kelas, tes buatan guru, komposisi atau karagan, presentasi, penyelidikan, ceklis pengamatan, seni visual, refleksi diri dan analisis ceklis, produk grup, bukti keterampilan sosial, catatan anekdot, laporan naratif, hasil tes baku, photo, dan unjuk kerja proyek siswa. Menurut Mardapi (2005:10), di Sekolah Dasar portofolio bisa mencakup semua aspek tersebut, baik portifilio proses maupun portofolio hasil-hasil belajar dan karya terbaik siswa.
DAFTAR PUSTAKA
- Ansyar, Mohammad dan Nurtain, 1992. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- Arbi, Sutan Zanti dan Syahmiar Syahrun, 1992. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- Conny R.Semiawan, 1992. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta : Grasindo
- Hasibuan dan Moedjiono, 1986. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Karya
- Mardapi, Djemari. 2005. Asesmen Portofolio. Makalah. Disampaikan pada Seminar Lokakarya Asesmen Berbasis Kompetensi IKIPN Singaraja, 28 Juli 2005.
- Moedjiono dan Moh. Dimyati, 1992. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- Mulyani Sumantri dan Johar Permana, 1998/1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan
- Roestiyah, 1986. Masalah Pengajaran Sebagai Suatu Sistem. Jakarta : Bina Aksara
- Santyasa, Wayan. 2005. ‘Inovasi Pembelajaran’. Makalah disajikan dalam Penataran guru-guru SD, SMP, SMA dan SMK se Kabupaten Jembrana, Juni-Juli 2005
- Sarna, Ketut. 1997. ‘Model Pengelolaan SD-Kelompok Kecil di Daerah Sulit (Suatu Inovasi Kebijakan Pendidikan). Aneka Widya. Edisi Khusus No. 2 (30): 1-15.
- Subandijah, 1992. Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. Jakarta : Grafindo Persada
- Sucipto dan Basori Mukti, 1991/1992. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- Suharsono, Naswan. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PP3M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
0 komentar:
Posting Komentar