Pages - Menu

Historiografi Indonesia Dan Ideologi Ilmu Sosial

Historiografi Indonesia Dan Ideologi Ilmu Sosial 
Pertama-tama, menurut Gayatri Spivak, salah seorang pionir dalam Studi Poskolonial, dalam satu tulisannya, pendekatan ini berupaya “mendekonstruksi historiografi”. Apa arti “mendekonstruksi histoiogrfai”? Tulisan Gayatri Spivak ini sangat terkenal. Ia merupakan pengantar kumpulan tulisan-tulisan pilihan para sejarawan Subaltern Studies di India.[1

Historiografi artinya penulisan sejarah. Pertanyaannya kemudian, “siapa” yang menulis sejarah? Kalau kita tanya Kuntowijoyo, maka jawabnya, “sejarawan akademis”. “Sejarawan akademislah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut diri sebagai sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian”, tandas Kuntowijoyo.[2] Baginya, “tugas-tugas non-sejarawan dan cerita-cerita orang-orang hanyalah melengkapi tugas kaum sejarawan akademis, karena “[mereka, sejarawan akademis ini] mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis”.[3]

Bagi Spivak dan kalangan penulis Subaltern Studies, tentu ini problematik. Pertama, sebutan “akademis” mengandaikan sebuah kultur baru. Sementara sebutan “sejarawan” berfungsi mengukuhkan kultur tersebut. Selain itu, “akademisme” juga mengandaikan adanya sebuah kelas tersendiri, kelas terpelajar, yang muncul dari dunia “modern” dan “ilmiah”. Jadi, dalam historiografis “resmi” diperlukan aktor dan kultur. 

Lalu bagaimana mereka kemudian menulis sejarah Indonesia misalnya? Sejarah Indonesia, menurut Kuntowijoyo dalam bukunya, Metodologi Sejarah (1994), adalah sejarah modern dan ilmiah. “Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Sementara itu, kurun historiografi tradisional dapat dianggap berakhir dengan ditulisnya buku Critische Beschouwing van de Sadjarah van Banten oleh Hoesein Djajadiningrat pada tahun 1913”.[4] Sejarah modern ini menandai peralihan dari model Europasentris ke Indonesia-sentris, yakni lahirnya sebuah “historiografi nasional”. Kemudian, lanjut Kuntowijoyo, juga ada “keinginan untuk adanya suatu sejarah Indonesia yang ilmiah seperti ternyata dalam Seminar Nasional II di Yogyakarta pada tahun 1970. Keinginan itu telah memperluas ruang lingkup penulisan sejarah dengan masuknya pendekatan-pendekatan [ilmu sosial] baru.” (19)

“Jalan kedua ini telah menawarkan perluasan penulisan sejarah secara substantif, sebab dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial ruang lingkup sejarah Indonesia tidak lagi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang proses, tetapi juga mulai memikirkan mengenai struktur.” (20)

Apa yang disebut “historiografi modern” itu adalah historiografi nasionalis. Persisnya, historiografi elit-nasionalis. Buku suntingan Soedjatmoko, An Introduction to Indonesian Historiography (Cornell University Press, 1965), menandai awal terbentuknya dokumen historiografi elit-nasionalis, yang k mencapai puncaknya dalam Seri Sejarah Nasional Indonesia yang dsunting oleh Nugroho Notosoesanto dan kawan-kawan. Sementara karya Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Pustaka, 1984), menandai masuknya pendekatan ilmu-ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia. 

Makalah saya ini secara khsuus menyoroit aspoek yang etrkahir ini, yakni soal masuknya pendekatan ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia. Soalnya, klaim yang emngemuka dari tren ini adalah pada soal pentingnnya menekankan sejarah yang muncul dari bawah, sebuah sejarah sosial, yang berbeda dari kecenderungans ejarah elitis, yang hanya berkutat pada ceroita-cerota pembesar, kelompok elit dan militer. Menurut Sartono, historiografi elit-nasionalis telah mengabaikan suara-suara orrg kecil, misalnya suara kalangan petani.

Pertanyaannya saya tentunya adalah, mengapa mengungkap suara-suara petani itu misalnya melalui “ilmu-ilmu sosial”? Bagaimana ia diarahkan, dan apa hasilnya? Kita lihat apa yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo misalnya.

Sejarawan dari UGM Yogyakarta ini dikenal dengan dua proyek rintisannya: memperkenalkan searah petani sebagai aktor dalam historiografi Indonesia. Kedua, memperkenalkan pendekatan multi atau inter-disipliner, yakni pendekatan ilmu-ilmu sejarah ke dalam penulisan sejarah Indonesia. Tentu kita bisa bertanya, apa yang ditawarkan oleh Sartono tentang sejarah petani sebagai aktor ini dengan bantuan ilmu-ilmu sosial.

Menurut Sartono, pendekatan ilmu-ilmu sosial ini bersifat multidimensional dalam arti bahwa peristiwa-peristiwa searah dijelaskan sebagai hasil/akibat dari saling pengaruh berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, agama, dan lain-lain. Dalam studinya yang terkenal, Pemberontakan Petani Banten 1888 (1966), Sartono menggabungkan kajian historis dan sosiologis. Mengikuti sosiolog Amerika, Evans-Pritchard,[5] ia menyebut gerakan-gerakan sosial sebagai sebuah obyek kajian bersama sejumlah displin keilmuan. Yang menarik, Sartono dengan tegas menyebut bahwa konsep-konsep sosiologis layak dipertimbangkan untuk diadopsi dalam kajian sejarah dan historiografi. Konsep-konsep seperti “mileniaris”, “solidaritas dan konflik golongan”, dan juga konsep-konsep yang berkaitan dengan golongan, perilaku, organisasi, pengelompokan, pimpinan, ideologi dan sebagainya.[6

Lebih jauh lagi, Sartono ingin menunjukkan dalam kasus pemberontakan petani Banten 1888 bahwa gerakan petani adalah sebuah gerakan mileniaris, dimana ada kelompok elit yang menggerakkan petani melalui sejumlah kreasi simbolik dan magis-agama. Gerakan seperti ini, lanjut Sartono, muncul dalam kondisi dimana terjadi benturan antara tatanan tradisional dan tatanan baru yang dibawa oleh kolonialisme. Benturan itu oleh Sartono dilihat mengganggu keseimbangan masyarakat tradisional, yang kemudian melahirkan frustasi dan deprivasi, yang berkembang menjadi keresahan dan kegelisahan yang meluas, dan akhirnya mengarah kepada pemberontakan.[7

“Pemberontakan” semacam ini yang menarik perhatian Sartono dan sejumlah sejarawan lainnya yang suka dengan penerapan konsep ilmu sosial tentang “gerakan milenarian-mesianik” ke dalam penulisan sejarah. Mengapa pemberontakan petani Banten 1888 disebut gerakan milenarian? Sartono melihat peran agama yang dominan dan tokoh kharismatik yang berpengaruh. Dalam soal ini, Sartono tinggal menjiplak teori-teori ilmu sosial Barat yang sudah jadi tentang “peran agama dalam masyarakat tradisional” dan “manipulasi agama oleh tokoh-tokoh spiritual”. Ujung-ujungnya, Sartono ini ingin mengukuhkan asumsi bahwa gerakan petani mewakili mentalitas tradisional pra-politik, yang terbelakang dan primitif.

Jadi, ketika Sartono ingin memperkenalkan ilmu-ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia, yang pertama dilakukan adalah mengidentifikasi gerakan petani tersebut ke dalam konteks modernisasi yang melaju dengan kencangnya di bawah kendali kolonialisme. Kalau kemudian terjadi benturan antara nilai-nilai yang lama dan yang baru, maka reaksi yang muncul ada dua: yang tradisional dan yang rasional-modern. Yang pertama berbentuk gerakan milenarian atau Ratu Adil, sementara yang terakhir berbentuk organisasi modern. Orang-orang yang menentang laju modernisasi dan kemudian memberontak sebagian dianggap sebagai orang-orang yang frustasi dan kecewa, dan sebagian juga karena manipulasi para kaum elitnya yang memperalat agama. Bahkan Sartono menyebut kalangan petnai masih terjerat oleh web of magic (jejaring magis), seperti jimat, jampi-jampi, ramalan-ramalan dan ilmu-ilmu kekebalan. [8

Demikian pula yang dilakukan misalnya Kuntowijoyo dalam studinya tentang Kiai Mahfud Sumalangu. Kiai Mahfud Sumalangu dari Kebumen adalah tokoh lasykar Hizbullah di era Revolusi yang memerangi pendudukan Belanda di Banyumas Selatan. Kemudian, Kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas usul Jenderal AH. Nasution. Antara lain berupa ketentuan bahwa komandan batalyon TNI haruslah berijazah. Dan ijazah itu hanya dibatasi pada keluaran atau lulusan beberapa lembaga pendidikan saja. Tidak termasuk pesantren. Kiai Mahfud pun tidak diperkenankan menjadi komandan batalyon di Purworejo. Sebagai gantinya, diangkat seorang perwira muda bernama Ahmad Yani, yang kemudian terkenal sebagai “pahlawan revolusi”. Akibatnya, kiai kita ini mendirikan Angkatan Oemat Islam (AOI) pada tahun 1950-an yang kemudian dinyatakan oleh Ahmad Yani sebagai “pemberontak”.[9]

Lalu, bagaimana kemudian Kuntowijoyo menulis kembali apa yang disebutnya “sejarah lokal’ itu? Dalam satu artikelnya, “Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan tentang Gerakan Islam Lokal 1945-1950”,[10] ia menulis demikian: 

“Tampak sekali bahwa sebagai gerakan Islam, AOI mengikuti pola kebudayaan santri pedesaan abad 19 – sesuatu yang “aneh” karena pada tahun 1950-an itu gerakan Islam lain cenderung bersifat urban, reformis, dan dinamis. [Catatan kaki] Bupati Purworejo menerangkan bahwa Kiai Mahfud tidak suka pada politik dan pada Masyumi. ... Bukan kebetulan jika semua anggota AOI di pedesaan Kebumen kini masuk NU.

Lebih dari segalanya, kasus AOI adalah suatu problem sosial. AOI bukan semata-mata badan kelasykaran, tapi suatu pergerakan sosial, lebih tepatnya suatu pergerakan sosial yang abortif, karena gagal mencapai sasaran pergerakannya. Dalam menyelesaikan problem sosial, yang sebagain anggota masyarakatnya memisahkan diri, sebaiknya diadakan sosialisasi. ... 

Kini tampak bahwa sudah saatnya ilmu-ilmu sosial mendapat perhatian untuk menyelesaikan problem-problem sosial seperti itu.”[11]

Sekali lagi, Kuntowijoyo – dengan intonasi yang lebih tegas -- melanjutkan semangat Sartono Kartodirdjo untuk melihat mentalitas masyarakat tradisional yang “terbelakang”. Suara dan gerakan perlawanan mereka bukan dianggap sebagai gerakan politik yang sebenarnya. Mereka disebut “pemberontak”, “gerakan yang gagal dan abortif”, “orang ndeso yang aneh”, dan “kaum NU yang budayanya berasal dari abad 19, yang jumud dan terbelakang”. Memang cukup aneh, para sejarawan melanjutkan tesis “kriminalisasi korban” yang dilakukan oleh para elit dalam sejarah.

Pandangan-pandangan “kriminalisasi” dan “modernisasi” seperti ini pula yang dipakai oleh Taufik Abdullah terhadap kelompok adat di Sumatera Barat.[12] dan juga Onghokham terhadap pelaku gerakan-gerakan rakyat di Jawa. Menurut Taufik Abdullah, perjumpaan suatu masyarakat dengan kekuatan luar yang lebih kuat menciptakan problem yang tidak pernah muncul sebelumnya. Ketidamampuan mengatasi tekanan dan desakan dari luar tersebut bisa membawa kepada sikap frustasi dan kekecewaan. Wujud paling nyata dari sikap tersebut, lanjut Taufik, adalah pemberontakan. Sementara respon positif dan sikap dewasa yang bisa diambil adalah dengan menyesuaikan dari dengan tekanan luar itu, dan dari situlah lahir modernisasi. 

Sementara dalam analisis Onghokham, kalau penduduk pedesaan tidak dapat menerima atau tidak mau menerima keadaan kolonial, maka mereka mencari jalan keluar. Yakni melalui gerakan-gerakan seperti saminisme, agama Dul, Jawadwipa, dan lain-lain, gerakan-gerakan “perdukunan” yang sifatnya magis dan selalu setengah rahasia dan setengah memberontak terhadap konvensionalisme masyarakat. Jalan lain adalah menjadi perampok. Saluran lainnya lebih elitis, yakni melalui organisasi-organisasi modern, melalui pergerakan nasional.[13] Dan bukanlah disengaja kalau Onghokham mengelompokkan ke dalam satu gerbong gerakan-gerakan “saminisme, agama Dul, Jawadwipa, perdukunan, yang magis dan setengah rahasia” ini dengan aksi-aksi kriminal. 

Apa yang ditulis Onghokham ini mewakili imajinasi yang muncul di kalangan elit-nasionalis tentang kriminalisasi serupa yang diperkenalkan oleh kalangan cerdik-cendekia kolonialis Belanda. Mereka dianggap berbahaya bukan cuma karena bersifat rahasia, bergerak di bawah tanah dan berpotensi memberontak. Tetapi juga karena keyakinan mereka yang berbau magis dan takhayul, seperti perdukunan yang memungkinkan pergerakan mereka sulit dikendalikan dan dikontrol. Imajinasi kalangan nasionalis tentang pengkriminalisasian kelompok-kelompok inilah yang mengarahkan bentuk-bentuk pengawasan dan kontrol terhadap kelompok subaltern.

Dengan demikian, pada analisa akhir, pengenalan ilmu-ilmu sosial ke dalam historiografi Indonesia, hanya memungkinkan “suara luar” berbicara, yang kemudian diinternalisasi oleh sejarawan Indonesia yang menulis sejarah bangsa mereka sendiri. Dalam bahasa Homi Bhabha, apa yang dilakukan Sartono, Kuntowijoyo, Taufik Abdullah dan Onghokham adalah sebuah “internalisasion of the other as the self”.[14] Mereka mencari sesuatu yang modern dalam sejarah Indonesia, tapi “yang modern” itu justru dipaksakan dari luar. Mereka mencari sesuatu “yang meng-Indonesia” dalam sejarah, tapi justru pencarian identitas nasional semacam itu didikte dari desain global ilmu-ilmu sosial Amerika. Mereka mencari suara-suara “orang bawah” dalam sejarah Tanah Air, tapi mereka diarahkan dari luar untuk mengarahkan suara bawah itu mengikuti arus modernisasi untuk bisa bersuara dengan sebenarnya.

Itulah yang menjadi keberatan para penulis Subaltern Studies, dan sejumlah kalangan pengkritik Poskolonial. Dalam pandangan mereka, historiografi semacam itu hanya merupakan kelanjutan dari historiografi nasionalis-elit maupun dari kaum borjuis-kolonial. Suara subaltern diangkat, tapi tidak lagi otonom, dengan segenap kesadaran mereka sendiri. Kalangan petani diceritakan, tapi diarahkan hanya merupakan perpanjangan dari manipulasi kalangan elit agama kharismatik. Siasat-siasat dan strategi politik mereka dikriminalisasi sebagai “pemberontakan”. Politik mereka dianggap bukan “politik sebenarnya”, alias pra-politik (pre-political) atau primitif (Sartono misalnya mengikuti analisis Hobsbawm tentang “primitive rebellion”). Akibatnya, dengan mengikuti paradgma ilmu-iomu sosial modernis, segenap kesadaran, pandangan dunia dan paham keagamaan para petani hanya dinilai sebagai cerminan dari mentalitas masyarakat tradisional yang terbelakang (backward).

Dengan kata lain, perkenalan pendekatan dan konsep-konsep ilmu-ilmu sosial itu tidak terlepas dari cara atau proses bagaimana ilmu-ilmu sosial Amerika itu diperkenalkan ke Asia tenggara. Artinya, yang diperkenalkan oleh para sejarawan Indonesia di atas jelas bukanlah ilmu-ilmu sosial kritis, tapi justru ilmu-ilmu sosial yang fungsional. Yakni, yang mengemban misi “memperadabkan bangsa-bangsa Timur”, dan juga untuk melapangkan jalan kapital masuk ke negara mereka. Dalam konteks bangsa kita, masuknya Freeport dan perusahaan-perushaan multinasional di akhir 1960-an, bersamaan dengan masuknya ilmu-ilmu sosial “baru” yang berorientasi pada “pembangunan mentalitas” dan penekana pada pentingnya “etos kerja, enterpreneurship dan prestasi”. 

Lebih jauh, seperti kita lihat dalam analisis Noam Chomsky, masuknya ilmu-ilmu sosial semacam itu juga ditandai dari munculnya Perang Vietnam era 1960-an, dimana para petani dan masyarakat pedesaan menjadi aktor perlawanan terhadap invasi Amerika. Waktu itu, di kalangan akedemik Amerika muncul kesadaran akan pentingnya menjinakkan para petani, kalau perlu melumpuhkan basis politik mereka, dengan membuatnya menjadi “citizen” atau “kelas pekerja”. Maka muncullah jurnal Asian Survey di tahun 1967 yang mengambil tema “Social Science and Vietnam”. Pengalaman AS dengan Vietnam sudah begitu kaya, sehingga bisa dikatakan Vietnam sebagai “laboratorium” atau “situs tes” ilmu-ilmu sosial modernis. Dan, sejak itu, ilmu-ilmu sosial Amerika masuk ke Asia Tenggara, dengan misi khusus menghabisi kalangan petani, serta untuk menggelar proyek urbanisasi dengan pengembangan kota-kota dan pembangunan mentalitas individual yang berorientasi kerja dan prestasi.[15

Lalu, petani? Ya, akan dianggap bukan pekerjaan yang punya masa depan. Dan pertanian akan menjadi korban pertama dari proyek modernisasi padat kapital yang digelar oleh negara. Dan anak-anak mudanya pun akan terbawa kepada sebuah cita-cita baru untuk menjadi kelas menengah urban yang nantinya ilmu-ilmu politik Amerika akan melabeli mereka sebagai “motor penggerak demokrasi” di Dunia Ketiga. 

Sejak rezim Orde Baru Suharto berkuasa, proyek modernisasi menjadi kata kunci. Masyarakat harus berubah, seiring dengan perlunya masyarakat meninggalkan ikatan tradisional menuju kepada satu bentuk masyarakat baru. Masyarakat baru itu dicita-citakan sebagai masyarakat modern, masyarakat industrial. Masyarakat agraris ditampik karena katanya tidak pas untuk kemajuan bangsa yang ingin “tinggal landas”.

Berbagai jenis kepercayaan masyarakat yang terkait dengan kultur agraris ini pun kemudian harus dirombak. Termasuk berbagai kepercayaan kalangan masyarakat desa, para petani dan orang-orang kampung. Apalagi trauma masa lalu muncul di situ, dengan PKI sebagai simbol besarnya. Dan dari sinilah pentingnya Clifford Geertz, Robert Jay, hingga William Liddle dan Robert Hefner untuk melapangkan jalan kapital masuk ke Indonesia.[16

Tentang pengaruh Geertz dan ilmu-ilmu sosial ini dalam penulisan sejarah Indonesia, lihat misalnya studi Arbi Sanit tentang sejarah petani dan hubungannya dengan PKI. Arbi Sanit banyak mengutip pandangan Geertz, terutama yang berkaitan dengan dikotomi santri-abangan. Mengapa PKI? “Karena PKI mempergunakan faktor tradisi dan agama masyarakat desa yang sifatnya tidak rasional sebagai saluran pengaruh,” demikian kesimpulan penelitian dan juga skripsi Arbi Sanit di tahun 1970-an atas anjuran Herbert Feith, “maka akibatnya secara disadari atau tidak PKI memelihara unsur tradisionalisme dalam masyarakat desa. Lihatlah bagaimana caranya PKI menyalurkan pengaruh melalui dukun, guru-guru kebatinan, dan sebagainya”.[17

Lalu, bagaimana kemudian menghadapinya? Ada dua strategi, penciptaan ketegangan dan sekolahisasi, seperti ditunjukkan dalam rekomendasi penelitian Arbi Sanit itu: 

Berkenaan dengan perubahan masyarakat desa, perpecahan agama dapat pula menjadi saluran; sejauh kecenderungan yang mengarah kepada terganggunya kestabilan masyarakat secara keseluruhan dapat dikuasai. Untuk itu hendaknya diciptakan suatu persaingan yang sehat dan dapat diambil manfaatnya di antara variasi keagamaan masyarakat desa [yakni antara santri dan abangan – AB].

Sebenarnya investasi di bidang pendidikan adalah jalan yang lebih rasional, sekiranya stabilitas masyarakat desa yang dikehendaki adalah stabilitas yang dapat menampung perubahan. Sebab melalui pendidikan, cara berpikir dapat dirubah dan diperluas, hingga menjadi rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.

Juga pendidikan merupakan cara terbaik untuk melatih petani memutuskan segala sesuatu dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Apabila ini tercapai barulah demokrasi dengan sistem pilihan dan kemungkinan di desa-desa ditegakkan.[18]

Tentu PKI sudah habis, jadi tidak diperlukan adanya strategi untuk menyekolahkan sebanyak-banyaknya orang-orang PKI atau menciptakan ketegangan sebanyak-banyak dalam tubuh PKI.

Tapi sekarang sasarannya kini adalah pada orang-orang atau kelompok yang “mempergunakan faktor tradisi dan agama masyarakat desa yang sifatnya tidak rasional sebagai saluran pengaruh,” orang-orang yang “memelihara unsur tradisionalisme dalam masyarakat desa”, dan “yang menyalurkan pengaruh melalui dukun, guru-guru kebatinan, dan sebagainya”. 

Historiografi Indonesia dan Pendekatan Poskolonial 
Lalu bagaimana suara dan kesadaran subaltern yang otonom itu? Bagaimana politiknya? Dalam pendekatan Subaltern Studies dan Studi Poskolonial ini, suara-suara marjinal diangkat kembali untuk merepresentasikan sesuatu yang sifatnya kontestasi. Ia hadir untuk menggugat otoritas politik dan keilmuan wacana imperial tentang identitas, budaya dan masyarakat. Historiografi kolonial dan historiografi nasional pun digugat dalam konteks ini.

Ini seperti dirangkum oleh Homi Bhabha: 
“Postcolonial criticism bears witness to the unequal and uneven forces of cultural representation involved in the contest for political and social authority within the modern world order. Postcolonial perspectives emerge from the colonial testimony of Third World countries and the discourses of ‘minorities’ within the geopolitical divisions of East and West, North and South. They intervene in those ideological discourses of modernity that attempt to give a hegemonic ‘normality’ to the uneven development and the differential, often diadvantaged, histories of nations, races, communities, peoples. They formulate their critical revisions around issues of cultural difference, social authority, and political discrimination in order to reveal the antagonistic and ambivalent moments within the ‘rationalizations’ of modernity. To bend Jurgen Habermas to our purposes, we could also argue that the postcolonial project, at the most general theoritical level, seeks to explore those social pathologies – ‘loss of meaning, conditions of anomie’ – that no longer simply ‘cluster around class antagonism, [but] break up into widely scattered historical contigencies’ ...

The postcolonial perspective ... departs from the traditions of the sociology of underdevelopment or ‘dependency theroy’. As a mode of analysis, it attempts to revise those nationalist or ‘nativist’ pedagogies that set up the relation of Third World and First World in a binary structure of oppositional. The postcolonial perspective resists the attempts at holistic forms of social explanation. It forces a recognition of the most complex cultural and political boundaries that exist on the cusp of these often opposed political spheres.”[19]

Itulah sebabnya cara-cara kerja Studi Poskolonial mirip yang dilakukan dalam studi dan analisis wacana atau kajian kesastraan. Istilahnya cara ber-“naratologi”-nya menjadi alternatif dalam penulisan sejarah atau historiografi. Yang mereka pentingkan dalam penulisan sejarah adalah plot, karakter, otoritas, bahasa, suara dan masa. Itu sbebanya mereka sering menggunakan cara-cara kerja naratologi strukturalis, semiologi Barthesian, dan analisis wacana Foucaldian. “The narrative in the document violates the actual sequence of what happened in order to conform to the logic of legal intervention which made death into a murder, a caring sister to a murderess, all the actants in this tragedy into defendants, and what they said in a state of grief into ekrars [depositions]”, tulis Ranajit Guha.[20

Naratologi Poskolonial seperti ini pernah diperkenalkan oleh Budi Santoso dari Realino dalam penulisan sejarah. Demikian pula, terlepas dari beberapa kekurangannya, esai-esai Melani Budianta dan Manneke Budiman tentang nasib orang-orang kecil dalam Republik. Buku saya, Islam Pasca Kolonial (2005), merupakan rintisan baru dalam historiografi Indonesia. Meski perlu dilanjutkan lagi dengan studi-studi yang lebih mendalam, buku ini mengangkat suara-suara terpendam dalam historiografi Indonesia yang selama ini didominasi oleh sejarah elit, sejarah militer atau sejarah kelompok-kelompok dominan dan terpelajar. Soalnya, yang bisa bersuara dan memberi warna atas segenap derap langkah sejarah hanyalah orang-orang yang punya akses dengan alat-alat produksi pen-suara-an itu. Posisi dan status sosial, kekuatan finansial, kemampuan tulis-menulis dan akses ke media, serta punya organisasi yang diizinkan untuk hidup. Mereka inilah yang punya identitas jelas dan namanya ditulis dalam sejarah. Di luar itu, yang ada hanyalah sebutan-sebutan seperti “massa”, “petani”, “pemberontak”, “perusuh”, atau “kelompok sesat dan bid’ah”.

Pendekatan Studi Poskolonial ini mengambil contoh seorang Jawa dari abad 19 yang berkeliling ke Eropa dan meneliti kebudayaan masyarakat sana dengan asumsi-asumsi ke-Jawa-annya. Artinya, orang Jawa ini muncul sebagai kebalikan dari para etnolog Eropa yang datang ke dunia Timur, dan menerapkan teorinya untuk meneliti masyarakat Timur yang dianggap primitif dan tidak beradab. Tapi legitimasi pengetahuan pribumi itu langsung dirontokkan oleh C. Snouck Hurgronje: “ia adalah orang awam di bidang sejarah, kurang pengetahuan atau kurang kemauan”.

Dalam perspektif seperti ini, sejarah berarti kritik. Sejarah bukanlah repliaksi atu pengualangan membabi-buta atas obyek-obyek, ideologi-ideologi maupun argumen-argumen kolonialis. Dengan sejarah sebagai kritik ini, studi Poskolonial berupaya menyelamatkan suara-suara pribumi yang tertekan, dari sejarah kolonial, dan untuk merambah wawasan-wawasan baru dalam historiografi yang baru, bukan hanya untuk ke masa lalu, tapi juga kepada perkara kelemahan mendasar masyarakat pribumi yang membuatnya begitu lama rentan dengan skema-skema luar ilmu-ilmu sosial, seperti yang dialami Kiai Mahfud Somalangu dan para petani Banten di atas.

“Coba Anda bayangkan, seorang Jawa yang pandai, yang ingin tahu dan hendak mempelajari pengaruh agama Kristen terhadap peradaban Eropa dan pergi menjelajahi Eropa dengan membawa Kitab Perjanjian baru dan beberapa buku tentang agama. Di sini ia menjumpai orang-orang Kristen membungkuk-bungkuk di hadapan patung-patung kayu dan batu yang menganggap Kitab Suci sebagai buku terlarang; di sana ia melihat orang-orang lain, yang mengakui firman Tuhan adalah petunjuk tunggal bagi agama, tetapi kebanyakan di antara mereka kurang berpengetahuan tentang isi Wahyu dibandingkan orang Jawa tadi. ... Kebodohan terdapat dimana-mana; kepercayaan dan perbuatan takhayul ada di banyak tempat sesuai dengan keadaan negerinya. Kesimpulan akhir dari penyelidik Jawa tadi ialah: agama Kristen menyelubungi masyarakat Eropa bagaikan selimut resi, selimut yang, oh! penuh dengan lubang, yang memperlihatkan pemujaan berhala kuno dengan gamblang. Kesimpulan demikian dapat dipahami, karena orang Jawa itu, betapapun ia berusaha ingin tahu, adalah orang baru atau orang awam di bidang sejarah. [Dalam catatan kaki] ... yang silau oleh kekurangan pengetahuan atau oleh kurangnya kemauan.”[21]

Kutipan di atas berasal dari C. Snouck Hurgronje, ahli kajian Islam asal Belanda. Ditulis pada 1883, enam tahun sebelum diutus ke Batavia sebagai penasehat urusan keagamaan dalam birokrasi kolonial Hindia Belanda. Tulisan Snouck ini menggambarkan situasi ketimpangan dalam relasi antara penjajah dan yang dijajah. Barat berhak menduduki dan mengkolonisasi Timur atas nama misi pemberadaban penduduk (civilizing mission). Barat dianggap sebagai produsen pengetahuan. Sedangkan Timur sebagai obyek atau konsumen pengetahuan. Dan instrumen efektif untuk kolonisasi itu adalah disiplin ilmu etnologi.

Etnologi ini merupakan rangkuman dari sekian tesis ilmu pengetahuan tentang budaya dan masyarakat orang-orang yang dianggap Timur. Asumsinya, orang Timur belum mencapai tahap kedewasaan, dan belum mengenal tahap perkembangan sejarah seperti dimiliki Barat. Etnologi memungkinkan Timur dihadirkan sebagai sesuatu yang eksotik, yang dieprtahnakna dalam kondisi masa lalunya.

Snouck punya kerisauan sendiri, bagaimana seandainya orang-orang Timur punya pengetahuan etnologi dan menerapkannya ke dalam masyarakat Eropa? Artinya, sebagai kebalikan dari para etnolog Eropa yang datang ke dunia Timur, dan menerapkan teorinya untuk meneliti masyarakat Barat yang dianggap primitif dan tidak beradab? Tentu kesimpulan pengetahuan pribumi ini bisa merontokkan supremasi peradaban Barat. Perhatikan kesimpulannya seperti dibaca Snouck: bahwa orang-orang Eropa membungkuk-bungkuk di hadapan patung-patung kayu dan batu, bahwa kebodohan dan takhayul ada dimana-mana, pemujaan berhala kuno tersebar dimana-mana. Snouck Hurgronje dengan kuasa pengetahuan resmi yang dimilikinya segera menangkal kesimpulan itu bahwa pengetahuan etnografi orang Timur itu adalah hasil pengetahuan “orang baru atau orang awam di bidang sejarah, kurang pengetahuan atau kurang kemauan”. 

Mengapa Snouck menyangkal dengan cara seperti itu, dan tidak menganggapnya sebagai “pengetahuan tandingan” atau “wacana alternatif” terhadap hegemoni pengetahuan Barat? Soalnya, bagi Snouck, konklusi dari pengetahuan pribumi itu sangat berbahaya bagi misi pemberadaban Barat yang membenarkan kolonialisme atas dunia Timur. Segenap pembenaran dan legitimasi kehadiran Barat mengkolonisasi Timur itu dengan sendirinya akan rontok. Sehingga dilihat mengancam dan berbahaya, serta mengganggu stabilitas hirarkis rasial dan pengetahuan antara penjajah dan yang dijajah, antara Barat dan Timur. Maka, wajar, penilaian Snouck atas pengetahuan pribumi itu mencerminkan satu stereotype Orientalis tentang Timur yang tidak dewasa dan kekanak-kanakan. Sehingga mereka dianggap tidak mampu mencapai derajat obyektifitas. Wajar kemudian kalau Fanon, menyatakan bahwa obyektifitas selalu diarahkan untuk menghadang penduduk pribumi (for the native, objectivity is always directed against him).[22

Sampai di sini, saya akan bertanya kemudian, seperti halnya cara Gayatri Spivak bertanya, “Apakah komunitas subaltern bisa berbicara dalam sejarah panjang kolonialisme Belanda di Hindia? Tumpukan data, dokumen, arsip dan literatur tentang kolonialisme Belanda sungguh luar biasa, setinggi Pegunungan Himalaya, bahkan bisa jadi dua kali lipat. Mulai dari data dan laporan resmi pemerintah, tulisan dan laporan pejabat dan para sarjana, liputan media cetak hingga catatan-catatan pribadi pejabat kolonial maupun pribumi. Yang tidak tampak hanyalah suara-suara dari komunitas yang selama ini menjadi obyek atau target hukum, kontrol sosial maupun pengawasan politik dan keagamaan. Seperti suara-suara komunitas petani dan para haji yang ikut dan terlibat dalam Peristiwa Banten 1888. 

Peristiwa ini punya dampak luas bagi manajemen politik dan kekuasaan kolonial di Jawa sejak akhir abad 19 dan awal abad 20 yang hingga kini masih terasa efeknya. Sejumlah penelitian dan penyelidikan untuk mengenal lebih jauh sebab-sebab dan latar belakang peristiwa tersebut, sudah dilakukan oleh pejabat kolonial kala itu, maupun oleh para peneliti dan sarjana yang muncul belakangan. Semuanya ingin mengungkap dengan jelas dan tepat sasaran motif-motif di balik kasus itu. Namun, yang mereka peroleh hanyalah laporan kesaksian para pelaku dan saksi dalam pengadilan. Studi ekstensif yang dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo hanya bisa mengungkap data kesaksian itu dari versi resmi yang dikeluarkan pemerintah kolonial di Batavia. Selebihnya, gelap gulita. Memang ada yang berupaya melacak dan menangkap motif tersebut pada faktor tunggal, yakni agama. Ini biasanya versi pemerintah. Yang lain merujuk kepada faktor ekonomi. 

Dan juga ada yang mengambil kedua-duanya (mungkin dianggap aman dan lebih obyektif). Dalam kondisi serba gelap dan tidak pasti itu, kita lihat sejumlah pendekatan dan penyelesaian atas kasus itu sudah diajukan, misalnya untuk menghindari supaya tidak terjadi kasus serupa. Namun, relasi antara sebab dan efek yang ditimbulkan sudah tidak bertemu; dan memang kayaknya dalam logika kolonial dibayangkan tidak perlu ketemu. Memoar atau tulisan kenang-kenangan yang ditulis mantan bupati Serang di Banten, Pangeran Aria Djajadiningrat, menunjukkan hal itu.[23] Sebutan “pemberontak” dan “perusuh” kerap menghiasi pandangannya tentang para pelaku dalam Peristiwa Banten. Hal serupa bisa ditunjukkan di masa sekarang. Kasus Haur Koneng dibaca sebagai tndaka pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok aliran sesat; demikian pula, pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah di Aceh dibaca dan dibenarkan di antaranya karena yang bersangkutan dinilai mengajarkan paham sesat dan mengedarkan ganja.[24] (Seakan ganja dan aliran sesat adalah identik!!).

Kasus orang Jawa yang melakukan studi etnografi di Eropah di masa kolonial ini menunjukkan pentingnya Studi Poskolonial dilakukan dari sisi subyektivitas subaltern. Ini supaya tidak terjebak ke dalam asumsi-asumsi ilmu-ilmu sosial modernis. Studi saya dalam Islam Pasca-Kolonial, berusaha untuk menunjukkan bagaimana suara-suara subaltern itu berlangsung tidak melalui jalur “resmi” pengetahuan kolonial-modernis. Seperti dalam kasus petani Banten. 

Ada komunikasi yang berlangsung secara gelap dan rahasia di antara penduduk pribumi. Dan jimat merupakan salah satu instrumennya. Tetapi yang mengefektifkan komunikasi semacam ini adalah rumor. Berkat rumor, mobilisasi dimungkinkan. Seperti halnya jimat dan tulisan-tulisan simbolik, rumor tidak memiliki penutur tetap, dan tidak pula mewakili kesadaran orang atau kolekif tertentu yang dianggap otentik. Ia bisa berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya tanpa kejelasan perumus awal atau pemicu aslinya. Rumor memperoleh otoritasnya bukan karena ada yang mengatakannya pertama kali sehingga dipercaya, tetapi justru karena rumor itu didengar, atau diperdengarkan. Rumor menarik sejumlah “kader”-nya karena ia menjadi milik semua orang yang mendengar, membaca dan mengedarkannya, tanpa kejelasan sumber yang dianggap dipercaya. Seperti jimat, gosip bernilai dan bermakna dari partisipasinya dalam struktur penulisan yang illegitimate, seperti halnya etnografi bermakna karena didukung oleh hukum penulisan yang sah. Etnografi masuk ke dalam dokumen resmi negara, dan menjadi sumber penulisan sejarah, maka rumor karena ia illegitimate  masuk ke dalam sejarah petani disebut “sejarah lisan”  ke dalam sejarah kriminal, pemberontakan, insurgency. 

Maka, bisa dipastikan apa gerangan yang akan terjadi, ketika masyarakat Banten mendengar rumor “Syekh Nawawi dibunuh oleh pihak Belanda” misalnya? Sekali lagi, seperti dalam soal jimat dan tulisan-tulisan simbolik lainnya, Snouck berupaya menempatkan rumor sebagaimana halnya orang berbicara, secara individual, sehingga bisa didakwa dan diadili. Dengan kata lain, ia memaksakan syarat-syarat pembicaraan atau perbincangan dalam pengertian sempit terhadap sesuatu yang mendasarkan kekuatannya dari partisipasi ke dalam tulisan -- dalam pengertian luas. Tetapi, yang terjadi kemudian, seperti halnya mengalami gagal tafsir atas jimat, primbon atau mujarobat, Snouck juga mengalami hal serupa: “saya sendiri tidak berhasil untuk sekadar memancing pengetahuan tentang desas-desus itu”. Dalam kutipan surat nasehatnya di atas, Snouck kerap menyebut “salah paham”, “kekeliruan”, dan “takut” terhadap penduduk. Ini ibarat makin besar harapan untuk mendisiplinkan dan normalisasi, makin besar pula tingkat “salah paham”, “kekeliruan”, dan bahkan “ketakutan” itu.

Inilah yang dihadapi Sartono Kartodirdjo. Ia hanya mengandalkan sumber-sumber Belanda untuk mengungkap kasus itu, hanya satu kesaksian pelaku yang bisa diperoleh secara lebih detil. Tampaknya hal itu sudah melalui proses interogasi, pemeriksaan ketat, hingga proses editing sebelum menjadi laporan resmi Direktur Departemen Dalam Negeri tanggal 18 September 1888.[25

Akhmad dari Beji [Cilegon]: Ketika pada tanggal 10 bulan Syawal – 19 Juni 1888 – saya melihat orang-orang dari Medang Batu dan desa-desa lainnya datang berkunjung ke Haji Wasid, saya mendengar bahwa haji itu bermaksud untuk memulai perang sabil; lalu saya menanyakan kebenaran desas-desus itu, dan Haji Wasid sendiri membenarkannya dengan mengatakan bahwa sejumlah besar orang telah memutuskan untuk melancarkan pemberontakan dengan alasan-alasan sebagai berikut; 
  1. ada dua pejabat di Cilegon, yakni Patih dan Jaksa yang sejalan dengan orang-orang Belanda dan tidak mau membiarkan orang-orang Msulim untuk pergi ke mesjid untuk sembahyang, dan yang oleh karenanya bersekongkol untuk menghapuskan agama rakyat; 
  2. Patih telah sangat menaikkan pajak perahu, sehingga orang harus membayar pajak usaha sebesar empatpuluh gulden untuk setiap perahu; lalu orang-orang mengajukan permohonan kepada bupati serang, akan tetapi ia menyuruh orang-orang itu menyampaikan permohonan mereka kepada Patih, sehingga hasilnya pajak itu tidak diturunkan; 
  3. sebab-sebab utama kerusuhan belum diketahui dengan pasti; akan tetapi saya mendengar bahwa sebab-sebab itu mencakup beban pajak yang berat, terutama pajak usaha; 
  4. penjaga-penjaga gardu yang tidak melakukan tugas mereka dengan baik, dihukum berat; 
  5. pejabat-pejabat pribumi menggunakan terlalu banyak mata-mata,yang selalu mencar-cari pelanggaran undang-undang yang paling kecil sekalipun; 
  6. rakyat biasa sakit hati oleh karena mereka mendapat perlakuan buruk; terutama Patih dan Jaksa sangat dibenci. 
Selain dari itu, setelah pemberontakan pecah, ketika pemimpin-pemimpin pemberontak masih berkeliaran di daerah Gunung Gede, Haji Wasid mengusulkan kepada pasukan pemberontak agar salah seorang dari mereka mengirimkan petisi kepada pihak berwajib di Cilegon, dengan menyebutkan sebab-sebab kerusuhan, dengan memberikan tekanan khusus kepada perasaan benci terhadap Patih dan Jaksa serta hasrat untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap kedua orang itu, yang menunjukkan sikap permusuhan terhadap agama Islam...”

Ini adalah satu bentuk kesaksian petani Banten yang bisa dikatakan sepenuhnya invensi atau konstruksi. Ini adalah bahasa kesaksian yang membuat apa yang (tidak)terpikirkan dalam kesadaran petani bisa diketahui, membuat ranah makna terketahui (knowable) dalam lingkup makna pemerintah kolonial – termasuk dalam horison pemaknaan para sejarawan seperti Sartono. Meski dikatakan “sebab-sebab utama kerusuhan belum diketahui dengan pasti”, tetapi toh ia tetap dianggap sebagai saksi yang kesaksiannya dicatat dalam dokumen negara karena kalimat berikut menyatakan “Akan tetapi saya mendengar ...”. 

Sebuah kesadaran subaltern jadinya dirasionalisasi dari dasar fondasi yang tidak stabil, gampang goyah. Ini bukan hanya menunjukkan kekuatan rumor seperti dikemukakan di atas, tetapi juga soal bagaimana bahasa lisan itu didisiplinkan menjadi bahasa (yang) akan ditulis. Alias menjadi bahasa birokrasi. Peletup atau insinuasi dibahasakan menjadi bahasa “propaganda”; petani yang unjuk rasa dan menuntut hak-haknya disebut “perusuh”. Kita lihat, pernyataan saksi ini tersusun rapi; alasan-alasan dan motifnya dikemukakan secara detil dan jelas. Sebagaimana yang berlaku dalam disiplin tulisan. 

Dan tulisan bukan cuma mendisiplinkan apa yang (tidak)diungkap secara lisan, tetapi juga mengarahkan – sesuai dengan kehendak yang punya kuasa dalam hukum-hukum tulis-menulis itu, seperti halnya tulisan etnolog. Kesaksiannya menunjuk kepada dua orang, yang dikatakan sebagai terget pemicu kebencian para pelaku pemberontakan. Selain itu, agency (pelaku utama [petani], target pokok [negara]) pemberontakan dialamatkan kepada seorang pemimpin. Motif pun diungkap secara eksplisit: “perang sabil”, digerakkan oleh seorang haji, dan ditujukan kepada pihak-pihak yang “menunjukkan sikap permusuhan terhadap agama Islam”. Sementara faktor-faktor lainnya tampak sebagai pelengkap. 

Namun demikian, dari sekian faktor yang disebut itu, soalnya jadi agak ambigu. Masalahnya, apakah faktor ekonomi dulu, lalu faktor agama atau sebaliknya? Dengan kata lain, hubungan kausalitas pun diarahkan ke medium yang lain, dan dibuat terbalik: bukan karena adanya sebab yang membuat akibat, tetapi akibat-lah yang menggerakkan dan memunculkan satu sebab atau motif tertentu dari sekian “sebab-sebab utama ... [yang] belum ... pasti”. Coba simak, faktor keterbelakangan mental petani Banten, desain manipulatif para pemimpinnya, dan penggunaan agama sebagai obyek manipulasi untuk merebut kekuasaan, adalah atmosfer epistemologis yang menghidupkan dan menyelimuti konstruk kesaksian dan sebab itu.[26] Snouck – selaku etnolog-polisional –dalam berbagai kesempatan selalu menyebut faktor-faktor ini yang membuat mereka gampang dan mudah diperalat oleh “orang-orang gila hormat”, “kaum petualang”, “orang-orang serakah”, dan “gila kekuasaan”. 

Kata “fanatik” akhirnya menjadi pembenaran bagi penunggalan (atau mistifikasi?) sebab-sebab dan motif rasa tidak puas, protes dan pemberontakan kalangan pribumi. Dan penunggalan itu mengarah pada satu kata kunci agama, yakni “fanatik” sebagai catchword. Jadi bukan kelas, ekonomi, atau politik. Agama menjadi cara efektif membaca motif dan kesadaran penduduk pribumi. Dan kata “fanatik”, akhirnya, menjadi icon, semacam “kesadaran transendental”, sebuah “voice-consciousness”. Dengan simpul-simpulnya ini, segenap ide, pikiran dan tindakan penduduk pribumi terbaca secara transfaran, dan bisa pula diperdengarkan.

Dengan kata lain, problematik menafsirkan bahasa simbolik dan komunikasi rahasia seperti ditunjukkan dalam jimat dan buku-buku primbon dan mujarobat ini, diselesaikan pada tataran epistemologis, dalam konstruk bahasa “fanatik”. Problem pelik mengungkap kesadaran subaltern dalam memberontak, “diakalin” dalam satu kata pamungkas, fanatik. Dalam spektrum pemaknaan monopolistik ala kolonial ini, sejarawan hanya mampu mengungkap kesadaran itu melalui optik seperti ini. Meski sejumlah faktor lain disebut, tetapi semuanya hanya bermakna ketika faktor pamungkas ini disebut, ditata dan dirapikan dalam hirarki bahasa kolonial. 

Berbeda dengan pendekatan negara-negara liberal di Eropa yang melihat penduduknya dalam kategori-kategori kelas atau sosial-ekonomi, dengan icon “fanatik” ini, Belanda tampak sedang menutupi kegagalannya dalam berkomunikasi dengan pribumi. Kompensasi itu dimungkinkan dengan sejumlah argumen rasional dari para etnolog yang berkeliaran di tanah Hindia Belanda saat itu. Kesimpulan mereka tentang “ciri khas ketimuran orang-orang Hindia” memang mendukung tesis tentang kefanatikan ini. Bahwa penduduk pedesaan, dimana gerakan-gerakan tarekat tumbuh subur, sangat kuat terikat dengan kultur keagamaannya, dan juga dengan adatnya yang penuh mistik, takhayul dan khurafat. 

SUMBER / CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS :
  • [1] Gayatri Chakravorty Spivak, “Subaltern Studies: Deconstructing Historiography”, dalam Ranajit Guha dan Gayatri Chakravorty Spivak (eds.), Selected Subaltern Studies (New York & Oxford: Oxford University Press, 1988), hal. 3-32. Guha, Ranajit, “The Prose of Counter-Insurgency”, dalam Guha dan Spivak (eds.), Selected Subaltern Studies (New York & Oxford: Oxford University Press, 1988).
  • [2] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hal. 3.
  • [3] Ibid., hal. 2.
  • [4] Ibid., hal. 1. 
  • [5] E.E. Evans-Pritchard, Anthropology and History (Manchester, 1961).
  • [6] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (terj. Hasan Basari) (Jakarta: Pustaka, 1984), hal. 25-26.
  • [7] Ibid., hal. 15.
  • [8] Lihat Sartono Kartodirdjo, “Agrarian Radicalism in Java: Its Setting and Development”, dalam Claire Holt (editor), Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal. 71-125.
  • [9] Lihat Abdurrahman Wahid, “Keadilan dan Rekonsiliasi”, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 153-154.
  • [10] Kuntowijoyo, “Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan tentang Gerakan Islam Lokal 1945-1950”, dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 103-122.
  • [11] Ibid., hal. 122.
  • [12] Lihat misalnya Taufik Abdullah, “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades of the Twentieth Century”, dalam Claire Holt (editor), Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1972), hal. 179-245. 
  • [13] Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1989), cet. 2, hal. 52.
  • [14] Homi K. Bhabha, The Location of Culture (London & New York: Routledge, 1994). Di sini Bhabha mengikuti diktum lacan yang sangat terkenal: “man’s desire is the desire of the Other”. 
  • [15] Noam Chomsky, American Power and the New Mandarins (New York: New Press, 2002).
  • [16] Tentang nasib petani ini dalam ilmu-ilmu sosial Amerika, lihat misalnya Victor T. King dan William D. Wilder, The Modern Anthropology of Southeast Asia: An Introduction (London & New York: Routledge, 2003). Untuk konteks India, lihat misalnya buku salah seorang pentolan Subaltern Studies, Dipesh Chakrabarty, Habitations of Modernity: Essays in the Wake of Subaltern Studies (Chicago & London: The University of Chicago Press, 2002).
  • [17] Arbi Sanit, Badai Revolusi: Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 234.
  • [18] Ibid., hal. 235.
  • [19] Homi K. Bhabha, The Location of Culture, hal. 245-246, dan 248. 
  • [20] Ranajit Guha, “Chandra’s Death”, sebagaimana dikutip dalam Priyamvada Gopal, “Reading Subaltern History”, dalam Neil Lazarus (editor), The Cambridge Companion to Postcolonial Literary Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hal. 140. 
  • [21] C. Snouck Hurgronje, “Arti Agama Islam bagi Para Penganutnya di Hindia Belanda (1883)”, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, vol. VII, hal. 20-21 [huruf miring dari AB].
  • [22] Frantz Fanon, The Wretched of the Earth (New York: Grove Press, 1968), hal. 77.
  • [23] Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat (Jakarta: Paguyuban Keturunan P.A. Achmad Djajadiningrat, 1996). 
  • [24] Lihat Dyah Rahmany P., Matinya Bantaqiah: Menguak Tragedi Beutong Ateuh (Jakarta: Cordova, ICCO, & LSPP, 2001). 
  • [25] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten, hal. 475.
  • [26] Saya menimba inspirasi dari Ranajit Guha yang membaca laporan-laporan kolonial Inggris tentang motif pemberontakan petani di India era kolonial. Lihat Ranajit Guha, “The Prose of Counter-Insurgency”, dalam Guha dan Spivak (eds.), Selected Subaltern Studies, hal. 45-86.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar