SIFAT-SIFAT DAN KEADILAN ALLAH DALAM PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMADIYAH
Dalam sejarah perkembangan pemikiran teologi Islam, dikenal adanya dua corak pemikiran, yaitu rasional dan tradisional. Masing-masing corak pemikiran memiliki pendukung, landasan berpikir dan dampak dalam kehidupan umat Islam hingga saat ini. Harun Nasution memandang aliran-aliran teologi terbagi ke dalam empat macam, dua kelompok lebih dekat kepada corak rasional dan dua yang lain lebih dekat kepada corak tradisional (Muhaimin, 2000:20-21). Aliran Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand dikenal lebih dekat kepada corak teologi rasional, sedangkan Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara lebih dekat kepada corak teologi Islam tradisional.
Ciri yang paling menonjol dari corak teologi Islam rasional adalah memberikan kedudukan yang tinggi pada akal manusia. Hal ini memberikan dampak dalam kehidupan, yaitu dinamis dalam bersikap dan berpikir. Adapun corak teologi Islam tradisional memberikan kedudukan yang tinggi kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Allah dan menempatkan akal manusia pada kedudukan yang lebih rendah (lihat Zar, 2001:20-22). Dampaknya dalam kehidupan adalah kurang dinamis kalau tidak dibilang statis dalam bersikap dan berpikir.
Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang didirikan oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8 dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta, adalah manifestasi dari identifikasi sebagai gerakan tajdid. Bagi Muhammadiyah, tajdid ini diartikan sebagai usaha untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni (Mughni, 1990:273), sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an dan hadits. Muhammadiyah sendiri, dalam pernyataannya tidak pernah menegaskan tentang teologi Islam yang dipergunakannya, apalagi teologi Muhammadiyah itu sama dengan Maturidiah.
Untuk itu, dalam tulisan ini akan dielaborasi tentang corak teologi Muhammadiyah dengan menganalisis dalam hal pandangan Muhammadiyah tentang sifat-sifat dan keadilan Allah.
Sifat-Sifat Allah
Permasalahan yang muncul dalam hal sifat-sifat Allah yaitu apakah Allah memiliki sifat atau tidak. Keyakinan umat Islam, sebelum timbulnya permasalahan ini adalah bahwa Allah memiliki sifat-sifat azali tanpa mempermasalahkan tentang keberadaan sifat-sifat itu. Namun, setelah Abu Muhriz Jahm ibn Shafwan (w. 128 H/745 M), tokoh paham jabariyyah, membawa pemikiran yang menafikan sifat-sifat bagi Allah, umat Islam pun terbagi kepada dua golongan; pertama, shifatiyyah yaitu golongan yang mengakui keberadaan sifat-sifat bagi Allah dan kedua, mu’aththilah yaitu golongan yang menafikan keberadaan sifat-sifat bagi-Nya (al-I’bar, 1977:50).
Mu’tazilah berpandangan bahwa Allah tidak memiliki sifat yang berdiri sendiri. Paham ini didasarkan pada tauhid, yakni mensucikan Allah dari syirik.
Aliran ini menafikan sifat-sifat-Nya yang berdiri sendiri, sebab dengan adanya sifat bagi Allah, maka hilanglah keesaan-Nya. Dalam hal ini tidak bisa diartikan bahwa Mu’tazilah tidak mengakui Allah yang Qadir, 'Alim, dan sebagainya. Tetapi, mereka menolak eksistensi sifat-sifat Allah sebagai sesuatu yang kekal (Qadim) di samping dzat-Nya yang kekal (Syahrastani, 1979:45). Aliran ini mengemukakan dua pengertian yang muncul dari adanya sifat bagi Allah, yaitu sifat tersebut kekal (qadim) dan sifat itu diciptakan (muhdats). Pcngertian pertama, rnengakibatkan ada banyak yang kekal (ta'addud al-qudama') yang membawa kepada paham syirik. Pengertian kedua, jika sifat diciptakan, maka harus ada yang menciptakan. Permasalahan yang muncul adalah siapakah yang menciptakan sifat-sifat bagi Allah. Jawaban untuk permasalahan ini dapat ditemukan dua macam: pertama, dzat Allah yang kekal yang menciptakan sifat-sifat bagi diri-Nya; kedua, adanya kekuasaan lain yang menciptakan sifat-sifat bagi diri-Nya. Dalam hal ini, ‘Abd al-Jabbar menegaskan ketidakmungkinan terjadinya dua hal tersebut (al-Jabbar, 1965:195-196).
Diskursus tentang sifat-sifat Allah berkembang sampai pada persoalan sifat jasmani yang dimiliki-Nya sebagaimana yang digambarkan oleh nash, yang menyatakan Allah memiliki tangan, wajah, kursi, bertahta dan sebagainya. Ayatayat yang demikian termasuk ke dalam ayat-ayat yang samar-samar maknanya (mutasyabihah), yang dapat membawa kepada paham tasybih atau antropomorfisme (Ibn Muhammad, 1961:2). Kaum Mu’tazilah menggunakan takwil (al-Jalian, tth.:49-50) terhadap nash yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat jasmani, sehingga tidak tergambar ada tasybih pada nash tersebut.
Kata al-yad (tangan) yang terdapat dalam surah al-Dzariyat/51: 47, ditakwil dengan kata al-quwwah atau al-qudrah yang menunjuk kepada arti kekuasaan atau kekuatan (al-Jabbar, tth.:403).
Aliran Asy’ariah bcrpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat. Adanya sifat-sifat tersebut menurut Abu al-Hasan al-Asy’ari dapat diamati melalui kejadian alam semesta dan penciptaan manusia itu sendiri. Perbuatan Allah di alam ini adalah bukti dari adanya sifat-sifat-Nya. Semua sifat Allah bersifat kekal (qadim). Ia berada pada dzat Allah dan menjadi sifat dzat-Nya. Al-Ghazali memperjelas adanya sifat bagi Allah dengan menyatakan bahwa semua sifat Allah bersifat kekal dan tidak mungkin pada dzat yang kekal berada sifat yang tidak kekal (al-Ghazali, tth.:403).
Berangkat dari hal di atas, dapat dipahami bahwa Asy’ariah dalam memahami sifat-sifat Allah tidak sesuai dengan mu’aththilah. Artinya, sifat- sifat Allah diakui keberadaannya. Sebab, hal ini merupakan kelanjutan dari paham kekuasaan dan kehendak mutlak Allah dimana teologi tradisional terpasung pada arti tekstual yang pada gilirannya mereka tidak menerima takwil kecuali menyerahkan hakikat ayat-ayat mutasyabihah hanya kepada Allah semata tanpa mempertanyakan lebih dalam lagi bagaimana hakikatnya (al-Asy’ari, 1410H:11). Pandangan ini hampir sama dengan pemikiran kaum Salaf (Hilmi, 1983:59).
Golongan Salaf menerima adanya sifat-sifat bagi Allah apa adanya sebagaimana dinyatakan oleh nash tanpa tasybih dan tanpa melakukan takwil.
Pandangan Muhammadiyah tenlang sifat-sifat Allah dijelaskan dalam buku sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013: 13-14):
Dialah Tuhan yang sebenarnya, yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah yang pasti adanya (5). Dialh yang pertama tanpa permulaan, dan akhir tanpa penghabisan (6). Tiada sesuatu yang menyamai-Nya (7). Yang Esa tentang ketuhanan-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya (8). Yang hidup dan pasti ada dan mengadakan segala yang ada (9). Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat (10). Dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu ( 1 1 ) . Perihal-Nya apabila Ia mcnghendaki sesuatu la sabdakan; Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu (12). Dan Dia Maha Mengetahui segala yang mereka kerjakan ( 1 3 ) . Yang bersabda dan memiliki segala sifat kesempurnaan. Yang suci dari sifat mustahil dan segala sifat kekurangan ( 1 4 ) .Dialah yang menjadikan segala sesuatu menurut kemauan dan kehendak-Nya. Segala sesuatu ada di tangan-Nya dan kepada-Nya akan kembali (15).
Berangkat dari pernyataan Muhammadiyah di atas menggambarkan sifat-sifat Allah yang diakuinya sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013: 13-14):
1.al-wujud (ada), 2. al-qidam (awal tanpa permulaan), 3. al-baqa’, (akhir tanpa ujung), 4. mukhalafah li al-hawadits (tiada sesuatupun yang menyamainya), 5. al-wahdaniyah (esa), 6. al-hayah (hidup), 7. qiyamuhu bi nafsih (berdiri sendiri), 8. al-sam’ (mendengar), 9. al-bashar (melihat), 10. al-qudrah (berkuasa), 11. al-iradah (berkehendak), 12. al-'ilm (mengetahui), dan 13. al-kalam (berfirman).
Pernyataan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih di atas menunjukkan sifat Allah yang ketiga belas tidak ada penjelasan lebih lanjut. Namun, dari bahan pelajaran yang diberikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ditetapkan berdasarkan Rapat Kerja Pendidikan Muhammadiyah Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, disusun berdasarkan buku Himpunan Putusan Tarjih tampak dalam buku ini, sifat-sifat bagi Allah diuraikan sccara terinci dimulai dari sifat pertama, wujud, sampai dengan sifat ketigabelas, al-kalam (Majid at.al., 1984:74-101). Perumusan sifat yang demikian jelas menggambarkan paham Asy’ariah yang mengelaborasi tentang sifat- sifat Allah.
Meski Muhammadiyah mengambil paham Asy’ariah, tetapi kelihatannya ia tidak membahas mengenai hubungan sifat dan dzat Allah. Dari itu tidak diketahui bagaimana pendapat mereka dalam hal ini, apakah sifat Allah bersifat kekal sama halnya dengan dzat, atau ia merupakan 'ain dzat. Pembicaraan yang demikian kelihatannya memang dihindari oleh Muhammadiyah, karena masalah tersebut menurut mereka termasuk dalam lingkup pembahasan yang tidak terjangkau oleh akal, seperti yang disebutkan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:14):
Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai akal dalam hal kepercayaan (16). Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka janganlah engkau bicarakan hal itu (17). “Tak ada kesangsian tentang adanya. Adakah orang ragu tentang Allah yang menciptakan langit dan bumi? (Surah Ibrahim /14:10).
Berdasarkan pernyataan yang demikian, tampaknya Muhammadiyah cenderung kepada metode Salaf dalam memahami sifat-sifat Allah. Dan pada gilirannya, Muhammadiyah hanya mengimani apa yang ditunjukkan oleh nash. Bahkan, pandangan Muhammadiyah tentang ayat-ayat yang maknanya tersamar (mutasyabihah), yang menunjuk adanya sifat-sifat jasmani pada Allah, sejalan dengan pandangan Muhammadiyah terhadap sifat-sifat-Nya, yaitu menerima sifat-sifat tersebut sebagaimana adanya tanpa menyamakan Allah dengan makhluk.
Pandangan yang demikian, didasarkan kepada surat al-Syura/42:11, sama dengan ayat yang dijadikan dusar oleh kaum Salaf. Muhammadiyah menegaskan tentang keyakinan yang benar, yaitu yang tidak terdapat sesuatu yang mengurangi kesucian dan ketinggian Allah. Oleh karena itu, jika terdapat kata-kata yang pada lahirnya menunjuk kepada hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan, maka pengertiannya harus diserahkan kepada Allah. Sebab, dalam hal ini, hanya Allah sendiri yang mengetahui maksud yang sebenarnya.
Lebih lanjut, dalam buku Himpunan Putusan Tarjih diungkapkan sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:17-18):
Adapun syarat yang benar tentang kepercayaan, dalam hal ini ialahjangan ada sesuatu yang mengurangi keagungan dan keluhuran Tuhan, dengan mempersamakan-Nya dengan makhluk. Sehingga andaikata terdapat kalimat-kalimat yang kesan pertama mengarah kepada arti yang demikian, meskipun berdasarkan berita yang mutawatir (meyakinkan), maka wajiblah orang mengabaikan makna yang tersurat dan menyerahkan tafsir arti yang sebenarnya kepada Allah.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak menerima takwil sebagaimana dilakukan oleh Mu’tazilah. Muhammadiyah memahami sifat-sifat Allah sebagai yang dinyatakan oleh nash, tidak disamakan dengan makhluk dan tidak mencari pengertian lain dari yang ditunjuk oleh nash. Muhammadiyah mengembalikan pengertiannya kepada Allah. Oleh karena itu, sikap Muhammadiyah dalam persoalan ini sama dengan kaum Salaf, yaitu menerima adanya sifat bagi Allah, tidak menyamakan dengan makhluk dan tidak melakukan takwil. Walaupun demikian, dalam Himpunan Putusan Tarjih juga diperoleh pernyataan yang seakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah menerima takwil, sebagaimana tertuang pada buku tersebut sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:18):
“Atau dengan mentakwilkan berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima”.
Makna takwil dalam kalimat di atas tidak diterangkan, apakah takwil dalam arti tafsir, atau takwil al-kitab bi al-kitab sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, atau dalam pengertian istilah mutakallimin yang umum dalam memahami masalah-masalah akidah (Rusydi, tth.:19). Di samping berlawanan pula dengan metode Salaf yang mereka ikuti dalam memahami sifat Allah. Dengan demikian, takwil di sini adalah dalam pengertian tafsir, dengan alasan-alasan (qarinah) yang ditunjukkan oleh nash. Dan bukan penakwilan dengan akal secara bebas.
Penakwilan yang demikian ditemukan dalam pendapat para tokoh Muhammadiyah yang terkadang memahami ayat secara tekstual dan terkadang menakwilkan dalam arti tafsir. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, misalnya, memahami kata al-yad dalam surat al-Fatfi/48:10 dengan menafsirkannya sesuai dengan konteks kalimat. Ia mengatakan bahwa Allah hadir bersama-sama dengan orang yang membuat bai’at, mendengar perkataan mereka, melihat tempat mereka dan mengetahui rahasia batin mereka, maka seakan-akan Allahlah yang mengulurkan tangan-Nya dalam rangka menerima bai’at yang mereka berikan (Ash-Shiddieqy, 1973:118).
Adapun tokoh Muhammadiyah yang lain, seperti H.A. Malik Ahmad menjelaskan tentang metode Muhammadiyah dalam memahami akidah. Ia menegaskan bahwa apa yang dibawa al-Qur’an dan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW telah lengkap untuk diyakini serta diimani dan tidak memerlukan pembicaraan yang lebih lanjut (Lubis, 1993:75-76).
Dalam salah satu tulisannya ia mengatakan pula, bahwa dzat Allah Maha Sempurna lagi Maha Mulia, tidak layak untuk dikutik-kutik dengan pembicaraan yang mendalam. Bagi umat Islam, mcnurut pendapatnya adalah mengimani pokok-pokok akidah, dan hakikat yang lebih mendalam hanya Allah yang mengetahuinya (Ahmad, 1983:95-96). Pembahasan yang mencari keterkaitan antara dzat dan sifat Allah merupakan pembicaraan yang dipengaruhi oleh pikiran-pikiran di luar Islam; dan sama halnya dengan Ibn Taimiyah dan Imam Malik, ia pun berpandangan bahwa pembicaraan tersebut termasuk bid’ah (Ahmad, 1983:95-96).
Dalam hal ini, K.H. Mas Mansyur mengungkapkan sikap seorang Muslim dalam memahami sifat-sifat Allah, sebenarnya “tidak tahu”, namun tunduk kepada syari’at Islam (Lubis, 1993:26). Maksud ungkapan “tidak tahu” adalah pernyataan bahwa masalah tersebut tidak perlu diketahui dan dikaji secara mendasar. Oleh karena itu, jika seseorang ditanya tentang hakikat sifat dan dzat Allah, maka jawabannya adalah “tidak tahu”. Tetapi, bukan menutup diri dari menjelaskan sesuatu yang diketahui. Sedangkan yang dimaksudkannya dengan tunduk kepada syariat Islam yakni menyakini apa yang dibawa dan diberitakan oleh nash (Lubis, 1993:26).
Selanjutnya, H.A. Malik Ahmad pun agaknya menempuh cara yang demikian. Ia membagi sifat-sifat Allah kepada sifat-sifat zat dan sifat ma’ani, sifat ma’nawiyyah dan sifat salbiyyah (lihat Ahmad, 1983:80-95), sebagaimana katagorisasi yang dilakukan oleh Asy’ariah tentang sifat Allah. Karena itu, H.A Malik Ahmad, tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh aliran Asy’ariah. Bahkan Hamka, juga menerima adanya sifat-sifat yang dimiliki Allah. Keberadaan silat-sifat tersebut menurutnya, juga dapat diyakini melalui alam ciptaan-Nya (Hamka, 1984:41). Sama halnya dengan tokoh Muhammadiyah di atas, ia pun memandang tidak mempermasalahkan sifat-sifat Allah dengan pembicaraan yang panjang lebar. Sikapnya dalam hal ini, seperti yang dikatakannya, adalah tunduk dan menyerah dan menerima dengan baik dengan tidak usah mencari tafsir tentang sifat-sifat Allah itu (Hamka, 1984:41). Akan tetapi dalam hal ini ia pun kelihatanya mengambil rumusan sifat-sifat Allah yang dibawa oleh Asy’ariah dengan menyatakan sifat-sifat wujud, qidam, baqa’, dan sebagainya.
Keadilan Allah
Pembahasan tentang keadilan Allah sangat erat keterkaitannya dengan perbuatan manusia, kehendak dan kekuasaan Allah, dan bahkan dengan janji-janji-Nya terhadap manusia. Keadilan merupakan salah satu sifat-sifat Allah. Karena terdapat perbedaan paham dalam aliran-aliran teologi Islam mengenai hal tersebut, maka berbeda pula paham mereka tentang keadilan Allah. Seperti Mu’tazilah yang memandang keadilan dari sudut kepentingan manusia, maka keadilan mereka artikan dengan memberikan kepada seseorang akan haknya (al-Jabbar, 1965:132).
Bagi Mu’tazilah, keadilan juga mengandung arti bahwa Allah wajib berbuat baik dan tidak dapat berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia. Oleh karena itu, Allah tidak dapat meminta pertanggung-jawaban kepada manusia atas perbuatan yang tidak dilakukannya dan tidak dikehendakinya atau membebani manusia dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan kesanggupannya (Madkour, 1995:190).
Namun, juga mengandung arti bahwa Allah berkewajiban berbuat yang terbaik bagi manusia, seperti tidak memberi beban yang terlalu berat pada manusia dan tidak memberi hukuman pada manusia atas kesalahan yang tidak dilakukannya.
Dalam pandangan Maturidiah Samarkand nampak lebih dekat dengan paham Mu’tazilah. Baginya, karena perbuatan manusia bukan perbuatan Allah, melainkan perbuatan manusia sendiri, maka jika manusia dihukum itu adalah atas perbuatan yang dilakukannya sendiri berdasarkan kebebasan yang telah diberikan Allah kepadanya dan di sinilah keadilan-Nya.
Sebagaimana paham Mu’tazilah, Maturidiah Samarkand juga memandang keadilan Allah dari sudut kepentingan manusia, namun tinjauan terhadap kepentingan manusianya lebih kecil dari yang diberikan Mu’tazilah (Nasution, 1986:124). Hal itu disebabkan karena yang mereka berikan pada akal dan batasan yang mereka berikan pada kekuasaan mutlak Allah lebih kecil dari yang diberikan oleh Mu’tazilah.
Adapun aliran Asy’ariah memandang keadilan Allah dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Keadilan mereka artikan dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya (al-Syahrastani, 1979:101). Dengan menempatkan Allah pada posisi pencipta mengandung arti bahwa Allah mempunyai kekuasaan mutlak dan bebas berbuat sekehendak hati-Nya terhadap milik-Nya. Inilah yang dinamakan dengan keadilan Allah. Sebaliknya, ketidak-adilan Allah menurut mereka berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya (al-Syahrastani, 1979:101).
Artinya, la berkuasa mutlak meskipun jika diumpamakan terhadap sesuatu yang tidak menjadi milik-Nya. Oleh karena itu, Allah tidaklah berbuat salah jika la memasukkan seluruh manusia ke dalam surga. Demikian juga tidaklah zalim jika la memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka (al-Syahrastani, 1979:102), meskipun hal itu tidak adil dalam pandangan manusia karena Allah berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.
Konsep keadilan Allah menurut Asy’ariah tersebut nampak bertentangan dengan konsep keadilan-Nya dari Mu’tazilah. Aliran Asy’ariah memandang keadilan Allah dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Namun, Mu’tazilah melihatnya dari sudut kepentingan manusia.
Adapun pandangan aliran Maturidiah Bukhara, tentang keadilan Allah, agaknya mengambil posisi yang lebih dekat dengan paham Asy’ariah. Bagi Al-Bazdawi (Dahlan, 1987:117), keadaan Allah bersifat bijaksana tidaklah mengandung arti bahwa di balik perbuatan-perbuatan-Nya terdapat hikmah-hikmah. Artinya, alam ini diciptakan Allah bukanlah untuk kepentingan manusia (Nasution, 1986:124).
Keadilan, bagi Asy’ariah, adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya (al-Syahrastani, 1979:58). Karena itu, Allah dapat berbuat sekehendak-Nya.
Untuk itu, kaum Asy’ariah merubah definisi yang biasa dipakai untuk keadilan, sehingga keadilan dalam hal ini sesuai dengan teori mereka tentang al-kasb (Abu Zahrah, 1996:216) serta tentang kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya (Nasution, 1986:127).
Selanjutnya, untuk memahami pembahasan tentang pandangan Muhammadiyah tentang keadilan Tuhan, di sini akan dibatasi pada pandangannya tentang iman pada hari akhir. Hal ini pun dituangkan dalam buku Himpunan Putusan Tarjih dengan ungkapan sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:20):
Kita wajib percaya tentang adanya Hari Akhir dan segala yang terjadi di dalamnya tentang kerusakan alam ini, serta percaya akan hal-hal yang diberitakan oleh Rasulullah SAW dengan riwayat mutawatir tentang kebangkitan dari kubur (54), pengumpulan di makhsyar
(55), pemeriksaan (56) dan pembalasan (57).
Kutipan di atas menggambarkan, bahwa kalangan Muhammadiyah mempercayai adanya kebangkitan di akhirat yang merupakan masa di mana manusia memperoleh hasil dari segala yang dilakukan ketika mereka di dunia. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan tersebut dengan mempercayai akan hal-hal yang diberitakan oleh Rasulullah SAW dengan riwayat yang bisa diandalkan keakuratannya (mutawatir) yang berkaitan dengan peristiwa kubur, makhsyar, pemeriksaan dan pada gilirannya dengan pembalasan.
Adapun proses manusia dari alam dunia menuju alam akhirat, Muhammadiyah membagi menjadi tiga kelompok, yaitu orang-orang kafir (alkafirun) dan orang-orang musyrik (al-musyrikun), orang-orang mukmin (almukminun al-'ashun) yang berbuat dosa, dan orang-orang mukmin yang benar-benar (al-mukminun al-shadiqun) dengan sasaran akhir dua tempat yaitu neraka (al-nar) dan surga (al-jannah). Hal ini bisa dilihat dalam buku Himpunan Putusan Tarjih sebagai berikut (PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2013:20-21):
Maka Allah memberi keputusan tentang perbuatan orang, lalu ada yang masuk neraka selama-lamanya tidak keluar dari padanya, yaitu orang-orang kafir dan orang-orang musyrik (58), dan ada yang masuk kemudian keluar dari neraka, yaitu orang-orang mukmin yang berbuat dosa (59).
Dan ada yang masuk surga dan kekal, yaitu orang-orang mukmin yang benar-benar (60).
Berangkat dari kutipan di atas, tampak paham Muhammadiyah tentang keadilan Allah dalam memberi keputusan terhadap perbuatan manusia berdasarkan kepatuhan manusia dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhkan diri dari larangan-Nya. Oleh karena itu, orang-orang kafir dan orang-orang musyrik akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Kemudian orang-orang mukmin yang berbuat dosa akan masuk kemudian keluar dari neraka.
Sedang orang-orang mukmin yang benar-benar akan masuk surga dan kekal di dalamnya. Dalam hal ini, tampak menunjukkan adanya kecenderungan
Oleh karena itu, dalam hal ini Muhammadiyah nampak cenderung pada paham yang dianut oleh al-Asy’ari, yakni corak teologi Islam tradisional.
DAFTAR PUSTAKA
- Abd. al-Jabbar. 1965. Syarh al-Ushul al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbah
- Abu Zahrah,Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd. Rahman dan Ahmad Qarib, Jakarta Selatan: Logos Publishing House
- Ahmad, H.A. Malik. 1983. Akidah: Pembahasan-pembahasan tentang Allah dan Taqdir, Jakarta: Al-Hidayah
- Asy’ari al-, Abu Hasan. 1410 H. Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah. Madinah: Markaz Syu’un al-Da’wah
- Dahlan, Abdul Aziz. 1987. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Bagian I: Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta
- Ghazali al-, Abu Hamid, Tth. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi
- Hamka. 1996. Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang
- Hilmi, Musthafa. 1983. al-Salafiyyah bayn al-'Aqidah al-lslamiyyah wa al-Falsafah al-Gharbiyah, Kairo: Dar al-Da’wah
- ‘Ibar al-, Abd al-Thif Muhammad, 1977. Al-Ushul al-Fikriyyah Ahl al-Sunnah Kairo: Dar al- Nahdhah
- Ibn Muhammad, al-Qhasim al-Husain. 1961. Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi
- Jalian al-, Muhammad al-Sayyid. Tth. Al-lmam ibn Taimiyyah wa Wadariyyat al-Ta'wil, Kairo: al-'Ukkaz
- Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan. Jakarta: Bulan Bintang
- Madkour, Ibrahim. 1995. Alirann dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakhir. Jakarta: Bumi Aksara
- Majid, H.Najah. 1984. Bidang Studi aI-Islam: Sub Bidang Studi Aqaid, Semarang:Aneka llmu
- Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Ul-Press, 1986
- Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan
- PP Muhammadiyah Majlis Tarjih. 2013. Kitab Himpunan Putusan Tarjih. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
- ……., Tth. 1971. Qa’idah Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Pimpinan Pusat-Majlis Tarjih
- Shiddieqy ash-, Hasbi. 1973. Tafsir An-Nur Jakarta: Bulan Bintang
- Syahrastani al-, Muhammad Ibn ‘Abd Karim. 1979. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr
SUMBER / CATATAN KAKI ARTIKEL DIATAS
1 Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah Palembang
0 komentar:
Posting Komentar