Ihwal Metode Penelitian Sosiolinguistik
Istilah metode penelitian dan beberapa istilah yang berhampiran dengannya merupakan istilah-istilah kunci dalam literatur metodologi penelitian ilmu bahasa dan sosial. Dalam sebagian literatur ilmu bahasa, pengertian metode seringkali dibedakan dengan teknik (Sudaryanto, 1993: 9; Subroto, 1992: 32). Metode dipahami sebagai cara penelitian yang lebih abstrak, sedangkan teknik dipandang sebagai cara penelitian yang lebih kongkret atau bersifat operasional. Di samping metode dan teknik, istilah metodologi dipakai sebagai acuan terhadap ilmu tentang metode. Berbeda halnya dalam literatur ilmu sosial (seperti sosiologi dan antropologi) (lih. Koentjaraningrat (ed.), 1994), pengertian metode dan teknik nyaris tidak dibedakan. Istilah metode dan teknik diacu untuk satu pengertian yang sama, yaitu cara melakukan penelitian. Bahkan, metodologi dengan metode juga hampir sulit dibedakan; di satu literatur dipakai metodologi penelitian, di literatur lain dipakai metode penelitian.
Dari sejumlah literatur tersebut, baik ilmu bahasa maupun ilmu sosial, ditarik satu pemahaman bahwa pengertian metode mengacu pada cara penelitian. Dalam kata lain, metode dapat pula dirumuskan sebagai langkah-langkah yang diambil peneliti untuk memecahkan masalah penelitian. Oleh karena itu, sesungguhnya, metode penelitian ini dimulai dari penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis.
Dalam ilmu sosial, langkah-langkah penelitian yang penting berkisar pada metode penyediaan data. Sebaliknya, dalam ilmu bahasa terutama literatur linguistik struktural, yang lebih diutamakan adalah metode analisis bahasa. Hal ini agaknya dapat dikaitkan dengan asumsi bahwa data bahasa lebih mudah diperoleh karena bahasa tersedia pada penuturnya atau ada dalam teks. Walaupun demikian, pendapat semacam ini tidak selalu benar karena data bahasa berbeda-beda sifat pengadaan atau penyediaannya, seperti penyediaan data dalam ilmu sosial. Oleh karena itu, di samping pentingnya analisis data, ilmu bahasa juga memandang penting metode penyediaan data, bahkan penyajian hasil analisis. Metode penyajian hasil analisis juga dipandang penting karena ada soal yang agak berbeda terhadap penyajian data bahasa dengan bahasa (metabahasa). Dalam ilmu bahasa, metode penyajian hasil analisis dilakukan dengan visualisasi verbal (rumusan kata-kata biasa) dan visualisasi nonverbal seperti penyajian sistem tanda.
Berangkat dari pertimbangan istilah-istilah di atas, setiap peneliti perlu memperhatikan esensi objek kajian dalam sebuah penelitian. Objek kajian (object of study) adalah sesuatu atau apa yang ingin diteliti. Hymes (dalam Garvin, 1970 : 252) mengatakan jika sebuah bahasa dijadikan objek kajian, bahasa itu hanyalah gerbang masuk dan pendahuluan ke arah penelitian yang sebenarnya. Fokus kajian bahasa itu adalah isi bahasa. Apa yang menjadi isi bahasa dalam konteks masyarakat misalnya adalah basa-basi, makian, sapaan, latahan, sanjungan, dan sebagainya. Objek kajian dalam sosiolinguistik ini nyaris tidak terbatas karena begitu banyak jumlahnya. Seorang peneliti diharapkan jeli melihat objek kajian yang menarik untuk kepentingan manusia (humanities) pemakainya daripada hanya untuk ilmu itu sendiri.
Kadang-kadang objek kajian dipahami sama dengan topik atau tema dalam kajian sosiolinguistik, tetapi sering pula berbeda. Dalam perspektif sosiolinguistik, topik cenderung lebih luas dan berkorelasi dengan faktor-faktor sosial budaya, misalnya sapaan hormat (honorifik) dalam masyarakat Jawa. Pengertian masyarakat Jawa bisa dikaitkan dengan penutur yang berbeda status sosial, umur, atau jenis kelaminnya. Namun demikian, topik yang sudah cukup panjang ini bisa pula disebut objek kajian. Selain objek kajian dan tema (topik), judul sebuah penelitian juga menarik untuk dicermati.
Judul bisa diacu dari objek kajian, atau tema penelitian. Hanya saja ada preferensi sekelompok ilmuwan yang menganggap bahwa judul yang berasal dari topik atau objek kajian tidak merangsang selera untuk ingin tahu objek tersebut lebih jauh. Berdasarkan pengamatan yang berkembang belakangan ini, ada kecenderungan judul yang menarik adalah judul yang berasal dari hasil analisis, misalnya”Diskriminasi Sosial Masyarakat X dalam Sistem Sapaan” adalah judul yang berasal dari hasil analisis tema sapaan hormat (honorifik). Ada pendapat yang mengatakan sebuah judul yang menarik adalah judul yang merangsang orang untuk berpikir (thought provoking), atau tidak dapat diramalkan (unpredictable) sebelumnya.
Selain berkaitan dengan istilah pokok dalam sebuah penelitian, perihal paradigma dan asumsi sosiolinguistik perlu dicamkan dalam benak peneliti agar esensi kajian bahasa dan masyarakat sosial ini tidak melenceng jauh dari relnya atau sekurang-kurangnya tidak menjadi bias. Pertama, kaum sosiolinguis berpendapat bahwa paradigma masyarakat homogen tidak pernah ada karena setiap masyarakat bahkan setiap individu berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, dalam kajian sosiolinguistik dianut satu paradigma yang menyatakan bahwa masyarakat selalu heterogen. Dengan heterogenitas inilah pilihan kode bahasa itu menjadi bermacam-macam. Ada bentuk yang ringkas, ada yang lengkap, ada yang formal, ada pula yang informal, ada bentuk yang santun ada pula yang kasar, atau gradasi lain di antaranya. Di samping itu, ada dua asumsi pokok yang perlu dipahami sebelum melakukan penelitian sosiolinguistik, yaitu asumsi bahwa (1) penjelasan tentang bahasa tidak memadai tanpa melibatkan unsur-unsur di luar bahasa, dan (2) bahasa selalu mempunyai variasi. Karena bahasa harus dihubungkan dengan nonbahasa, maka ancangan penelitian sosiolinguistik mestinya kontekstual. Demikian pula, karena konsep masyarakat dipahami heterogen maka bahasa pasti memiliki variasi. Secara deskriptif, varian bahasa yang satu diperlakukan sama dengan varian yang lain. Pemahaman ini perlu dipertegas karena berdasarkan paradigma masyarakat yang homogen, adanya variasi karena bersumber dari bentuk pemakaian bahasa yang seharusnya, bahkan ada pendapat yang menyatakan secara ekstrem bahwa variasi bahasa terjadi karena kesalahan pemakaian bahasa. Pendapat ini sama saja ingin mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada variasi bahasa.
Beberapa Dimensi Penelitian Sosiolinguistik
Dimensi adalah kisi-kisi yang dapat membangun kerangka berpikir dalam sebuah penelitian. Ada beberapa dimensi yang penting untuk diketahui sebelum langkah-langkah penelitian dilakukan sehubungan dengan penggunaan metode yang seharusnya dipilih sesuai tujuan penelitian atau tujuan analisis. Sekurang-kurangnya ada 3 dimensi, yaitu dimensi pemerian (to describe the object), dimensi penjelasan (to explain the object), dan dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts).
Dimensi deskriptif cederung melihat bahasa secara sinkronis, yaitu bahasa ada pada waktu diamati. Pada prinsipnya hasil pengamatan bahasa dalam dimensi ini digambarkan secara objektif berdasarkan apa yang dilihat (what you see) bukan seperti apa yang diharapkan (not what you expect to). Hasil penelitian deskriptif sering pula disebut etnografi (komunikasi atau berbicara). Dalam kaitan ini, peneliti akan melihat sifat-sifat objek yang diamati, yaitu sifat umum bahasa (kesemestaan/universalitas), dan sifat khusus bahasa (kekhususan/ partikularitas). Dalam mengamati fenomena bahasa dalam masyarakat hampir dapat dipastikan, sang peneliti dapat menguraikan ihwal keumuman (kesemestaan) objek bahasa ini, misalnya sifat-sifat bahasa umumnya memiliki penanda solidaritas, penanda kesantunan, penanda kekuasaan, dan penanda fungsi. (Perihal kesemestaan sosiolinguistik lihat Janet Holmes, 1992). Sebaliknya, kekhususan pemakaian bahasa di masyarakat juga memiliki ciri-ciri yang khas, misalnya antara satu objek dengan objek lain, atau satu objek yang sama dalam masyarakat bahasa (speech community) yang berbeda.
Dimensi eksplanatif melihat bahasa tidak an sich pada apa yang dilihat, tetapi lebih dari itu. Dalam dimensi ini, peneliti berusaha menjelaskan mengapa objek yang diamati demikian faktanya. Peneliti harus menjelaskan sebab-akibat (lantaran-tujuan) mengapa objek itu tampak demikian. Untuk menjelaskan objek kajian ini, peneliti bisa menarik bahasa ke luar dari titik waktu yang ia lihat, artinya bisa secara diakronis dan bisa pula secara sinkronis. Asumsinya yang perlu diingat adalah bahwa penjelasan bahasa karena bahasa itu adalah proposisi yang tidak memadai, tetapi lebih dari itu, yaitu bahwa bahasa disebabkan atau menyebabkan unsur-unsur luar bahasa. Secara kongkret, penjelasan hubungan kausalitas ini dipandang lebih memuaskan dari sekadar dimensi deskriptif. Misalnya, untuk objek kajian apologi (permaafan), peneliti memberi penjelasan mengapa seseorang dituntut minta maaf atau memberi maaf. Penjelasan ini bisa menyangkut alasan kesalahan, ketersinggungan atau penyelaan, atau sekadar kesopanan..
Dimensi pengkondisian situasi (to situate the object within the contexts) tampak mirip dengan kedua dimensi di atas. Namun demikian, dimensi ini agaknya bisa diperinci ke dalam tiga aspek, yaitu aspek temporal, aspek lokatif dan aspek material. Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek temporal menyangkut waktu kosmis dan waktu biologis. Pertama, ketika sebuah objek diamati, objek itu bisa dilihat dari realitas waktu kosmis yang bergulir dari waktu lampau, kekinian, dan masa datang. Untuk kasus permaafan, orang bisa meminta maaf karena peristiwa yang telah terjadi (mis. Maaf kemarin saya lupa...), atau karena peristiwa kekinian (maaf numpang tanya), dan karena peristiwa yang akan terjadi (misalnya maaf besok nggak bisa datang, dsb.). Dari aspek kosmis semacam ini, peneliti bisa mengkategorisasikan jenis apologi ke dalam 3 jenis, misalnya apologi normatif, apologi permisif, dan apologi antisipatif. Kedua, objek bisa pula diamati berdasarkan waktu biologis, yaitu berdasarkan perkembangan waktu yang dijalani manusia, dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua dan lansia. Ketika orang mengamati pemakaian kelompok penutur balita, bahasa akan dijelaskan berdasarkan konteks waktu biologis ini, dst.
Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek lokatif berkaitan dengan pemakaian ruang komunikasi (spasial). Ada pemakaian bahasa yang dipengaruhi oleh aspek lokatif ini, misalnya objek pemakaian bahasa pada kampanye dengan percakapan keluarga akan menempati ruang yang berbeda, yang satu pada ruang publik yang yang lain pada ruang domestik. Demikian pula, jika orang mengamati fenomena pemakaian bahasa pada demonstrasi dengan talk-show akan berbeda ruang komunikasinya, yang pertama biasanya pada ruang luar gedung (outdoor) dan yang terakhir biasanya pada ruang dalam gedung (indoor).
Dimensi pengkondisian situasi dengan aspek material menyangkut satuan pengisi ruang dan waktu di atas, yaitu bagaimana bahasa menjadi interaksional dalam wacana atau teks. Pengisinya adalah bahasa (dalam wujud teks) itu sendiri dan penuturnya (sebagai pengguna teks). Aspek pengisi ruang dan waktu komunikasi ini sangat signifikan menentukan pilihan kode tuturan, orang yang berbeda akan memilih kode yang berbeda atau sama, demikian pula bahasa yang berbeda akan berdampak sama atau berbeda pada makna, maksud, dan fungsinya. Karena begitu banyak aspek-aspek yang dapat membantu analisis pemilihan varian bahasa, Dell Hymes (1972) mengajukan instrumen analisis yang apik dan mudah diingat dalam bentuk singkatan SPEAKING (masing-masing setting-scene, participants, ends, act sequence, key, instruments, norms, dan genre).
Kartu Truf buat Peneliti
Sebuah penelitian yang berhasil dapat dikaitkan dengan kemampuan si peneliti merumuskan masalah, mengukur keterjangkauan (aksesibilitas penelitian), dan memprediksi keuntungan yang diperoleh pascapenelitian. Apabila peneliti telah berhasil memecahkan ketiga hal ini dapat dikatakan bahwa peneliti telah memegang kartu truf.
Pertama, soal perumusan masalah bukan tanpa masalah. Setelah objek kajian ditentukan, peneliti harus cermat melihat masalah apa yang perlu diangkat. Perumusan masalah ini penting karena tanpa masalah tidak akan ada pemecahan masalah. Artinya tidak ada masalah tidak ada penelitian. Kehandalan seorang peneliti merumuskan masalah dapat ditentukan dari pemahaman dasarnya terhadap konsep makro dalam sosiolinguistik, yaitu bermula dari pemahaman tentang masyarakat bahasa yang terpilih, pemerian etnografi komunikasi hingga etnografi berbicara, pengamatan terhadap situasi tutur, peristiwa tutur dan kemudian tindak tutur yang dipakai. Secara mikro, satuan bahasa berupa tindak tutur itu dilihat sebagai satuan lainnya, yaitu satuan bentuk, makna, informasi, maksud dan fungsi. Dasar-dasar unsur kebahasaan ini kemudian dicermati apakah ada masalah yang dikaitkan dengan objek kajian. Sebagai ilustrasi, seorang peneliti yang memilih objek penelitian ’makian’ dalam masyarakat Indonesia, misalnya, akan berpikir pada pilihan-pilihan bentuk makian yang dikaitkan dengan heterogenitas masyarakat penuturnya. Pilihan makian oleh laki-laki diasumsikan berbeda dengan pilihan makian oleh perempuan. Demikian pula, pilihan makian yang berdasarkan situasi atau peristiwa tutur tertentu akan berbeda dengan situasi atau peristiwa tutur lainnya. Kemudian, peneliti bisa pula berpendapat bahwa pilihan makian akan berhubungan dengan referen yang diacunya berdasarkan perspektif bentuk atau makna tuturan, bahkan informasi, maksud dan juga fungsi. Semua persoalan ini oleh peneliti dapat diangkat sebagai masalah penelitian yang perlu dicarikan pemecahannya. Perumusan masalah penelitian lazimnya diajukan dalam pertanyaan misalnya (a) apakah laki-laki dengan perempuan memakai bentuk makian yang sama atau berbeda dalam komunikasi?, (b) apakah tingkat kekasaran makian dapat ditentukan oleh faktor situasi dan peristiwa tutur?, dan seterusnya.
Kedua, setiap peneliti pasti memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini berkaitan dengan waktu, dana, kemampuan aksesibilitas terhadap sumber data. Logikanya semakin panjang waktu yang dialokasikan tentunya akan semakin banyak masalah yang dapat dipecahkan. Sebaliknya, semakin pendek waktu semakin sedikit masalah yang akan terpecahkan. Demikian halnya dengan dana, semakin lama waktu dan semakin rumit masalah penelitian, tentunya semakin besar biaya yang diperlukan baik untuk hidup maupun untuk menyediakan berbagai bahan penelitian. Selain waktu dan dana, keterbatasan aksesibilitas seseorang juga tidak dapat dipungkiri karena semakin mudah akses seseorang mendapatkan data semakin cepat penelitian dapat diselesaikan. Logika ini secara sederhana dapat dicontohkan ketika seorang peneliti yang berbahasa Indonesia akan lebih mudah baginya meneliti bahasa itu daripada meneliti bahasa lain seperti bahasa Jepang, bahasa Inggris atau bahasa Yoruba di Afrika. Namun demikian, bagi penutur bahasa Jepang akan mudah meneliti bahasanya sendiri daripada bahasa Indonesia. Tidak hanya menyangkut bahasa saja, seorang peneliti yang hidup di lingkungan tertentu akan lebih mudah meneliti lingkungannya sendiri daripada lingkungan yang tidak pernah ia ketahui. Oleh karena itu, pandangan terhadap keterbatasan ini sangat relatif sifatnya. Si A bisa lebih cepat melakukan penelitian X, si B belum tentu dapat melakukannya, dan sebaliknya.
Terakhir, ada baiknya seorang peneliti mempertimbangkan apa keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh pascapenelitian. Pada dasarnya, kajian sosiolinguistik ingin memperoleh pemahaman terhadap objek bahasa yang dikaitkan dengan aspek nonbahasa, di samping mengkonfirmasi proposisi bahwa bahasa memiliki variasi-variasi. Namun demikian, sejumlah keuntungan lain dapat dikemukakan sesuai dengan objek kajian yang dipecahkan. Sekadar contoh, peneliti dapat menggambarkan realitas bahasa yang kompleks dalam masyarakat, dapat menunjukkan hubungan kausalitas antarvariabel, atau dapat mencarikan generalisasi atau kekhasan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Secara praktis, agaknya penelitian sejenis dapat menemukan sumber terjadinya kedamaian atau konflik yang disebabkan oleh pemakaian bahasa, dapat menjelaskan tren-tren sosial seperti media, politik, militer, transportasi, hiburan dan sebagainya yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bahasa tertentu. Bahkan, peneliti dapat menyumbangkan hasil penelitiannya terhadap upaya untuk mengembangkan atau mengujikan teori dan metode sosiolinguistik itu sendiri.
Metode Penyediaan Data Sosiolinguistik
Sebagaimana dikemukakan di awal, objek kajian bisa diteliti berdasarkan tiga langkah-langkah yang penting, yaitu langkah penyediaan data, langkah analisis data, dan langkah penyajian hasil analisis. Ada prinsip yang wajib diingat dalam konteks penelitian sosiolinguistik, yaitu bahwa aspek luar bahasa sangat signifikan menjelaskan atau dijelaskan oleh bahasa itu sendiri. Artinya, konsep dasar kajian sosiolinguistik adalah konsep korelasi. Yang dilakukan peneliti di bidang ini adalah mengkorelasikan bahasa dengan aspek sosial (baca sosial budaya masyarakat). Memang, ada persoalan penamaan dalam metode penelitian sosiolinguistik, walaupun para penelitinya merasa bahwa penamaan bukan masalah yang urgen untuk membuat keputusan meneruskan atau menghentikan penelitian sosiolinguistik itu karena tanpa penamaan terhadap jenis-jenis metode itu pun, mereka telah dapat mengamati dan menjelaskan isu-isu dalam kajian sosiolinguistik.
Pertama-tama, seorang peneliti dalam bidang sosiolinguistik harus dapat membedakan bahasa sebagaimana adanya (deskriptif) dan bahasa sebagaimana seharusnya (preskriptif atau sering pula disebut normatif). Dalam studi sosiolinguistik jelas bahwa bahasa harus diteliti sebagaimana adanya, oleh karena itu bahan atau data linguistik yang diperoleh harus bersifat alamiah (naturally occuring language), tidak boleh dibuat-buat (contrived). Pengertian data bahasa yang alamiah ini nyata adanya (real), sekalipun ia dapat dibangkitkan oleh si peneliti tetapi data itu harus dapat diujikan kepada penutur asli lainnya. Walaupun data dapat dibangkitkan peneliti, data bahasa yang diperoleh perlu diselaraskan dengan pemakaian bahasa oarng lain dalam masyarakat bahasa yang sama agar datanya sahih.
Kedua, seorang peneliti harus mampu menyediakan data sesuai dengan objek dan masalah penelitiannya. Kalau peneliti ingin mengamati pemakaian bentuk ringkas dari /begitu saja kok repot/ tentunya ia tidak akan menunggu kapan informan memakai tuturan tersebut, tetapi peneliti akan mengajukan pertanyaan langsung kepada informan. Di sisi lain, ketika peneliti ingin meneliti pemakaian campur kode misalnya, ia akan mengamati pemakaian bahasa seseorang atau lebih dalam sejumlah percakapan. Si peneliti dalam hal ini tidak dapat mengajukan pertanyaan kata apa yang Anda campurkan jika Anda mengucapkan tuturan seperti ini atau seperti itu. Ilustrasi semacam ini memberi gambaran ringkas bagaimana menyediakan data sesuai dengan objeknya.
Pada prinsipnya melihat sifat dapat seperti diilustrasikan di atas, ada dua macam metode penyediaan data yang paling dikenal. Kedua metode penyediaan data ini dikenal tidak hanya dalam literatur ilmu bahasa tetapi juga dalam ilmu sosial, yaitu metode observasi dan metode wawancara (lih. Chaika, 1982: 23-25; Kartomiharjo, 1988: 17-19); Spolsky, 2003: 9-12). Metode observasi (dalam literatur metodologi penelitian linguistik di Indonesia) disebut metode simak, sedangkan metode wawancara disebut metode cakap (lih. Sudaryanto, 1993).
Metode observasi adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati objek kajian dalam konteksnya. Misalnya, seorang peneliti sedang meneliti pemakaian peribahasa, maka ia harus mengumpulkan peribahasa itu bersama dengan teks-teks lain yang menyertainya, para pemakai peribahasa itu, dan juga unsur-unsur nonverbal lain yang melatarinya, termasuk unsur prakondisi atau aspek sosial dan budaya. Kemungkinan cara pengamatan berdasarkan metode observasi ini bisa murni secara tekstual bisa pula secara kontekstual. Dikatakan murni secara tekstual artinya bahwa si peneliti hanya mengamati teks tanpa melihat kehadiran penuturnya. Misalnya, peneliti mengamati pemakaian peribahasa dalam lagu, cerpen, novel, komik, dan media lainnya. Namun karena teks tersebut menggunakan bahasa yang dipahami si peneliti maka maka peneliti seyogyanya mampu menghadirkan kembali konteks sosial budaya yang bersifat bawaan dari bahasa itu. Sebaliknya dikatakan secara kontekstual berarti bahwa peneliti mengamati teks lengkap dengan konteks ketika bahasa itu dipakai.
Pemakaian metode observasi dengan bahan teks sebagai acuan disebut penelitian kepustakaan (library research), sedangkan metode observasi dengan bahan teks dengan konteks yang lebih luas disebut penelitian lapangan (field research). Dari pemilihan bahan ini jelas disebutkan bahwa bahan menentukan jenis penelitian. Secara umum dipahami bahwa penelitian lapangan dipandang lebih meyakinkan daripada penelitian kepustakaan. Pandangan ini cukup beralasan karena penelitian kepustakaan yang bersumber dari teks hasil karya manusia atau hasil salinan diasumsikan tidak seobjektif penelitian lapangan yang bersumber langsung pada interaksi penutur bahasa pada konteks pemakaiannya. Karena sifat bahan penelitian ini pula dikenal bahwa penelitian kepustakaan sebagai penelitian sekunder, sedangkan penelitian lapangan sebagai penelitian primer.
Dalam praktik pelaksanaan observasi ini, peneliti bisa melakukan pengamatan dengan cara terlibat langsung, dan bisa pula dengan cara tidak terlibat langsung. Observasi terlibat langsung ini sering dinamai metode observasi partisipasi atau metode observasi berperan serta, sedangkan observasi tidak terlibat langsung dikenal pula sebagai metode observasi nonpartisipasi atau metode observasi tidak berperan serta. Nama-nama metode ini lazim dipakai dalam literatur metodologi penelitian sosiolinguistik (Chaika, 1982: 23) dan ilmu sosial lainnya ( Nasution, 2004: 106-113). Perlu diberi catatan bahwa Sudaryanto (1993: 133-134) menamakan metode observasi partisipasi sebagai teknik simak libat cakap, sedangkan metode observasi nonpartipasi sebagai teknik simak bebas libat cakap.
Ada perbedaan yang menyolok antara metode observasi partisipasi dengan nonpartisipasi. Dengan cara partisipasi, peneliti mengamati objek sekaligus terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Sebaliknya, dengan cara nonpartisipasi, peneliti memang mengamati objek tetapi tidak terlibat dalam interaksi dengan penutur lain. Dalam konteks terakhir ini, peneliti betul-betul hanya mengamati. Sebagai contoh, ketika seorang peneliti ingin menyelidiki bentuk teriakan suporter bola voli maka dia bisa melakukannya tanpa terlibat langsung sebagai pemain voli. Ia bisa saja berdiri atau duduk manis sebagai penonton dan mengamati teriakan-teriakan yang muncul dari para pendukung olahraga tersebut. Sebaliknya jika si peneliti ingin menyelidiki bentuk teriakan para pemain bola voli tersebut sebaiknya ia terlibat langsung menjadi pemain, artinya ia menggunakan metode observasi partisipasi karena dengan menjadi pemain kemungkinan ia menerima atau melontarkan teriakan. Keuntungan lainnya ia dapat merasakan emosi antarpemain tanpa teman-temannya mengetahui bahwa ia sedang meneliti. Agar semua situasi dan peristiwa tutur yang teramati ini bisa diingat maka peneliti perlu memikirkan bagaimana semua teks dan konteks itu bisa didokumentasikan. Ia bisa saja memilih teknik rekaman dengan memakai alat perekam atau memilih teknik catat dengan memakai catatan tentu saja teknik terakhir ini dikerjakan setelah pertandingan usai.
Selain metode observasi, metode kedua yang paling dikenal adalah metode wawancara (interview method). Penamaan metode wawancara ini jauh lebih umum daripada metode konsultatif seperti dijumpai dalam ensiklopedi bahasa dan linguistik karya Asher (1994: 3256), atau metode cakap seperti yang dikemukakan dalam buku metode penelitian linguistik karya Sudaryanto (1993). Penggunaan istilah wawancara dipandang lebih luas dan lentur daripada sekadar konsultasi atau cakap.
Pada prinsipnya, metode wawancara adalah metode penyediaan data dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan secara langsung. Dikatakan secara langsung karena hanya tim peneliti saja yang dapat melakukan wawancara, baik ketua peneliti atau para asistennya. Hal ini perlu digarisbawahi karena apabila wawancara dilakukan orang lain maka informasi yang diperoleh kurang memadai bahkan akan banyak kehilangan konteks. Kemudian, informan di sini dipahami sebagai orang yang memberi informasi kepada peneliti. Informasi yang diberikan itu disebut data oleh peneliti.
Dari beberapa jenis metode wawancara yang terdapat dalam literatur ilmu sosial, satu jenis metode wawancara yang sering diacu dalam penelitian sosiolinguistik adalah metode wawancara yang direncanakan secara terstruktur atau tidak terstruktur. Berdasarkan cara ini pula, metode wawancara dibagi atas dua klasifikasi, yaitu metode wawancara terstruktur (structured interview) dan metode wawancara tidak terstruktur (unstructured interview). Metode wawancara jenis pertama menyangkut pada persiapan peneliti untuk menyusun daftar pertanyaan kepada informan. Biasanya peneliti membuat sejumlah pertanyaan berdasarkan rumusan masalah yang akan dipecahkan. Dengan data yang tersedia peneliti akan menganalisis pemecahan masalah tersebut. Metode wawancara jenis kedua, peneliti justru mempersiapkan pertanyaan pokok saja. Ketika wawancara berlangsung, informan akan memberi jawaban pertama dan dengan jawaban pertama itu peneliti akan memperjelas jawaban itu dengan mengajukan pertanyaan yang sifatnya lebih mendalam, begitu seterusnya secara beruntun. Apabila dipandang sudah jelas, peneliti akan beralih pada pertanyaan dengan pokok bahasan yang lain. Untuk mendapatkan data yang lengkap, peneliti bisa menggunakan teknik elisitasi (Spolsky, 2003: 9), yaitu satu strategi untuk memancing atau mengarahkan informan dalam memberi informasi yang sebenarnya. Sistem wawancara tidak terstruktur ini seringkali disamakan pengertiannya dengan metode wawancara mendalam (indept interwiewing method).
Kadang-kadang metode wawancara terstruktur disamakan dengan metode angket atau metode kuesioner karena menggunakan daftar pertanyaan. Sebenarnya keduanya sangat berbeda. Berdasarkan perkembangan kajian metodologi, antara metode wawancara dan metode angket ini sudah seharusnya dipisahkan dan dipandang sebagai metode sendiri-sendiri. Lazimnya metode angket ini dipergunakan untuk mendapatkan poling suara atau mendapatkan penjelasan dari responden. Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa metode angket adalah metode penyediaan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada responden dengan atau tanpa bertatap muka secara langsung. Peneliti bahkan bisa saja tidak mengenali para respondennya. Responden dibedakan dengan informan berkaitan dengan jenis metodenya. Pemberi informasi secara tertulis semacam ini disebut responden, tetapi pemberi informasi secara lisan dan bertatap muka secara langsung dengan penelitinya disebut informan.
Penelitian yang menggunakan angket pada hakikatnya adalah penelitian dengan jumlah sampel yang relatif besar. Berbeda dengan metode wawancara, metode angket lebih lama waktu pelaksanaannya. Kadang-kadang angket yang diberikan dengan cara dikirim via pos tidak sampai ke tangan peneliti. Oleh karena itu, ada spekulasi. Untuk mengatasinya peneliti harus mempersiapkan sejumlah besar orang yang akan diberikan angket berdasarkan metode pengambilan sampel. Cara gampang pemberian angket justru dilakukan secara langsung, setelah pertanyaan diisi dengan lengkap peneliti atau asisten peneliti mengumpulkannya untuk kemudian ditabulasi.
Teknik penyusunan angket bergantung pada jawaban apa yang ingin diperoleh. Jika peneliti menginginkan jawaban kuantitatif berupa penghitungan jumlah pendapat atau perilaku maka si peneliti membuat pertanyaan yang jawabannya bergradasi, misalnya pada pertanyaan ”apakah bentuk sapaan X menurut Anda sangat santun?, pilihan jawabannya bisa berupa (i) sangat setuju, (ii) setuju, (iii) ragu-ragu, (iv) tidak setuju, dan (v) sangat tidak setuju. Dengan pertanyaan yang sama, pilihan jawabannya bisa pula diberikan sebagai berikut: (i) ya, (ii) netral, (iii) tidak. Namun demikian, jika peneliti menginginkan jawaban kualitatif berupa penjelasan makan si peneliti perlu membuat pertanyaan yang sifatnya esei. Misalnya, mengapa Anda menggunakan sapaan X?, dengan pertanyaan ini responden akan menjawab alasan-alasannya.
Selain tiga jenis metode penyediaan data yang telah dibicarakan di atas, sebenarnya ada satu jenis metode lain yang khas dalam penelitian linguistik, yaitu metode intuisi. Dalam literatur lain metode ini disebut metode introspeksi (Sudaryanto, 1993; Mahsun, 2005: 101). Metode intuisi adalah metode penyediaan data dengan cara membangkitkan sendiri data kebahasaan yang dimiliki peneliti dengan mengandalkan intuisinya.
Menurut Asher (1992) penyediaan data dengan metode ini memang relatif cepat, namun hasilnya sangat mungkin bersifat idiosinkretik (gaya tutur individu yang mungkin saja merupakan kesalahan bagi orang lain), sebagaimana diungkapkan Schriffin (1987), ”People tend to be more creative than linguists can imagine.” Dalam hubungannya dengan penelitian sosiolinguistik, metode intuisi yang mengandalkan kemampuan parole pribadi penelitinya dipandang tidak valid kecuali bersama-sama dengan peneliti lain guna mendapatkan informasi kolektif dalam komunitas sosial tertentu. Untuk menyamakan persepsi terhadap masalah yang akan dipecahkan tim peneliti secara bersama-sama menyelenggarakan diskusi kelompok secara terfokus atau sering disebut teknik focus group discussion. Hasil sekelompok orang ini baru agaknya dapat dipandang sebagai bahan kajian sosiolinguistik, yaitu suatu kajian bahasa yang melibatkan sekelompok orang dalam satu masyarakat tutur (speech community).
Seperti dikemukakan di awal, metode penyediaan data ini pada prinsipnya dipilih berdasarkan sifat datanya. Metode observasi, metode wawancara, metode angket, dan metode intuisi adalah metode penyediaan data yang memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Jika Anda ingin meneliti ’pemakaian bahasa pada waktu bercinta’ agaknya mengandalkan metode observasi akan mengalami kegagalan, mungkin metode wawancara atau metode angket bisa berhasil tetapi dapat diprediksi bahwa informan atau responden agaknya tidak akan membuka habis rahasia kehidupan pribadinya. Agaknya metode intuisi justru akan lebih berhasil karena itikad peneliti atau tim peneliti untuk mengungkap objek kajian ini cukup tinggi sehingga mereka mampu membuka tabir teks dan konteks objek kajian yang dimaksud.
Metode Analisis Data
Setelah data diperoleh, tugas peneliti selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Langkah analisis data ini adalah langkah terpenting untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ingin dipecahkan. Sebelum dijelaskan jenis-jenis metode analisis perlu dikemukakan pemahaman dasar dari studi sosiolinguistik mengenai teks sebagai objek kajian yang bersifat verbal, ko-teks sebagai lingkungan teks yang bersifat verbal, dan konteks sebagai unsur nonteks yang bersifat nonverbal, yaitu menyangkut konteks situasi dan konteks sosial dan budaya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik satu simpulan bahwa studi sosiolinguistik melihat objek kajiannya tidak pernah terpisah dari teks lain dan konteks dalam pengertian lebih luas. Artinya objek kajian harus ada pada pemakaian termasuk variasinya (uses), pemakainya (users) yang berkaitan dengan informasi umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, dan pekerjaan, serta pada ciri interaksi verbal tersebut seperti situasi tuturan, peristiwa, lokasi, topik, hubungan antarpenutur, bagaimana tuturan disampaikan, dsb. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai tuturan verbal (ko-teks), tetapi juga dipandang sebagai unsur nonverbal. Ko-teks menempati posisi sebelum atau setelah teks verbal yang dikaji. Selain ko-teks, konteks amat penting dalam mengurai dan menjelaskan fenomena objek kajian. Konteks disepakati sebagai unsur nonbahasa.
Sebenarnya ada aspek lain selain ko-teks dan konteks yang terdapat pada data penelitian. Aspek lain itu adalah aspek suprasegmental seperti intonasi, tekanan atau titi nada. Aspek suprasegmental ini penting dalam korpus data bahasa lisan ketika seseorang mengamati penuturan satuan bahasa itu. Orang yang sedang marah berbeda pilihan kata dan cara penuturannya dari orang yang sedang dimabuk asmara, demikian pula orang yang sedang berpidato di depan publik berbeda penggunaan bahasanya dengan orang yang sedang melakukan dialog, dan seterusnya. Karena itu pula, terdapat pemetaan varian yang sangat signifikan karena faktor suprasegmental ini.
Dengan demikian, sesungguhnya seorang peneliti bahasa seyogyanyalah ia menempatkan posisi objek kajian yang diteliti itu dengan jelas atau kasat mata. Objek kajian hadir dalam tiga komponen pembentuk bahasa yaitu ko-teks (verbal), konteks (nonverbal), dan suprasegmental. Ketika seseorang ingin mengamati penggunaan bahasa yang hidup tentu berdasarkan tujuan peneltiannya maka ia melibatkan aspek suprasegmental bersama ko-teks dan konteks secara simultan. Sebaliknya ketika seseorang meneliti bahasa yang telah diubah ke dalam bentuk tulisan maka ia akan melihat bahasa itu sebagai fenomena yang berkorelasi secara ko-tekstual dan kontekstual.
Berangkat dari cara pandang data sosiolinguistik di atas, metode analisis dalam kajian sosiolinguistik ini dapat dibagi ke dalam dua jenis, pertama, metode yang berkaitan dengan pengkorelasian objek bahasa secara eksternal dengan unsur nonbahasa, dan kedua, metode yang berkaitan dengan pembedahan, pengolahan atau pengotak-atikan teks verbal secara internal. Cara kerja tiap-tiap metode ini sesungguhnya menggambarkan penamaan metode ini. Metode pertama dapat disebut metode korelasi atau metode pemadanan, sedangkan metode kedua disebut metode operasi atau metode distribusi. Ada sumber lain yang menyebutkan metode korelasi atau metode pemadanan ini sebagai metode kontekstual (Jendra, 1999), ada pula yang menyebutnya metode padan saja (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, metode operasi atau metode distribusi kadang-kadang disebut juga metode agih (Sudaryanto, 1993; Djajasudarma, 1993).
Metode korelasi adalah metode analisis yang menjelaskan objek kajian dalam hubungannya dengan konteks situasi atau konteks sosial budaya. Secara umum dalam metode penelitian ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi (lih. Rakhmat, 1993: 31), metode korelasi dipakai untuk menganalisis hubungan dua variabel. Dalam kaitannya dengan penelitian sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai variabel dependen atau varibel terikat, sedangkan unsur luar bahasa dalam hal ini konteks situasi dan konteks sosial budaya dipandang sebagai variabel independen atau variabel bebas. Skema berikut dapat mengilustrasikan antarunsur yang dianalisis.
Baik metode korelasi maupun metode operasi sama-sama menjelaskan adanya variasi dalam kajian interdisiplin ini. Pemahaman ini dibuktikan oleh analisis substitusi unsur-unsur konteks atau bahasa secara umum. Sebagai contoh, pemakaian sapaan terhadap seseorang niscaya berbeda-beda berdasarkan substitusi konteks situasinya. Seseorang disapa dengan nama kecil, nama keluarga, atau dengan gelar, dengan pangkat atau jabatan sudah galibnya ditentukan oleh konteks situasi tempat peristiwa tutur itu berlangsung. Variasi sapaan ini muncul, padahal, untuk referen (orang) yang sama. Di samping itu, substitusi pemakai bahasa misalnya si A dengan si B akan berakibat perbedaan pilihan kode bahasanya walaupun untuk maksud yang sama. Demikian pula, contoh lain yang memunculkan variasi karena substitusi unsur bahasanya, seperti dalam kasus campur kode atau interferensi. Seorang peneliti dapat menarik variasi standar dari tuturan bercampur kode atau berinterferensi itu. Dengan cara mengganti satuan bahasa yang terdapat dalam tuturan itulah peneliti dapat menyimpulkan bahwa bentuk tuturan bercampur kode atau varian dari bentuk lainnya, dan seterusnya.
Secara lebih khusus, setiap unsur konteks situasi dan konteks sosial budaya akan sangat signifikan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh setiap tataran bahasa. Semakin banyak jenis variabel yang terlibat dalam analisis seperti umur, jenis kelamin, latar belakang etnik, pendidikan, pekerjaan, status sosial, wilayah, adat-istiadat, hingga pemakaian bahasa berjenjang dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana akan semakin kompleks analisis yang dihasilkan. Walaupun demikian, kerumitan analisis amat bergantung pada ruang lingkup penelitian dan masalah yang ingin dipecahkan. Kedalaman analisis kajian sosiolinguistik ditentukan oleh penggunaan metode operasi atau distribusi setelah pemakaian metode korelasi. Pemakaian metode korelasi saja sudah dapat dikatakan hasil analisisnya sebagai hasil analisis sosiolinguistik, namun penggunaan metode operasi atau distribusi saja belum tentu dapat dikatakan hasil analisis sosiolinguistik kecuali jika melibatkan isu-isu yang menyangkut masyarakat yang berbeda, misalnya isu kontak bahasa.
Berikut ini diuraikan beberapa contoh penelitian yang dapat dianalisis berdasarkan metode korelasi atau metode lainnya. Pilihan metode analisis ini bergantung pada alasan yang berkaitan dengan variasi bahasa sebagai tema sentral dalam penelitian sosiolinguistik. Karena variasi bahasa muncul berdasarkan fasilitas yang terdapat dalam tiap-tiap bahasa itu sendiri dan berdasarkan kebutuhan pemakainya, isu-isu sosiolinguistik dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) isu ragam intrabahasa (misalnya, standar-nonstandar, ringkas-lengkap, santun-solidaritas), dan (2) isu kontak antarbahasa (seperti, bilingualisme, alih kode, campur kode, interferensi).
Isu ragam intrabahasa menghasilkan analisis yang berkaitan variasi pemakaian bahasa seperti dikemukakan di atas. Gradasi standar-nonstandar (baku-tidak baku) misalnya dapat dianalisis berdasarkan hubungannya dengan ragam situasi (situation grading), ragam sosial (social-grading), bahkan ragam umur (age-grading) dan ragam jenis kelamin (sex-grading). Penghubungbandingan pemakaian bahasa dengan berbagai ragam ini jelas memakai kerangka kerja metode korelasi. Hasil penemuan Wolfram (1969, via Wardhaugh, 1986) di Detroit menyatakan bahwa semakin formal situasi tuturan, bahasa seseorang semakin mendekati penggunaan bahasa standar, dan semakin ke atas kelompok sosial penutur semakin standar pula bahasanya. Begitu pula halnya, bahasa anak-anak kurang formal daripada bahasa orang dewasa walaupun berasal dari latar belakang yang sama. Demikian juga, bahasa pria kurang standar daripada bahasa kaum wanita.
Sejumlah penelitian intrabahasa lain yang pantas dikemukakan di sini seperti penelitian Fisher (1958), dan Labov (1966) juga menggunakan metode korelasi dalam analisisnya (lih. Wardhaugh, 1986). Pertama, penelitian Fisher tentang variasi bunyi [ŋ] dan [n] pada contoh singing /si ŋi ŋ/ yang berlawanan dengan singin’ /si ŋin/ dikaitkan dengan sampel 12 orang anak laki-laki dan 12 anak perempuan yang berusia antara 3 s.d. 10 tahun di New England. Sampel yang ada diinterview menurut tiga situasi yang berbeda-beda, yaitu pada situasi yang sangat formal, kurang formal, dan tidak formal sama sekali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anak laki-laki menggunakan lebih banyak bentuk /in’/ daripada anak perempuan. Kedua, penelitian Labov (1966) untuk disertasinya menghubungkan variabel linguistik [r] dengan status sosial pemakainya. Labov menggunakan sejumlah sampel dari tiga supermarket yang masing-masingnya tergolong supermarket kelas atas, menengah, dan kelas bawah. Diperoleh hasil bahwa informan kelas menengah ke atas lebih banyak melafalkan bunyi [r] pada kata /floor/ dan /fourth/ daripada informan kelas bawah pada kata yang sama.
Isu kontak antarbahasa terutama tema bilingual dapat dianalisis dengan metode korelasi. Bilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk berbahasa lebih dari satu bahasa. Biasanya konsep bilingualisme mengacu pada dua bahasa, sedangkan multilingualisme mengacu pada tiga bahasa atau lebih. Karena isu bilingualisme menyangkut kemampuan bahasa seseorang maka isu ini pontensial dianalis dengan metode korelasi. Beberapa contoh menarik adalah penelitian Sorensen (1971, via Wardhaugh, 1986) dan Aikhenvald (2003) tentang kemampuan bilingual di Amazon (Brazil). Sorensen (1971) meneliti kemampuan berbahasa masyarakat Tukano di Barat Laut Amazon, tepatnya di perbatasan Kolumbia dan Brazil. Masyarakat Tukano adalah masyarakat yang bahkan multilingual karena laki-aki di sana harus menikah dengan perempuan dari kelompok bahasa yang berbeda. Laki-laki yang menikahi perempuan dari bahasa yang sama dipandang sebagai perkawinan sesama saudara (incest). Oleh karena itu laki-laki memilih menikahi dengan perempuan dari suku tetangganya. Ketika menikah sang istri dibawa ke rumah suami dan akhirnya istri pun harus bisa berbahasa keluarga suami termasuk anak-anaknya. Penelitian Aikhenvald (2003) merupakan lanjutan dari penelitian Sorensen (1970) dengan topik yang tidak jauh berbeda. Aikhenvald (2003) meneliti kemungkinan korelasi pilihan bahasa dengan stereotipe etnik penggunanya. Objek bahasa yang dikaji adalah bahasa Tariana yang dipakai oleh 100 orang di wilayah multilingual Lembah Vaupes di Amazonia Barat Laut (Brazil). Di wilayah itu juga terdapat bahasa Tucano (lingua franca), bahasa Baniwa (Bahasa Arawak) dan bahasa Portugis (bahasa Nasional). Seperti halnya pada masyarakat Tukano di perbatasan Kolumbia dan Brazil, wilayah ini juga dikenal eksogami kelompok bahasa dan kemultilingualan masyarakatnya terlembagakan. Salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa korelasi pilihan bahasa disebabkan oleh hubungan kekuasaan dan status.
Berbeda dengan penelitian di atas, isu kontak antarbahasa yang diteliti Arimi (2005a) berdasarkan analisis korelasi peribahasa dari 4 bahasa Eropa (Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman) dan 3 bahasa Asia (Cina, Indonesia, dan Jepang) dengan aspek perilaku dan motivasi masyarakatnya. Awalnya data dianalisis berdasarkan makna peribahasa, lalu diklasifikasi, kemudian dikorelasikan berdasarkan motif-motif koeksistensi peribahasa itu. Koeksistensi muncul akibat tiga hipotesis, yaitu (1) pandangan yang sama terhadap dunia sekitar walaupun mereka berasal dari masyarakat berbeda bahasa dan wilayahnya, (2) pengalaman hidup yang dialami secara bersama dan berulang-ulang, (3) keinginan untuk menirukan kearifan peribahasa yang baik dari masyarakat bahasa yang berbeda. Tentu saja, hipotesis yang disajikan ini akan lebih menarik jika diujikan kepada sejumlah informan atau responden dari ke-7 negara tersebut.
Isu bilingualime sebenarnya tidak hanya dapat dianalisis dengan metode korelasi. Isu ini juga dapat dianalisis dengan metode operasi atau distribusi. Sebagaimana dikemukakan di bagian depan, kemungkinan pilihan metode analisis ditentukan oleh masalah yang akan dipecahkan. Jika masalahnya adalah untuk mengetahui derajat kebilingualan seseorang, maka metode operasilah yang tepat untuk digunakan. Sebagaimana diuraikan Mackey (1968, via Romaine, 1989) ada empat kegiatan berbahasa yang dapat mengukur derajat kebilingualan seseorang, yaitu mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Selain itu, tataran bahasa yang berkaitan dengan kegiatan berbahasa tadi menyangkut tataran fonologi, gramatika, leksikon, semantik, dan stilistika. Dengan penguraian aspek-aspek internal bahasa berikut pendistribusiannya dalam kegiatan berbahasa ini jelas bahwa metode yang tepat untuk kajian semacam ini adalah metode operasi atau metode distribusi.
Tidak ada ketentuan sebuah isu atau masalah penelitian hanya dapat dianalisis oleh satu jenis metode, bahkan kombinasi keduanya pun dapat dibenarkan sejauh kedua metode itu berasalan untuk digunakan. Kegiatan penelitian semacam ini pernah dilakukan Arimi (2005b) ketika ia meneliti kearifan peribahasa menurut sejumlah responden dari dua masyarakat berbeda, yaitu masyarakat Jepang (142 responden) dan Indonesia (197 responden). Untuk mencapai penelitian tersebut, Arimi (2005b) melakukan dua jenis penyelidikan Penyelidikan pertama berdasarkan penelitian lapangan dengan menggunakan metode kuesioner dan penyelidikan kedua berdasarkan penelitian eksperimen dengan metode yang sama. Penyelidikan pertama dilakukan dengan menanyakan definisi peribahasa dan koleksi peribahasa yang responden ingat. Penelitian lapangan semacam ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pemahaman terhadap peribahasa secara empirik dan mengkaji popularitas peribahasa dalam ingatan masyarakatnya. Penyelidikan kedua dilanjutkan dalam bentuk eksperimen. Peneliti, yang juga menggunakan kuesioner, berikutnya mengamati sejauh mana responden mengetahui peribahasa-peribahasa yang telah dipilih secara random. Para responden diidentifikasi pemahamannya lewat kategori identifikasi seperti, sangat tidak familiar, tidak familiar, ragu-ragu, familiar, dan sangat familiar. Dengan penelitian eksperimen ini peneliti mendapatkan data orisinil untuk memeriksa frekuensi popularitas peribahasa pada masyarakat secara acak. Hasilnya diharapkan dapat mengkroscek penelitian lapangan sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan penelitian Arimi (2005b) di atas, metode korelasi digunakan untuk melihat fakta pemakaian peribahasa dengan masyarakat penuturnya berikut alasan-alasan yang dipakai. Hasilnya menunjukkan sebuah fakta sosiolinguistik bahwa ada sejumlah peribahasa yang populer di Jepang dan ada sejumlah lainnya yang populer di Indonesia. Dari sejumlah peribahasa tersebut ditemukan bahwa peribahasa yang paling populer di Jepang adalah ”saru mo ki kara ochiru” (kera sekalipun akan jatuh dari pohon), dan peribahasa paling populer di Indonesia adalah ”Tong kosong nyaring bunyinya”.
Selain metode korelasi, metode operasi atau metode distribusi juga dipakai untuk memecahkan masalah mengapa peribahasa yang satu lebih populer daripada peribahasa lainnya. Dengan cara menghubungkan peribahasa populer dengan yang tidak populer tetapi kedua peribahasa atau lebih itu memiliki makna yang sama, peneliti menafsirkan berdasarkan fakta-fakta yang terdapat dalam bentuk atau makna peribahasa itu dengan cara mengurai, mengganti, menambah atau menghilangkan sebagian unsur yang dapat memberi penjelasan kaidah mengapa peribahasa A lebih populer dari peribahasa B. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa popularitas peribahasa sebenarnya ditentukan tingkat kompetisi peribahasa itu dengan peribahasa lainnya. Berdasarkan analisis maknanya, semakin dekat kearifan peribahasa kepada kebutuhan masyarakat pemakainya dipandang semakin kompetitif peribahasa itu. Hasil lain secara bentuk, diketahui bahwa tidak kompetitifnya peribahasa bisa dikaitkan dengan pilihan leksikon dan dialek yang kurang disukai.
Metode Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis dapat disajikan secara metabahasa atau menurut sistem tanda. Secara metabahasa artinya analisis bahasa dinyatakan dengan bahasa. Metode semacam ini bisa disebut metode metabahasa saja. Dalam literatur lain metode serupa disebut metode informal (Sudaryanto, 1993). Sementara itu, menurut sistem tanda, hasil analisis bahasa direproduksi dalam berbagai bentuk nonbahasa, seperti simbol, ikon, indeks, atau sistem tanda lain yang diwujudkan dalam bentuk tabel, grafik, bagan, skema, dan gambar. Karena sangat erat kaitannya dengan sistem tanda ini, agaknya metode ini dapat diperkenalkan sebagai metode semiotik. Dalam pengertian yang serupa, Sudaryanto (1993) menyebutnya sebagai metode formal.
Untuk penyajian hasil analisis dengan metode metabahasa, peneliti perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti tata urut penyajian, dan cara merumuskan kaidah. Tata urut penyajian yang dijadikan pedoman mengikuti hirarki sebagai berikut: (1) dari tataran yang rendah ke tataran yang tinggi, atau sebaliknya, (2) dari tataran yang sederhana ke tataran yang lebih rumit, (3) dari yang pasti ke yang mungkin, dan (4) dari yang dasar ke bentuk turunan. Sementara itu, cara merumuskan kaidah seringkali akan mengikuti logika-logika bahasa atau silogisme, misalnya (1) (a). proposisi adalah k; (b) proposisi selalu k; (c) Semua proposisi adalah k, (2) proposisi1’ adalah k1’, sedangkan proposisi2” adalah k2”, (3) jika proposisi1 adalah k1 , maka proposisi2 adalah k2, (4) gabungan-gabungan di antara ketiganya.
Untuk penyajian hasil analisis dengan metode semiotik, peneliti perlu memperhatikan logika dan seni visualisasi sistem tanda. Besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek, arsiran-tidak arsiran sebuah sistem tanda yang disajikan dalam tabel dan seterusnya tersebut dapat menaksir logika dan seni visualisasinya. Namun demikian, isi hasil analisis verbal dipandang lebih akuntabel daripada indahnya visualisasi sistem tanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar