Pages - Menu

Pengertian Dalalah Lafal Nash Menurut Para Ahli

Pengertian Dalalah Lafal Nash
Memahami dalalah lafal nash adalah sesuatu yang sangat penting ketika melakukan istimbat hukum. Sebab, tanpa memahami dalalah lafal nash siapa pun tidak akan pernah mencapai apa maksud yang sesungguhnya. oleh karena itu, dalam kajian ushul fiqh pembahasan tantang dalalah lafal nash ini merupakan salah satu bagian yang tidak dapat diabaikan dalam melakukan istimbat hukum. Berikut ini akan di kemukakan apa sesungguhnya yang dimaksud dalalah lafal nash tersebut.

Secara etimologi kata dalalah ( الدلالة ) berasal dari kata kerja ( دلّ – يدلّ - دلالة ) yang artinya menunjukkan. Menurut Luis Ma’luf dalam kitb al-munjid , bahwa yang dimaksud dengan dalalah ialah: 
الدلالة : مايقوم به الارشاد لو البرهان 

adalah sesuatu (apa saja) yang dapat dijadikan petunjuk atau alasan. 

Adapun menurut istilah ulama ushul, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad al-Jarjani dalam kitab kitab al-Ta’rifat adalah sebagai berikut : “dalalah adalah cara penunjukan atas makna (pengertian) nash.” 

Dari pengertian diatas, baik pengertian secara bahasa maupun istilah, dapat dipahami bahwa yang dimaksud denagn dalalah dalam hubungannya dengan upaya memahami nash ialah suatu petunjuk lafal kepada sesuatu pengertian yang bisa dipahami dari nash itu sendiri. 

Oleh karena itu, seperti dijelaskan oleh zaky al-Din Sya’ban bahwa dalam melakukan istimbat hukum tidak mungkin dapat dilakukan kecuali setelah memahami lafal nash dan dalalahnya. Bagi kalangan ulama ushul dalam upaya pemahaman hukum, dalalah nash menjadi perhatian utama untuk melihat bagaimana petunjuk suatu lafal nash. 

A. Pembagian Dalalah Nash Dan Macam-Macamnya 
Dilihat dari segi keberadaannya dalalah lafal nash dapat dibedakan menjadi berapa macam, baik yang jelas dan tidak jelasnya maupun dari segi cara penunjukannya. 
Dalalah Nash Yang Jelas Maknanya 

Dalam hal ini, Hanafiyah membagi lafal dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian, yaitu zhahir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan dari ketidak jelasannya mereka membagi menjadi empat macam pula, yaitu: khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. 

Sebagaimana telah dijelaskan dimuka, golongan Hanafiyah membagi dalalah lafal dari segi kejelasannya menjadi empat macam. Disini akan dijelaskan secara terperinci dan disertai contoh mengenai macam-macam dalalah lafal tersebut. Secara garis besarnya, pembagian dalalah lafal menurut Hanafiyah dilihat dari peringkat kejelasan lafal itu. Dimulai dari jelasnya bersifat sederhana (zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam). 

a) Dzahir
Menurut Zaky al-din sya’ban yang di maksud dzahir oleh kalangan hanafiyah adalah suatu lafal nash yang dalalahnya menunjukkan kepada pengertian yang jelas dan tidak perlu ada unsur dari luar untuk memahaminya, mudah di pahami dengan jelas. Sebagi contoh yang sering di rujuk oleh ulama ushul adalah ayat berikut:
... واحلّ الله البيع وحرّم الربى ...

“dan allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS. An-nisa’: 3)

Berdasarkan ayat ini, dapat di lihat bahwa dari segi dzahirnya mudah di pahami bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram. Jika di lihat dari segi susunan kalimatnya bahwa maksud yang sebenarnya adalah untuk menyatakan dimana hukum jual beli itu tidak sama dengan riba. 

Berdsasarkan pendapat ulama ushul bahwa dzahir wajib di amalkan sesuai dengan maknanya yang dhahir tersebut selama tidak terdapat dalil atau alasan lainnya yang memalingkan kepada arti lain. Akan tetapi, makna dhahir ini boleh bisa jadi berubah kepada makna lain yaitu harus di takhshih jika umum, dibatasi maknanya jika ia mutlak dan bias jadi pula dialihkan dari arti hakikat kepada majas. 

b) Nash
Yang dimaksud dengan nash adalah suatu lafal nash dimana dalalahnya menunjukkan kepada pengertian yang tegas dan jelas, meskipun ada kemungkinan bisa di ta’wil dan ditkhsish. Pemahaman seperti ini diperoleh dari sususnan kalimatnya sendiri.

Adapun Implikasinya adalah pada ketetapan hukum sesuatu yang telah disebut untuk sesuatu yang lain yang tidak dikomentari, karena dipahaminya hubungan antara keduanya hanya dengan memahami bahasa (susunan kalimatnya). 

Sebagai contoh adalah ayat al-quran, seperti yang dijadikan contoh dari lafal zhahir. 
... واحلّ الله البيع وحرّم الربى ...

“dan allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” 

Dalalah nash dari ayat diatas adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan kalimatnya yang menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan dari pada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba)karena maknanya itu diambil dari pembicaraan bukan rumusan bahasanya.

HUKUM NASH 
Hukum lafadz nash sama dengan hukum lafadz zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsish, atau menasakhnya. 

c) Mufassar
Yang dimaksud dengan mufassar adalah suatu lafal nash yang menunjukkan kepada suatu ketentuan hukum yang penunjukannya sangat jelas dan tidak ada kemungkinan untuk ditakwil atau ditakhsish. Menurut as-Sarakhsi mufssar adalah suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan untuk ditakwil. 

Atas dasar definisi diatas maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi dari pada zhahir dan nash. Hal ini karena pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil dan ditakhsish, sedangkan mufassar kemungkinan tersebut tidak ada. Sebagai contoh firman allah SWT.: 
وقتلوا المشركين كآفة كما يقاتلونكم كآفةج واعلموا ان االله مع المتقين

Artinya : “dan peangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kaum semuanya; dan ketahuilah baheasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” 

Lafadz musyrikin pada ayat diatas pada mulanya dapat ditakhsish, namun dengan adanya lafadz kaafatan kemungkinan itu menjadi tidak ada.

HUKUM MUFASSAR 
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang menasakhnya. Lafadz mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahirnya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsish, melainkan hanya bisa dinasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya. 

d) Muhkam
Muhkam menurut bahasa adalah berasal dari kata ahkama yang berarti atqana, yaitu pasti dan tegas. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud muhkam adalah suatu lafadz yang dalalahnya menunjukkan arti yang jelas dan terang. Sehingga tidak memerlukan satu penafsiran atau takwil, juga tidak menerima nasakh. 

Dalalah yang dikelompokkan pada tingkatan muhkam ini memberikan petunjuk kepada ketentuan yang mendasar dari pokok-pokok ajaran agama, seperti tentang keimanan kepada Allah, Malaikat, para Rasul, dan Hari Akhirat. Dengan kata lain, ketentuan yang berlaku pada al-muhkam ini dalalahnya sudah pasti dan lafadz nash yang dikategorikan pada tingkatan ini tidak boleh dirubah atau dibatalkan, ia wajib di amalkan. Seperti contoh firman Allah SWT: 
و الله بكلّ شيء عليم

Artinya: Allah atas segala sesuatu Dia maha mengetahuinya.
Dalalah Nash Yang Tidak Jelas Maknanya 

a) Khofi 
Menurut bahasa khofi adalah tidak jelas atau tersembunyi. Sedangkan menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh ad-Dausi adalah suatu lafal yang maknanya tidak jelas karena hal baru yang ada di luar lafal itu sendiri, sehingga arti lafal itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam. 

Dalam penjelasan Zaky al-Din sya’ban bahwa ketidak jelasan dalalah lafal yang dikategorikan pada khofi ini, bukan oleh shighat lafalnya, akan tetapi adanya unsur dari luar yang menjadikan ketidak jelasan tersebut. Contoh yang sering dikemukakan oleh ulama ushul adalah ayat pencurian. Dalam al-Quran dijelaskan sebagai berikut: 

Dan pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan mereka masing-masing. (QS. Al-Maidah: 38) 
Pada mulanya lafal as-sariq itu tegas, yaitu orang yang mengambil harta berharga milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, pada tempat yang terpelihara. Akan tetapi, apabila pngertian ini diterapkan pasda masalah lain yang sama, seperti pencopet, pencuri barang-barang di kuburan, korupsi, maka lafal itu sendiri mewnjadi tidak tegas. Pencopet ialah orang yang mengambil barang milik orang lain tidak secara tersembunyi. Dengan demikian antara pencuri dan pencopet terdapat unsur perbedaan. Dalam pencopet adanya unsur keberanian dan kenekatan. Oleh karena itu, pencopet tidak sama dengan pencuri, dan inilah yang membuat kekaburan makna pencuri jika diterapkan kepada pencopet. Kemudian dalam hal keberadaan dalalah nash yang dikategorikan dengan khafi ini, bahwa ia belum dapat diamalkan sebelum dilakukan pembahasan dan penelitian secara seksama.

b) Musykil
Menurut bahasa musykil adalah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya, sedangkan menurut istilah seperti as-Sarakhsi ialah, suatu lafal yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil atau qorinah. 

Adapun yang menyebabkan dalalah nash menjadi musykil adalah karena lafal tersebut musytarak, atau karena dipahami antar majas dan hakiki. Sebagai contoh, dikemukakan berikut ini. 

Dan wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan diri tiag kali sucian. (QS. Al-Baqorah: 228). Dalam ayat di atas terdapatlah lafal Quru’ yang dikategorikan kepada musytarak yang pengertiannya ganda, yaitu boleh jadi berarti bersuci atau haid. Akibatnya, dalalahnya menjadi kabur (tidak jelas), mana yang di kehendaki antara kedua arti tersebut. Oleh karena itu di sini, menurut para ulama ushul harus diteliti dengan memperhatikan qarinah dari luar untuk menentukan salah satu makna yang tepat hingga sdesuai dengan apa yang dikehendaki. Oleh sebab itu, dalam pengamalan klafal nash yang, musykil ini harus di kaji secara menyeluruh dengan menentukan dan memilih salah satu makna untuk dijadikan pegangan.

c) Mujmal
Menurut bahasa mujmal adalah global atau tidak terprrinci. Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukakan oleh DR. Zukuyuddin Tsa’ban mujmal adalah lafal yang belum jelas maknanya yang tidak dapat menunjukkan arti yang sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menentukannya. Jelasnya, lafal yang mujmal ialah lafal yang belum jelas artinya, belum jelas maksudnya yang masih membutuhkan penjelasan dari lainnya, dan penjelasan itu disebut sebagai bayan. Oleh karena itu, jika ada bayan yang sempurna maka ia menjadi mufassar. Jika tidak terdapat bayan dari syari’ maka ia menjadi musykil, dan dalam keadaan seperti ini hendaklah mujtahid berupaya menghilangkan kemusykilan dalalahnya dengan ijtihad. Misalnya lafal shalat, menurut bahasa berarti do’a, tetapi menurut istilah syara’ adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh rasulullah.

d) Mutasyabih
Menurut bahasa mutasyabih adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan atau simpang siur. Sedangkan menurut istilah, adalah suatu lafal nash yang mana pengertian yang dikehendakinya sama sekali tidak dapat dipahami karena tidak ada qorinah yang bisa menghilangkan ketidak jelasannya. Artinya, lafal itu sulit kita dapatkan artinya yang pasti. Sebab, memang syari’at tidak menjelaskannya secara pasti kepada arti lafal-lafal yang mutasyabih itu. Akan tetapi, kita serahkan saja kepada allah sebab Dialah yang lebih mengetahui artinya. Misalnya lafal-lafal awal sebagian surah-surah dalam al-Quran, seperti SHAAD, HAAMIM, dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar